Perjuangan Perempuan Tuli Mendobrak Sistem Diskriminatif: dari Akses Pendidikan Hingga Kesempatan Kerja

Perjuangan Perempuan Tuli Mendobrak Sistem Diskriminatif: dari Akses Pendidikan Hingga Kesempatan Kerja

Sumber Gambar: Freepik

SKETSA - Dalam keheningan, Agustin sedang bercerita. Ia menekukkan jari telunjuk dan jempol kanannya membentuk huruf T, lalu kelima jari tangannya dikerucutkan dan diayunkan ke kanan dan ke kiri, berusaha menggambarkan sebuah tempat. Gerakan tangannya berlanjut mengayun untuk mengeja sebuah kata dengan 10 huruf.

“Sa-ma-ren-dah,” kata Nurul Hidayanti, menerjemahkan bahasa isyarat dari Agustin. Dosen Universitas Islam Negeri Samarinda ini sedang membantu saya mengobrol dengan Agustin.

Di ujung Maret kemarin, saya pertama kali bertemu dengan mereka. Agustin bercerita banyak tentang kendala dan diskriminasi yang terjadi pada teman Tuli seperti dirinya. Salah satunya, tentang Taman Samarendah di Jalan Bhayangkara, Samarinda, yang baginya adalah contoh fasilitas umum belum ramah untuk Tuli.

“Kalau malam, tempat itu kurang pencahayaan. Menyulitkan teman Tuli berkomunikasi,” kata Nuril, lanjut menerjemahkan.

Dalam berkomunikasi, teman Tuli memang mengandalkan penglihatan mereka. Selain dengan bahasa isyarat, mereka juga terbiasa membaca gerak bibir saat berkomunikasi. Namun, situasi ini makin sulit sejak pandemi datang. Semua orang mengenakan masker, dan tak semua orang mengerti atau mempelajari bahasa isyarat.

Bahkan di tempat-tempat layanan umum, seperti rumah sakit. Agustin bercerita, situasi sulit itu harus dihadapinya ketika tempo hari sempat sakit dan pergi berobat ke puskesmas.

Orang tua Agustin tengah sibuk pada saat  itu, hingga akhirnya ia menghubungi Juru Bahasa Insyarat (JBI) untuk meminta bantuan ditemani ke puskesmas. Dirinya membutuhkan JBI untuk menjelaskan sakit yang dialaminya. Kerepotan begini tentu saja tidak dialami orang tanpa disabilitas, karena sistem yang dibangun mempermudah urusan mereka, tanpa dirancang untuk mempermudah orang Tuli.

“Repot!! kalo dokter bisa bahasa isyarat sih gapapa, enak, tapi banyak dokter yang enggak bisa bahasa isyarat,” tutur Nuril, menerjemahkan.

Agustin kini bekerja di kantor Samsat Samarinda, sejak 8 bulan lalu. Sebelumnya dia hanya membantu mengurus rumah bersama ibunya, dan ikut kegiatan bersama komunitas Ikatan Kebersamaan Anak Tuli (IKAT). Sekarang kegiatannya bersama IKAT harus diselingi dengan aktivitas bekerja di kantornya dari Senin hingga Sabtu.

Pekerjaan itu datang dari tawaran ketua Persatuan Penyandang Disabilitas (PPDI). Ia menanyakan ibu Agustin, tentang kesediaan anaknya bekerja di sana. Sebelumnya Agustin pernah ditawarkan bekerja sebagai karyawan di sebuah minimarket, tapi tak dapat izin dari sang ibu.

Ibu Agustin memang cukup pilih-pilih soal pekerjaan buat anaknya. Bukan apa-apa, ia hanya tak mau Agustin kesulitan, terutama bila bekerja di bidang yang belum ramah kebutuhan penyandang disabilitas. Terlebih lagi, Agustin adalah perempuan, sehingga alasan keamanan juga sering jadi pertimbangan ibunya.

“Tapi, yang ini dibolehin. Dipersilakan kerja di kantor Samsat.”

Menurut laporan Komnas Perempuan tahun 2020, perempuan dengan disabilitas memang jadi kelompok lebih rentan terhadap penelantaran dan diskriminasi dalam keluarga dan masyarakat. Bahkan, dibandingkan laki-laki dengan disabilitas.

Dalam Catatan Akhir Tahun (CATAHU)-nya, Komnas Perempuan juga mencatat kenaikan kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas pada 2018 mencapai 54 persen (89 kasus) dari tahun 2017 (47 kasus). Dari data tersebut telah diolah dan menunjukan bahwa ragam disabilitas intelektual yang paling banyak menjadi korban kekerasan, diikuti oleh disabilitas Tuli dan disabilitas psikososial.

