Sumber gambar: viva.co.id
SKETSA ― Kabar pemindahan ibu kota negara kembali menjadi sorotan. Pemindahan ini didasarkan sebagai upaya untuk membangun Indonesia secara merata. Selama ini, masyarakat merasa bahwa pembangunan hanya berpusat pada Jakarta dan pulau Jawa. Padahal, masih banyak daerah, terutama di pinggiran Indonesia yang belum terjamah manisnya pembangunan. Alasan inilah yang membuat Presiden Joko Widodo merasa bahwa dengan pindahnya ibu kota keluar Jawa, maka majunya pembangunan di luar Jawa akan dapat dirasakan serupa dengan pembangunan di pulau Jawa.
Salah satu provinsi yang diusung untuk menjadi calon ibu kota adalah Kalimantan, khususnya Kalimantan Timur (Kaltim). Dikutip dari detik.com, Kepala Bidang Prasarana Wilayah Bappeda Kaltim Yusliando menyampaikan bahwa terdapat empat tempat yang diusulkan sebagai ibu kota baru, yaitu Balikpapan, Samarinda, Penajam Paser Utara (PPU), dan Kutai Kartanegara (Kukar). Ia menuturkan bahwa pihaknya memiliki konsep Forest City dengan pertimbangan kawasan hutan Kaltim yang luas.
Gubernur Kaltim Isran Noor kemudian mengusung Bukit Soeharto yang merupakan bagian dari Kukar untuk menjadi calon ibu kota negara. Dilansir dari republika.co.id, ia berpendapat bahwa lahan di Bukit Soeharto masih cukup luas dan merupakan milik negara. Selain itu, ia menuturkan bahwa fasilitas transportasi yang memadai seperti tol, dan bandara telah ada. Menanggapi hal ini, presiden kemudian turun langsung untuk meninjau kondisi di Bukit Soeharto pada Selasa (7/5) lalu.
Namun, muncul pro dan kontra di antara masyarakat mengenai wacana ini. Berbagai alasan seperti kemacetan, pencemaran lingkungan, hingga pembukaan lahan besar-besaran untuk pembangunan kawasan pusat pemerintahan muncul dari bilik pendapat mereka. Lalu, seperti apa civitas academica Unmul menanggapi wacana ini?
Menurut Ketua Program Studi (Kaprodi) Ilmu Pemerintahan Iman Surya, ibu kota adalah wajah Indonesia. Apabila sebuah daerah diangkat menjadi ibu kota negara, maka daerah tersebut otomatis menjadi cerminan Indonesia secara nasional maupun internasional.
“Ketika berbicara wajah Indonesia, berarti semua di dalamnya itu ada, baik itu infrastruktur, dari sisi sejarahnya serta kesiapan,” tuturnya.
Mengenai peluang Kaltim sebagai calon ibu kota, dirinya menyampaikan bahwa secara akademis, daerah yang layak untuk dipertimbangkan daerah PPU dan Kukar, lebih tepatnya di daerah Bukit Soeharto. Namun, ia mengatakan bahwa pemindahan ibu kota tidak hanya berbicara soal administrasi, tetapi juga perihal sisi geologis daerah.
“Potensi banjir ada enggak? Potensi gempa bumi ada enggak? Dilihat juga dari sisi geografis. Di mana posisi PPU? Di mana posisi Bukit Soeharto? Logikanya, ibu kota negara itu harus dekat dengan akses bandara. Nah, di antara keduanya, lebih dekat ya PPU,” jelasnya.
Meskipun akan terjadi perpindahan administrasi negara dalam proses perpindahan ibu kota negara, namun sistem pemerintahan yang ada tidak akan berubah. Hal ini mengacu kepada Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini memberikan jaminan kepada daerah untuk bisa mengeksplor potensi yang ada di tiap-tiap daerah. Selain itu, di dalamnya juga menyebutkan ada beberapa urusan yang tidak boleh diatur oleh pemerintah daerah, namun dipegang oleh pemerintah pusat. Contohnya seperti masalah pertahanan dan keamanan, serta agama.
Salah satu hal yang menjadi pematik wacana pemindahan ibu kota negara adalah demi pemerataan infrastruktur dan pembangunan daerah. Menanggapi hal ini, ia menyebutkan bahwa hal tersebut adalah konsekuensi sebuah daerah dengan kekuasaan, yang otomatis akan memberikan efek pembangunan di daerah itu sendiri. Seperti Jakarta, tingkat Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang dihasilkan bernilai besar karena terdapat banyak perusahaan besar dan memberikan kontribusi pajak yang besar.
