Menilik RUU Ketahanan Keluarga dari Segi Sosiologi Hukum

Menilik RUU Ketahanan Keluarga dari Segi Sosiologi Hukum

Sumber Gambar: Google

SKETSA - Menjadi salah satu Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masuk daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) untuk tahun 2020, RUU Ketahanan Keluarga kini marak dibicarakan. 

Pasalnya, RUU ini dianggap terlalu mencampuri ranah privat warga negara. Misalnya pada poin yang mengatur hubungan antara suami dan istri dalam pernikahan.

Ditemui Sketsa pada Rabu (3/3), dosen Fakultas Hukum, Setyo Utomo mengatakan bahwa RUU Ketahanan Negara tidak perlu mengatur urusan pribadi secara signifikan. Cukup mengatur bagaimana substansi jika terjadi sengketa dalam pernikahan di kemudian hari. Dalam hal terjadinya sengketa rumah tangga, ia berpandangan bahwa pemerintah seharusnya meminimalisir hal tersebut. 

"Pertama adalah dengan melakukan sosialisasi. Kedua monitoring, misalnya melalui Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Ketiga adanya nilai moral yang ditanamkan dalam setiap keluarga," jelas Setyo. 

"Percuma banyak perancangan namun tidak berjalan secara efektif. Lebih baik pemerintah fokus pada monitoring," lanjutnya. 

Salah satu pasal kontroversial dari RUU ini adalah Pasal 25 yang mengatur tentang hak dan kewajiban suami serta istri yang dinilai terlalu kaku untuk diterapkan pada keluarga modern saat ini, yang dianggap lebih fleksibel.

Mengenai pasal ini, ia berpendapat bahwa hukum dibuat untuk menciptakan keadilan, bukan untuk menimbulkan ketimpangan antara suami dan istri.

“Karena pernikahan adalah suatu satu kesatuan. Lebih baik menanamkan nilai bagaimana kedudukan atas suami istri ini, jangan hanya menanamkan dalam suatu aturan. Yang paling penting adalah moral, ” ucapnya. 

Pasal lain yang tak kalah mengundang polemik adalah Pasal 85 dan 86 yang mengatur pelarangan perbuatan Bondage and Dicsipline, Sadism and Masochism (BDSM) dalam hubungan seks pasangan suami istri.

Setyo menyebutkan, hukum cukup mengatur secara luas namun tidak terlalu mengerucut hingga ke ranah yang sangat intim sehingga menggiring pemikiran seseorang yang membaca regulasi tersebut ke arah sensitif. Akan lebih lebih efektif jika urgensi mengenai hal ini disebarkan melalui media sosialisasi.

"Alangkah baiknya dilakukan dalam sosialisasi, tidak perlu dalam RUU. Dikhawatirkan, anak di bawah 17 tahun (yang) membaca naskah ini akan membayangkan bagaimana yang akan terjadi," tukasnya. 

Terdapat pula pasal yang membahas mengenai krisis keluarga dan penyimpangan seksual, yakni Pasal 85, dan Pasal 86-87. Di dalamnya, keluarga yang mengalami krisis karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota keluarganya. Setyo memandang bahwa sebelum peraturan ini ditetapkan, harus dipastikan kesiapan setiap lembaga yang menangani rehabilitasi bagi pengidap penyimpangan orientasi seksual.

"Siapa saja stakeholder-nya? Misalnya dokter, peran BKKBN, Komisi Perlindungan Anak. Jangan sampai RUU ini jalan tapi stakeholder-nya tidak berfungsi."

Dibanding menetapkan RUU Ketahanan Keluarga, ia menilai bahwa Indonesia saat ini lebih memerlukan sosialisasi, monitoring dan peran para lembaga khususnya mengenai keluarga. 

"Saat melakukan monitoring, pemerintah akan melihat bagaimana efeknya, bagaimana peraturan ini berlaku 5-10 tahun kedepan. Jika tidak ada perubahan, langkah apa yang harus dilakukan pemerintah? Bagaimana peraturan terdahulu, saat ini, kemudian bermuara. Harus disesuaikan dengan Undang-Undang dan tatanan masyarakat," tutupnya. (ami/eng/len)