Perempuan disabilitas memiliki kerentanan berkali-kali lipat terhadap kekerasan seksual, penyiksaan dan diskriminasi dibandingkan perempuan dan anak perempuan non-disabilitas yang berinteraksi dengan faktor-faktor lain. Akar-akar kerentanan berlapis tersebut adalah ideologi ableisme/normalisme; serta kultur patriarki yang berkelindan dengan budaya dan agama. 

Menurut Agustin, tak banyak orang yang mau menerima teman Tuli untuk bekerja. Kebanyakan teman Tuli yang melamar sulit untuk bisa dapat pekerjaan, kecuali jika ada orang yang  memang menawarkan atau mengajak mereka bekerja.

Berdasarkan data Pusat Statistik tahun 2020, jumlah penduduk penyandang disabilitas dalam usia kerja sebanyak 17,74 juta orang. Namun, yang masuk angkatan kerja hanya sebanyak 7,8 juta orang, dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) penyandang disabilitas hanya sekitar 44 persen, jauh di bawah TPAK Nasional yaitu, 69 persen.

Sedangkan, sebanyak 7,57 juta orang penyandang disabilitas yang bekerja dan jumlah pengangguran terbuka penyandang disabilitas sebesar 247.000 orang. 

Di kantor, Agustin bertugas berdua dengan rekannya, menjaga loket Surat Izin Mengemudi (SIM) untuk lansia dan ibu hamil. Tidak ada JBI di sana, karyawan lainnya pun tidak fasih dalam berbahasa isyarat, hal ini menjadi kesulitannya dalam bekerja. Terkadang pelanggan yang masih muda mengerti apa yang Agustin sampaikan, tapi tidak sedikit lansia yang justu menambah kebingungan dalam berkomunikasi.

Sehingga rekannya kerap membantunya dalam berkomunikasi, atau meminta pelanggannya untuk menuliskan kata-kata di kertas. Loket Agustin juga tidak seramai loket rekan lainnya, karena loketnya juga merupakan loket khusus. Sehingga terkadang ia membantu rekannya itu mengurus pelanggan dalam hal administrasi.

“Dia gak begitu sulit melayani customernya, tapi kalo orang enggak tau (komunikasi)  dia bisa tanya-tanya yang lain, teman-temannya yang jelasin,” ungkap Nuril menerjemahkan.

Agustin, yang sempat jadi wakil ketua IKAT periode 2016-2021, juga punya keresahan lain, akses jalan di lalu lintas. Acap kali, rambu yang tertera di jalan hanya sebatas gambar tanpa ada tulisan. Hal itu ternyata masih menjadi kesulitan bagi teman Tuli untuk memahami rambu-rambu yang ada. Pendidikan tentang rambu jalan yang ramah buat teman Tuli perlu disediakan pemerintah.

Selain itu, akses untuk mendapatkan surat izin mengemudi (SIM) juga tak mudah. Biasanya, polisi hanya akan melayani teman Tuli yang menggunakan alat bantu dengar.

“Orang-orang di polisi maunya pake alat bantu dengar baru dilayani, padahal kan teman Tuli itu masih bisa melihat dan tidak semuanya memiliki akses ke alat bantu dengar” jelas Nuril.

Teman Tuli dan Akses Pendidikan


Masalah akses bukan cuma dialami teman-teman Tuli secara individu. Masalah-masalah tersebut sering kali terbentuk secara struktural. Seperti masalah akses pendidikan yang alami  Mira Ariska, perempuan Tuli kelas tiga SMA di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Pembina Samarinda.

Lewat isyarat tangannya, Mira bercerita tentang kebiasaan bangun pagi yang terbentuk lantaran jarak sekolah dan rumahnya jauh. Sejauh 17 km dan membutuhkan satu jam perjalanan dengan sepeda motor. Padahal itu adalah SLB Negeri paling dekat dari rumahnya.

“Berangkat jam 6, masuknya jam 7,” kata Mira.

Di sekolahnya, Mira masuk kelas bersama teman-teman Tuli lainnya, kemudian diajar oleh guru yang bisa mendengar. Terdapat 33 guru yang mengajar di SLB itu, dan hanya ada 7 guru yang mengajar teman Tuli. Terlebih pengajar di sana menggunakan Sistem Bahasa Isyarat (SIBI), bukannya Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo).

Di Indonesia memang ada dua jenis bahasa isyarat tersebut. Namun, SIBI dalam penerapan kosakatanya tidak sesuai dengan aspirasi dan nurani teman Tuli, sehingga tidak dapat digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Sedangkan Bisindo merupakan bahasa ibu dan bahasa isyarat alami, yang memang dibentuk dan diciptakan oleh teman-teman Tuli sendiri. 

