Makassar dan Kenangan PJTLN (1)

Makassar dan Kenangan PJTLN (1)

PESAWAT mendarat mulus di Bandara Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan sore itu. Pertama kali menginjakkan kaki di Kota Daeng, menuntun otot pipi merekahkan senyum. Berkesempatan menuntut ilmu, berbagi pengalaman, hingga menjalin silaturahmi dengan rekan-rekan pers mahasiswa se-Indonesia.

Sepekan lalu, mewakili Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Sketsa Unmul, saya mengikuti Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional (PJTLN) di Makassar. PJTLN yang diadakan oleh UKM LIMA Washilah itu mengangkat tema Jurnalisme Sejarah. Pertama kalinya mengadakan PJTLN, UKM LIMA Washilah menyambut peserta dari berbagai daerah dengan ramah.

Meski awalnya gugup karena baru pertama kali bepergian sendiri, seketika hilang begitu melihat dua panitia yang menjemput. Dengan ramah, mereka berjalan mendampingiku sambil sesekali menanyakan penerbangan. Setelah melewati kerumunan sopir taksi, kami menemui seorang pria berperawakan pendek, berjaket hitam, dengan sebatang rokok di sela-sela jari tangannya. Dia perwakilan dari Padang.

Sementara kedua panitia mengambil mobil, dia menyalamiku seraya memperkenalkan diri.  Namanya Abdul Hamid, mahasiswa semester tiga Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat. Setelahnya, kami membicarakan penerbangan masing-masing, hingga mobil merah yang disediakan panitia untuk menjemput kami datang.

Satu per satu barang dimasukkan ke bagian belakang mobil, lalu saya dan Hamid menduduki kursi bagian tengah. Menuju penginapan, kami disambut rintik-rintik hujan. Hawa dingin dari AC ditambah sendu rintik hujan, rupanya menghantarkan Hamid untuk tidur. Sedangkan saya, masih asyik melemparkan pandangan ke setiap sudut kota Makassar.

Setelah satu jam perjalanan, kami sampai di sebuah perumahan. Rupanya, sekretariat UKM LIMA Washilah ada di sana. Karena masih hujan, langsung saja saya memasuki ruangan setelah menurunkan barang. Ada empat peserta lainnya yang sedang bersantai di dalam kamar yang disediakan. Hebatnya, mereka datang dua hari sebelum acara dimulai. Dua di antaranya perwakilan dari LPM Dinamika, dan dua lainnya dari LPM Pijar.

Satu per satu peserta lainnya datang. Ada 13 peserta yang malam itu terkumpul, dan enam lainnya akan menyusul esok hari. Baru semalam berkenalan, suasana malam yang dingin itu dihangatkan dengan percakapan antar sesama peserta. Tawa renyah tak luput dari pendengaran. Malam semakin larut, peserta dan panitia pria berpindah tempat. Mereka beranjak, kami yang perempuan mulai bersiap untuk tidur.

Keesokan harinya, saat adzan subuh berkumandang. Satu per satu peserta bangun, mempersiapkan diri untuk menghadiri pembukaan PJTLN yang dirangkaikan dalam Talkshow bertajuk Literasi Budaya Kita. Sudah rapi sejak pukul 07.00, kami diantar menuju Auditorium Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar  menggunakan motor.

Setelah menapaki anak tangga, saya diarahkan untuk masuk ke dalam gedung dan duduk bersama peserta lainnya di barisan depan. Wah, gedung auditoriumnya bagus sekali, pikirku. Pendingin ruangannya bekerja dengan baik. Gedungnya luas, bahkan ada dua lantai yang bisa digunakan untuk menampung mahasiswa. Beda sekali dengan yang kita punya di Unmul.

Talkshow ditutup dengan sesi foto bersama panitia dan peserta PJTLN. Berakhir pukul tiga sore, acara pembukaan kali ini sedikit melelahkan. Tanpa menunggu lebih lama lagi, setelah berfoto kami diarahkan untuk menuju bus yang akan membawa kami ke penginapan yang sebenarnya. Sepanjang perjalanan, gelak tawa tak ada putusnya. Olok-olokan, tak hanya dilemparkan kepada sesama peserta tapi juga pada panitia yang mendampingi.

Sampai di penginapan, panitia langsung membagi kami ke dalam beberapa kelompok untuk menempati kamar. Ada yang bertiga, ada juga yang berdua. Kami pun dipersilakan istirahat setelah menyelesaikan makan siang bersama. Kami berharap dapat menikmati Coto Makassar siang itu. Tapi ternyata kami harus gigit jari karena yang kami harapkan tidak tersedia di meja makan.

