Mengomparasi Gerakkan Tjokroaminoto dalam Abad 21

Mengomparasi Gerakkan Tjokroaminoto dalam Abad 21

SKETSA - Pengimplementasian semangat revolusioner yang dianut Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto pasca era tanam paksa akhir tahun 1890 silam, menunjukan bahwa kaum muda yang bersatu dengan rakyat akan menjadi kuat. Berbeda jauh dengan kondisi negeri saat ini. Fakta yang tak terbantahkan bahwa pergerakan mahasiswa yang “kendor” saat ini dipengaruhi oleh beragam faktor. Mulai dari tersekat penggolongan aliran-aliran tertentu hingga pengaruh budaya era milenial.

Adanya diskusi dan bedah film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” yang diusung BEM FKTI (18/8) lalu, menyadarkan kembali arti penting proses perlawanan menuju kemerdekaan yang dimotori oleh HOS Tjokroaminoto bersama Sarekat Islam (SI).

Seperti yang diketahui, terdapat tiga murid (HOS) Tjokroaminoto yang berpengaruh dalam dinamika politik Indonesia. Yakni, Soekarno yang mengembangkan ajaran nasionalisme, Kartosoewiryo menganut ajaran fundamentalisme Islam, sementara Muso mengembangkan ajaran komunisme. 

Memiliki tiga murid dengan sudut pandang berbeda, tak membuat Tjokro berusaha untuk menetralisir perkembangan ide-ide yang ada. Baik itu sosialis, nasionalis, dan keagamaan. Itu dibiarkan berkembang dan terus berkontradiksi. Perbedaan ini dijaga karena menghidupkan ide-ide yang ada. Setidaknya itulah yang disampaikan Jamal, anggota Kongres Politik Organisasi Perjuangan Rakyat Kerja (KPO-PRP) Samarinda.

“Masyarakat bebas memilih ide mana yang dia sepakati. Itu yang saya apresiasi dari film ini," tuturnya.

Pria yang akrab disapa Bung Jamal ini menilai ada hal menarik pada masa itu. Peran media massa, yakni koran menjadi penyokong ide-ide pembebasan untuk disalurkan kepada rakyat. Seperti diketahui, saat itu Indonesia berada dalam fase industrialisasi yang baru berkembang. Namun, media masa kini mengalami pergeseran dalam peranannya.

“Koran pada masa itu terlepas dari keterbatasan Iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), benar-benar menjadi alat propaganda yang mana ide-ide (dapat) tersalurkan di seluruh negeri ini. Kini, media telah berkembang. Tapi kenapa tidak dapat menyalurkan ide-ide masyarakat saat ini dengan maju?" katanya.

Jamal menambahkan, media yang saat ini semakin maju malah dipenuhi iklan pesanan perusahaan besar. Tentunya hal ini memiliki profit tersendiri bagi perusahaan media.

"Makanya tidak heran media di Kaltim ini jarang yang mau menyoroti tambang dan sebagainya," kritiknya.

Menurutnya, jika melihat relevansinya dengan zaman sekarang, gerakkan mahasiswa serta masyarakat mau tidak mau, dan suka tidak suka harus membangun medianya sendiri. Dikarenakan hampir dalam beberapa tahun terakhir, jarang ditemui selebaran-selebaran pergerakkan dalam aksi-aksi mahasiswa.

"Indonesia belum bisa dikatakan merdeka. Kita berada dalam situasi di mana dikuasai oleh orang yang memiliki modal. Satu-satunya jalan adalah mandiri atau berdikari," ujarnya.

Sementara itu, Angga Kusuma Wijaya, anggota Lingkar Studi Kerakyatan menyatakan bahwa, Tjokroaminoto erat kaitannya dengan kebangkitan ideologi nasionalisme di Indonesia. Kemunculan nasionalisme di negara maju Eropa ialah nasionalisme yang fasistis. Dikembangkan oleh Hitler dengan tujuan menghancurkan dan menjajah bangsa-bangsa lainnya. Berbeda, nasionalisme di Indonesia tumbuh subur karena semangat akan melawan penindasan, khususnya penindasan kolonialisme saat itu.