“Seperti pembangunan, jika konsep pembangunan itu merata dan diterapkan di semua daerah terutama di ibu kota Kaltim, saya yakin tidak ada lagi daerah yang terisolir. Karena itu konsekuensi dari yang namanya pembangunan,” ujarnya.
Untuk membangun ibu kota baru, paling sedikit lahan yang dibutuhkan adalah 40.000 Ha. Hal ini tentu saja menjadi problematika yang begitu disoroti masyarakat, di mana pemerintah tentu akan membuka lahan untuk membangun infrastruktur serta pembangunan lainnya pada daerah calon ibu kota. Menurut Iman, pemerintah harus memiliki masterplan pembangunan. Pemerintah harus melihat dan mempertimbangkan, apakah daerah tersebut memang disiapkan untuk ibukota negara atau tidak.
“Apakah Kalimantan Timur hari ini memang disiapkan untuk ibu kota negara? Karena jika pemerintah tidak mempersiapkan diri untuk menyiapkan lahan seperti itu, dikhawatirkan akan terjadi yang namanya konflik di masyarakat,” ujarnya.
“Dengan luas seperti itu untuk di daerah PPU, saya yakin akan menghabiskan 80% kekuasaan PPU. Kalau diletakkan Bukit Soeharto, tentu akan habis. Kalau pemerintah berani memindahkan ibu kota ke Kaltim, berarti kita harus cari zona yang tidak bermasalah," lanjut Iman.
Pemilihan Bukit Soeharto sebagai salah satu calon ibu kota menuai banyak perhatian. Ini terjadi sebab Bukit Soeharto merupakan Taman Hutan Nasional (Tahuna) yang saat ini dikelola oleh Dinas Kehutanan, lebih tepatnya Kementerian Kehutanan serta tidak dapat diganggu kecuali sifatnya untuk khalayak ramai, misalnya jalan tol.
“Yang harus kita diskusikan lagi adalah, apakah dengan luas wilayah seperti itu memberikan rasa keadilan bagi masyarakat sekitar? Ingat, ada yang namanya Tanah Ulayat (Tanah Adat) dan atas nama negara pemerintah dapat langsung mengambil lahan itu, tapi sifatnya memaksa,” terangnya.
Ia menuturkan pula bahwa hal yang sementara ini dibangun pemerintah adalah administrasi yang tidak menimbulkan dampak sosial di mana ibu kota negara akan dipindahkan. Terdapat wacana untuk tidak memindahkan kementerian secara langsung berada di daerah yang baru dibuka.
“Jadi, ada kementerian yang bisa dibawa ke daerah baru dan ada yang menunggu pasca pemindahan ini. Memang pemindahan ini tidak bisa berlangsung hanya dalam waktu lima tahun, sebab yang dipindahkan bukan hanya lokasi tetapi juga perpindahan administrasi di dalamnya,” jelasnya.
“Bayangkan kalau kementerian akan pindah di Kaltim, dan staf pemerintah akan mencari rumah di sini. Jadi bukan serta-merta pindah.”
Mempermasalahkan layak atau tidaknya Kaltim untuk menjadi calon ibu kota, menurutnya secara akademisi semua di daerah provinsi di Kalimantan ini layak untuk menjadi sebuah daerah baru berlabel ibu kota.
“Perpindahan itu harus mengacu kepada political will yang diambil. Yang harus diperhatikan pemerintah itu adalah upaya hukum yang menjadi dasar perpindahan ibu kota juga berikut dengan mobilisasi administrasi. Terus bagaimana rencana teknisnya dan pembiayaannya, juga realisasinya,” beber Iman.
Menyoroti fasilitas atau infrastruktur yang sudah tersedia, ia menyarankan bahwa pemerintah sebaiknya tidak mengabaikan sisi kebudayaan yang ada di masyarakat. Hal ini didasari dengan kemungkinan menipisnya aspek budaya asli yang terdapat di daerah calon ibu kota, serta mempertimbangankan kelangsungan hidup masyarakat asli atau adat.
“Jangan sampai nanti kasus seperti di Jakarta, di mana budaya Betawi semakin lama semakin hilang. Nah, jika ibu kota pindah, pemerintah harus hati-hati dan memperhitungkan dari sisi sosial budayanya. Karena ibu kota itu kan tidak hanya bicara mengenai wilayah, namun juga bicara mengenai keamanan dan kenyamanan,” tutupnya. (len/ren/fer/els)