Sumber Gambar: Rappler
SKETSA – Sexual abuse seakan tak pernah berhenti menjadi isu dan kasus. Entah terjadi karena pemakluman pelecehan seksual yang merujuk pada rape culture dan timpangnya perlakuan masyarakat antara peran laki-laki dan perempuan (baca: https://sketsaunmul.co/berita-kampus/hentikan-rape-culture-selamatkan-korban-pelecehan/baca). Sampai kekerasan berbentuk revenge porn, sebuah bentuk balas dendam dengan media pornografi yang melibatkan penyebaran atau distribusi suara, gambar dan/atau video eksplisit tanpa adanya persetujuan dari pihak-pihak terkait (baca: https://www.sketsaunmul.co/berita-kampus/masifnya-revenge-porn-bagaimana-perlindungan-hukum-dan-psikologis-korban/baca).
Ketika sebuah kasus terjadi, tentu saja tak akan langsung terungkap ke publik. Ini disebabkan karena trauma, perasaan tak aman sampai stigma yang hadir di masyarakat akan kekerasan seksual. Tidak jarang pula kasus semacam ini tidak mendapat penanganan yang tepat, bahkan cenderung timpang sebelah dan tidak efektif. Speak up melalui media sosial (medsos) pun menjadi pilihan para penyintas. Selain memaparkan kasus langsung dari sudut pandang korban, medsos berperan dalam menyambungkan korban pada layanan hukum yang seharusnya bisa mereka dapatkan (baca: https://sketsaunmul.co/berita-kampus/melihat-penggunaan-medsos-sebagai-ruang-speak-up-penyintas-sexual-abuse/baca)
Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual yang sering kali tidak optimal sejatinya melanggengkan kejadian-kejadian serupa di masyarakat. Sudah terjadi begini, sebenarnya bagaimana sih penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia?
Kepada Sketsa, Senin (21/6) lalu, Rini Apriyani selaku dosen Fakultas Hukum (FH) Unmul turut menanggapi hal ini. Berdasarkan sudut pandang hukum, sebenarnya sudah banyak regulasi yang berkaitan dengan pengaturan terhadap tindak pidana pelecehan seksual dan perbuatan sejenisnya seperti pemerkosaan dan pencabulan.
Ini terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan aturan mendasar dari berbagai tindak pidana yang terjadi secara umum. Pengaturan tersebut terdapat dalam Pasal 281 sampai 301 KUHP. Terdapat pula pengaturan khusus di luar KUHP, antara lain dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau UU PKDRT dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Khusus yang berkaitan dengan perlindungan korban, diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban atau disingkat UU LPSK. Di mana dalam Pasal 5 Ayat (1) Huruf a, menyatakan bahwa saksi dan korban berhak untuk memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya.
Berdasarkan aturan-aturan tersebut, Rini menyampaikan bahwa produk hukum yang ada harusnya mampu memberikan perlindungan maksimal terhadap korban yang ada.
“Ketidakmaksimalan pemberian perlindungan hukum tersebut juga dikarenakan terbatasnya sumber daya manusia untuk bisa memberikan perlindungan terhadap korban. Termasuk juga pendampingan terkait traumatisme yang diderita oleh korban.”
“Selain itu, terbatasnya anggaran menyebabkan kurangnya sarana dan prasarana yang bisa menunjang kemaksimalan perlindungan terhadap korban tindak pidana pelecehan seksual dan kejahatan sejenis,” tambahnya.
Menyoroti secara Hukum Islam, Rini mengatakan jika terdapat sistem sanksi yang memuat dua tujuan yaitu pencegahan dan penebus dosa. Pencegahan ditujukan tidak hanya kepada pelaku, tetapi juga kepada orang lain. Caranya dengan menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan di lapangan terbuka yang bisa dilihat semua orang. Sehingga, semua akan sadar dan paham akan konsekuensi yang diterima jika menjadi pelaku.
“Aturan Hukum Islam juga memberikan upaya untuk mencegah terjadinya tindak pidana pelecehan seksual dan kejahatan sejenis. Di mana ada pembatasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan, kecuali dalam persoalan perkawinan, muamalat, pekerjaan serta belajar mengajar. Hukum Islam juga memberi batasan terkait persoalan berpakaian bagi laki-laki dan perempuan,” paparnya.
Semua contoh pembatasan tersebut bertujuan agar dapat meminimalisir terjadinya pelecehan seksual dan kejahatan sejenis, sehingga tidak perlu muncul korban pelecehan seksual. Adapun faktor lain yang juga mempengaruhi penegakan hukum tersebut antara lain ada pada aparat penegak hukum. Tentunya ini berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM) yang ternyata masih kurang untuk dapat memberikan perlindungan secara menyeluruh terhadap korban.
Belum lagi jika berbicara mengenai anggaran yang berdampak pada lemahnya sarana dan prasarana untuk penanganan kasus kekerasan seksual. Juga faktor mindset masyarakat serta budaya yang berpengaruh terhadap perlindungan korban.
“Faktor-faktor inilah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Alih-alih merevisi aturan hukum yang pada akhirnya akan sama dengan aturan hukum yang sudah ada, sebaiknya pemerintah mencari tahu akar masalah dari terjadinya pelecehan seksual dan kejahatan sejenis. Kemudian, menyelesaikan akar masalah tersebut dengan benar," tukasnya. (ash/rvn/len)