SKETSA – Jika dikomparasi antara sistem KKN ke-44 tahun 2018 dan KKN ke-43 tahun 2017 yang dilaksanakan LP2M Unmul, maka akan terlihat beberapa perubahan. Jika pada KKN ke-43 mahasiswa dapat melaksanakan KKN di instansi pemerintahan, tahun ini jenis KKN tersebut tidak ada lagi dalam pilihan yang ditawarkan LP2M.
Pada KKN tahun lalu pun, mahasiswa masih bebas memilih jenis KKN Reguler Non Acak dan bebas memilih kelompok serta menentukan sendiri desa, kota, atau kabupatennya. Namun, tahun ini mahasiswa yang memilih jenis KKN Reguler akan diacak semua anggota kelompok oleh LP2M secara menyeluruh, tanpa terkecuali.
Tak ayal, KKN ke-44 menuai cukup banyak tanggapan berbau pro dan kontra dari kalangan mahasiswa. Alasannya jelas, program yang dijalankan oleh LP2M tahun ini, terutama jenis KKN Reguler cukup mengagetkan dan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Shintya Wahyuni, mahasiswi FISIP Prodi Pembangunan Sosial 2015 pun angkat bicara menanggapi perubahan sistem KKN ini. Ia justru menganggap, sistem mengacak seluruh anggota kelompok yang diterapkan LP2M justru memberi tantangan tersendiri bagi para mahasiswa yang akan melaksanakan KKN.
“Aku pikir ada tantangan ketemu orang baru dan dapat temen, serta dapat ilmu baru dengan jurusan yang beda. Jadi bisa tahu jurusan-jurusan lain, jadi kita lebih tertantang lagi,” katanya. “Jika harus pilih kelompok sendiri atau acak, (saya) pasti akan memilih acak.”
Shintya menjelaskan, pemilihan sistem acak untuk KKN Reguler ini pasti sudah mengevaluasi mengenai KKN sebelumnya. Baginya, mungkin sistem ini sudah yang terbaik. Setelah dilaksanakan tahun ini pun akan ada evaluasi lagi untuk KKN pada tahun mendatang agar sistemnya lebih baik lagi. Bahkan secara pribadi, ia tak mempermasalahkan jika kelak LP2M menitipkan proker di kelompoknya selama proses KKN berlangsung.
“Sepakat saja jika ada proker titipan, berarti kan kita sedikit banyaknya dibantu,” imbuhnya.
Sebelumnya, Ketua Tim Pengembangan Program KKN Esti Handayani Hardi mengatakan LP2M berupaya untuk memusatkan pada potensi desa yang ada. Program kerja (Proker) yang diminta desa dari kegiatan KKN ialah adanya website desa, mapping social, pengelolaan administrasi desa, dan pembuatan peta desa.
Ditemui Sketsa pada waktu berbeda, Muhamad Abdul Kahar, mahasiswa FIB Prodi Sastra Inggris 2015 pun tak mempermasalahkan sistem KKN Reguler yang mengacak seluruh anggota kelompok.
“Saya terima-terima saja dengan sistem KKN 44 acak karena tujuan mereka (LP2M) baik (untuk) mensejahterakan desa. Sekali pun peraturan KKN sebelumnya ataupun KKN 44 di tahun ini tetap acak saya tetap akan memilih KKN Reguler. Dan saya pun tetap akan memilih acak,” tegasnya.
Niatan LP2M yang akan memberlakukan proker titipan pada KKN tahun ini pun tak dirisaukan sama sekali oleh Kahar. Kompak dengan pola pikir Sintya, beberapa perubahan dalam KKN edisi ke-44 justru dipandang Kahar sebagai tantangan baru sebagai mahasiswa.
“Ide yang bagus, jadi tantangan juga. Jadi istilahnya kita membuat proker dan terbantu juga dengan proker titipan yang mereka sediakan,” katanya.
Dua tanggapan positif dua mahasiswa di atas ditanggapi sedikit berbeda oleh mahasiswi FKTI Prodi Ilmu Komputer 2015, Eka Wulan Mei Prima. Ia mengatakan ada hal yang tidak disetujuinya dengan sistem acak, yakni permasalahan teman kelompok.
“Tidak semua dari kita bisa langsung bergaul dengan orang yang tidak kita kenal. Kemarin kita sudah persiapan punya kelompok sendiri untuk di luar Samarinda. Setidaknya itu mengurangi beban kita (agar) tidak memikirkan bagaimana kita di sana (lokasi KKN). Sudah jauh dan tidak mengenal anggota kelompoknya,” paparnya.
Namun demikian, perempuan yang akrab disapa Wulan ini mengakui ada bagian yang ia setujui dari sistem KKN acak ini. Dengan pembagian kelompok yang sama rata, ia menganggap bahwa hal tersebut akan meminimalisir rasa iri antara kelompok yang diacak LP2M dan kelompok yang memilih anggotanya sendiri. (dor/adl/dan/snh/fqh/els)