“Sebenarnya lebih nyamannya pake Bisindo karena konsepnya juga beda sama SIBI,” cerita Mira

Di sekolah, Mira belajar macam-macam. Selain pelajaran wajib seperti Bahasa Indonesia, IPA, dan Matematika, Mira juga belajar keterampilan seperti menjahit, memasak, dan merangkai bunga.

Beberapa kali sekolah melakukan kegiatan bersama seluruh siswa penyandang disabilitas di sana. Namun, Mira kerap kesulitan berkomunikasi dengan teman disabilitas lainnya, karena mereka tak paham dengan bahasa isyarat dan Mira juga tidak bisa membaca gerakan bibir mereka. Sehingga harus ada guru yang menemani untuk menjadi penyambung lidah mereka.

“Sering dan ketemu, tapi enggak nyambung kalo komunikasi. Akhirnya enggak nyaman,” ungkapnya lewat isyarat tangan.

Perempuan 21 tahun itu, tak pernah  berpikir untuk bisa melanjutkan pendidikannya ke lebih tinggi. Selain karena belum ada pendidikan lanjut inklusif di Samarinda, ia juga belum tahu jurusan yang cocok di perguruan tinggi. Namun, Mira bercita-cita jadi pengusaha.

JBI dan Perjuangan Teman Tuli Mendobrak Sistem Diskriminatif

Teman Tuli acap kali kesulitan dalam berkomunikasi ke lawan bicaranya jika tidak didampingi komunitas seperti JBI, seperti tiap kali mereka mengurus administrasi, pelayanan kesehatan, dan juga tempat-tempat umum. Keberadaan teman Tuli menjadi alasan JBI hadir. Beranggotakan lima orang, mereka berkoordinasi tiap kali ada teman Tuli yang membutuhkan bantuan mereka. 

Mereka enggan disebut organisasi atau komunitas, karena jumlah anggotanya yang sedikit dan berangkat dari nurani ingin membantu. 

Nuril bercerita, ia sempat mengikuti kelas bahasa isyarat yang diadakan IKAT. Berawal dari mengenal abjad, kini  Nuril juga menjadi juru bahasa isyarat yang sering diminta teman Tuli lain jika ada wawancara atau undangan formal lain.

“Untuk belajar itu lebih banyak komunikasi, lebih baik. Karena bahasa apa pun kalau enggak dikomunikasikan itu enggak akan bisa. Makanya harus perlu praktiknya. Kuncinya itu sih,” ungkap Nuril.

Semakin hari, kemampuannya meningkat dengan berlatih bersama teman Tuli. Tak ada rasa penat yang ia rasakan, meski gerakan yang ia coba terjemahkan punya gerakan bermacam-macam. 

Meski JBI sebenarnya punya peran krusial, Nuril bilang mereka tak pernah dapat bantuan dari pemerintah. JBI yang selama ini berperan menjadi jembatan antara teman Tuli dengan orang lain sebetulnya adalah contoh inisiatif dari teman-teman Tuli sendiri untuk menerobos batasan-batasan yang diciptakan sistem diskriminatif di sekitar mereka.

Nasib penerjemah seperti Nuril juga tak diperlakukan sebanding dengan penerjemah bahasa asing, misalnya. Sesuatu yang menurut Nuril, adalah bagian dari sistem yang masih diskriminatif pada kawan-kawan Tuli.

Walaupun hanya segelintir JBI mereka tetap membantu teman Tuli untuk berkomunikasi, baik dalam formal maupun tidak. Tergantung dari permintaan teman Tuli, JBI selalu berkoordinasi meski kerap terkendala dengan kesibukan lain, ataupun potensi tabrakan jadwal yang sering terjadi. Namun, hal itu menurut Nuril buka masalah yang besar.

“Kalau kendala itu lumrah, tapi alhamdulillah selama ini tidak sampai ke tahap masalah,” tuturnya

Kemudian Nuril juga mengungkapkan bahwa ia sangat berharap  masyarakat bisa terbuka dan berpartisipasi untuk belajar bahasa isyarat. Strategi pun turut diatur seperti bekerja sama dengan IKAT untuk membuka kelas umum bahasa isyarat. 

Meski tidak ada sertifikasi khusus, ataupun aturan pasti. Ia berhrap, setidaknya masyarakat bisa sedikit paham bahasa isyarat, dan membuka pikiran untuk mau belajar.

“Salah satu upaya kita itu kerja sama dengan IKAT, kayak membuka kelas bahasa isyarat. Mau belajar isyarat itu lebih baik, ketimbang orang-orang yang enggak mau belajar isyarat,” tutupnya.

Liputan ini ditulis oleh Muhammad Adil Alparizi, mahasiswa Farmasi FF 2020. Liputan ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant: Anak Muda Suarakan Keberagaman yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.