“Sarekat Islam (SI) adalah bukti kebangkitan nasional Indonesia. Mempunyai anggota sebanyak dua juta lima ratus. Berbeda dengan Budi Oetomo yang gerakkannya sektarian terdapat di daerah dan kaum tertentu saja,” ujarnya.

Angga berpendapat, Tjokro merupakan sosok yang selalu ingin belajar. Ia tidak hanya belajar sebatas dari ajaran gurunya, tetapi juga mempelajari ide-ide baru yang berkembang dan menyontoh perlawanan dari berbagai negara. Tak heran, hal ini membuatnya menjadi progresif sejak belia. Sepatutnya, inilah yang diterapkan mahasiswa hari ini. Ruang demokrasi yang cenderung terbuka mestinya diisi dengan diskusi ilmiah di berbagai kampus secara rutin.

“Mayoritas mahasiswa sekarang jangankan melakukan perlawanan seperti itu, belajar saja dia malas. Situasi yang ada dulu lebih sulit daripada situasi sekarang. Dulu, rapat saja dilarang, diskusi bisa dibubarkan,” ungkapnya.

Tak jauh berbeda, Muhammad Teguh Satria, Ketua KAMMI Kaltim-Kaltara juga menilai Tjokroaminoto sosok pelajar yang cukup luar biasa. Banyak hal bisa digali dengan mengenal Tjokroaminoto. Di antaranya menurut versi Teguh ialah menyadarkan mahasiswa kini, sehingga membuat perubahan lebih berarti ke depan. Pentingnya pendidikan dan pencerdasan politik harus digali lebih matang, demi perjuangan dan perlawanan yang akan digagas.

Tjokroaminoto juga tetap bersemangat memperjuangkan keadilan, walau menyentuh jeruji besi pada akhirnya. Tak hanya itu, ia juga menjaga napas pergerakan dengan cara melahirkan pemimpin-pemimpin selanjutnya dengan kaderisasi. Bagi Teguh, Indonesia berpeluang besar dalam kancah geopolitik ke depan.

"Dari sejarah-lah kita mendapatkan romantisme-romantisme yang tadi kita sebutkan yang tidak perlu kita romantisme-kan kembali,” ujarnya.

Turut pula Jahruni, Pemimpin Redaksi Tepian TV yang menjadi pemantik jalannya diskusi, mengutarakan pendapat. Ia menyimpulkan, peran media dalam pergerakkan pada zaman kemerdekaan, memposisikan diri sebagai media propaganda perlawanan kepada kolonialisme. Tjokroaminoto dan Menteri Luar Negeri RI ke-3 Agus Salim adalah jurnalis.

“Semua dimulai daripada menulis, bagaimana mau menulis kalau tidak membaca? Membaca saja tidak mau, terus bagaimana membaca realita yang ada saat ini?” tukasnya.

Perbedaan besar terlihat hari ini dengan zaman dulu adalah tidak pernah ditemukannya titik yang sama, antara gerakan mahasiswa dengan idealisme jurnalis. Sebab, tidak pernah dapat duduk bersama, antara suatu gerakan dengan media. Beberapa kali isu sering dilempar, tapi tidak dimanfaatkan dengan baik oleh sebagian kalangan.

“Nah, kalau zaman dulu seorang jurnalis dan tokoh perjuangan itu punya visi dan misi yang sama. Tujuannya apa? Yaitu propaganda,” tandasnya.

Norman Iswahyudi, Presiden BEM KM Unmul turut hadir dan berpendapat, saat ini Indonesia belum menemukan sosok layaknya Tjokroaminoto dalam memimpin Indonesia. Di tengah era informasi yang bisa diakses dengan cepat, banyak tersebar informasi ke khalayak luas namun tak berdasar dan tidak bertanggung jawab. Gerakkan mahasiswa yang tersekat hari ini, karena adanya informasi-informasi yang tidak difilterisasi oleh khalayak umum. Suatu yang viral dengan mudah mendoktrin masyarakat.

"Ini mungkin masalah kita bersama, bagaimana membangun konsolidasi gerakan mahasiswa yang masih minim literasi dan budaya diskusi,” tutur Norman.

Baginya kritik ini juga menjadi masukan untuk dirinya, juga BEM KM. Norman mengaku akan mencoba untuk masifkan diskusi. Ia juga mengapresiasi diskusi yang saat itu digelar. (myg/adl/jdj)