Melihat Penggunaan Medsos Sebagai Ruang Speak Up Penyintas Sexual Abuse
Apakah media sosial merupakan tempat yang aman bagi penyintas kekerasan seksual?
- 24 Jun 2021
- Komentar
- 2525 Kali
Sumber Gambar: Freepik
SKETSA – Tak mudah bagi korban sexual abuse untuk angkat bicara dan terbuka atas kejadian yang mereka alami. Berbagai faktor seperti rasa trauma, perasaan tidak aman serta stigma masyarakat menjadi dinding yang seolah menghalangi penyintas kekerasan seksual untuk speak up pada publik. Alhasil, kasus-kasus semacam ini berakhir dengan terkubur sementara lingkungan sosial semakin tidak aware dan mengabaikannya.
Dewasa ini, beragam gerakan dan kampanye anti kekerasan seksual di media sosial (medsos) membuat fenomena baru di masyarakat. Di mana para korban mulai berani untuk buka suara serta mengedukasi warga maya berdasarkan kasus yang menimpa mereka melalui berbagai platform. Dalam hal ini, medsos menjadi ruang baru untuk speak up serta meningkatkan kesadaran akan besarnya peluang kekerasan seksual di ranah publik.
Ayunda Ramadhani, dosen Psikologi Klinis dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) mengutarakan pendapatnya mengenai keadaan ini. Ia berpendapat bahwa fenomena tersebut muncul seiring dengan pesatnya perkembangan digitalisasi, sehingga penyebaran dan penerimaan informasi menjadi lebih cepat. Medsos lalu berperan sebagai ruang pengaduan yang lebih efektif daripada melapor ke pihak berwajib dengan proses yang berbelit.
Dirinya menyebut jika sebuah kasus menjadi viral, pelaku akan lebih cepat mendapatkan sanksi sosial. Selain itu, ruang yang digunakan dapat menjadi alat untuk menyambungkan korban pada layanan hukum yang seharusnya bisa mereka dapatkan.
“Banyak orang yang speak up di media sosial karena hasilnya lebih baik. Ketika para korban speak up di media sosial, sejatinya mereka sudah berani dan hal itu perlu didukung. Perlu diberikan apresiasi karena mereka berani,” kata Ayunda kepada Sketsa, Sabtu (19/6) lalu.
Salah satu faktor yang membuat korban tidak berani untuk speak up adalah stigma yang berkembang di masyarakat. Sebagian besar kasus-kasus yang ditemukan menimbulkan rasa trauma bagi korban. Inilah alasan mengapa mereka tidak berani untuk menceritakan apa yang dialami, terutama akibat rasa ketakutan dalam diri serta kurangnya kepercayaan dengan orang lain.
“Jadi, korban baru akan speak up setelah ia mengumpulkan keberaniannya. Entah karena timbulnya rasa ketakutan pada masyarakat dan pelaku, atau ia masih dalam tahap pemulihan rasa trauma,” lanjutnya.
Dengan publikasi dan sorotan yang hadir, tentu akan memengaruhi korban dalam mendapatkan dukungan atas pengalaman traumatisnya. Ayunda juga mengatakan bahwa speak up di medsos sama halnya dengan pisau bermata dua, yang tidak bisa dihindari dampak positif dan negatifnya.
Apabila korban memiliki bukti yang jelas bahwa ia dilecehkan, maka dukungan dari netizen akan mengangkat kembali kasus tersebut. Pelaku lantas akan mendapatkan sanksi sosial.
Di sisi lain, masyarakat bisa saja bersikap skeptis hingga menimbulkan victim blaming dan menganggap korban tidak benar bahkan mencari sensasi. Ayunda menyarankan agar keluarga juga tetap mendampingi ketika korban mengalami hujatan di medsos. Inilah peran penting keluarga dalam memberi dukungan serta rasa aman kepada korban. Setidaknya, langkah untuk speak up perlu diapresiasi karena telah berani dan terbuka untuk menceritakan kondisinya.
Lalu, medsos merupakan tempat yang aman bagi korban untuk speak up?
Bagi Ayunda, ketika korban hendak berbicara maka harus mempertimbangkan apakah privasinya terjamin atau tidak. Jelas risiko yang besar dapat membayangi mereka bahkan setelah melakukan speak up. Korban akan di-stalking juga dicari oleh orang-orang yang penasaran. Ini akan menimbulkan kejahatan lain, seperti penggunaan data palsu untuk mencari tahu lebih dalam tentang korban.
Medsos memang tidak menjamin keamanan dan banyak risiko yang musti dipikirkan, terlepas dari speak up tentang pelecehan. Maka, korban harus bijak dan berhati-hati ketika ingin memposting foto dan video. Jangan sampai merugikan diri sendiri di masa mendatang.
Ia juga kembali mengingatkan agar orang-orang terdekat seperti keluarga atau sahabat dapat menjadi support system terdepan. menjadi salah satu hal yang sangat penting. Selain itu, menyebarkan awareness terkait sexual abuse perlu dilakukan mulai dari lingkungan yang paling kecil.
“Komunikasi adalah hal yang paling penting antara keluarga. Peran kita adalah meningkatkan kesadaran, memperhatikan keadaan dan melakukan dialog,” ucap Ayunda.
Jika kamu mengalami perlakuan pelecehan atau kekerasan seksual, ia menyarankan untuk dapat berkonsultasi langsung Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Samarinda.
“Di sana menangani perempuan dan anak korban pelecehan seksual maupun pemerkosaan. Kepada para korba, nantinya akan dibantu masa pemulihan dan itu semuanya gratis,” tutupnya. (aot/jhr/len)