Malamnya, setelah sholat dan makan, kami disuguhi materi tentang Jurnalisme Sejarah yang disampaikan oleh Eko Rusdianto. Tak ketinggalan, panitia jua menyediakan kopi, teh, dan beberapa cemilan khas Makassar. Selesai pukul sepuluh, kami kembali dipersilakan untuk istirahat menyambut hari esok.

Dua hari selanjutnya, diisi dengan materi-materi. Namun sebelumnya, pagi sebelum sarapan kami diajak untuk berolahraga. Meski mata mengantuk, melihat teman-teman semangat olahraga, menjadi mood booster bagiku.

Selama dua hari berturut-turut, kami diberi ilmu seputar kejurnalistikan. Penelitian etnografi dalam penulisan sejarah oleh Nurhady Sirimorok, teknik pengumpulan arsip oleh Abdul Rahman Hamid, teknik wawancara dari Eko Rusdianto, dan teknik penulisan mendalam dan menghidupkan data dari Irmawati Puan Mawar. Kami juga diperkenalkan dengan kebudayaan Makassar yang disampaikan oleh Alwy Rahman.

Yang tak kalah seru adalah berkemah selama dua hari satu malam di Taman Prasejarah Leang-Leang. Perjalanan selama tiga jam terbayar ketika melihat bentangan karst di kanan kiri jalan. Sampai di sana tengah hari, kami disambut hujan. Beberapa teman mulai mengabadikan momen, beberapa di antaranya duduk santai menikmati gemericik air dan desiran angin.

Jika kalian sudah bosan dengan kebisingan kota, inilah tempat yang cocok untuk berlibur. Beruntungnya saya punya kesempatan untuk datang ke sini. Tidak hanya berkesempatan menikmati keindahan alamnya, saya juga berkesempatan melihat peninggalan manusia purba di dua gua yang saya singgahi.

Setelah hujan reda, kami berjalan kaki menuju Gua Timpuseng yang berjarak tiga kilometer dari tempat kami berkemah. Di tengah perjalanan, hujan tak bosan membasahi. Namun tak menyurutkan semangat kami untuk menuju gua tersebut. Sampai di sana, kami ditunjukkan beberapa cap telapak tangan manusia purba dan lukisan babi rusa. Kami juga berkesempatan untuk mewawancarai seorang arkeolog untuk menggali informasi. Yang mana nantinya kami harus menuliskan hasil observasi ini untuk dievaluasi bersama pemateri sebelumnya, Eko dan Irma. Dua hari berkemah, benar-benar melelahkan sekaligus menyenangkan.

Sampailah pada rangkaian acara terakhir. Field Trip dan Gala Dinner bersama wali kota Makassar. Kami mengunjungi Monumen Mandala, Benteng Fort Roterdam, Museum La Galigo, dan Pantai Losari. Ternyata Pantai Losari tak seperti yang saya bayangkan. Tidak ada pasir pantai. Disayangkan lagi, banyak sampah di lautnya. Sempat kecewa, namun terobati dengan adanya masjid terapung. Saat berdiri di pelataran masjid, anginnya sepoi-sepoi.

Kami juga berkesempatan untuk menikmati jajanan khas Makassar sebelum bertandang ke rumah jabatan wali kota Makassar. Pisang Epe namanya. Hampir sama seperti pisang gapit. Bedanya, kali ini pisangnya di panggang. Untuk menambah cita rasanya, kalian bisa memilih aneka rasa yang tersedia. Empat potong Pisang Epe, saya habiskan berdua dengan Laili, perwakilan dari LPM Pijar.

Makan malam bersama wali kota dimulai pukul 20.30. Tak tenang saya menikmati makanan malam itu. Sebab seorang panitia meminta saya untuk menyanyikan sebuah lagu setelah makan malam usai. Jadilah saya menyanyikan soundtrack film Habibie dan Ainun yang dipopulerkan oleh Bunga Citra Lestari.

Suasana haru kemudian menyelimuti ketika Desi, perwakilan dari UKM LIMA Washilah menyanyikan lagu Kemesraan. Seorang teman di depanku, Nirma, perwakilan dari LPM Bahana menangis. Lalili juga ikut-ikutan. “Aduh, eye linerku luntur kan?” ucapnya seraya menyeka air mata yang kemudian mengundang tawa.

Esoknya, hari terakhir di Kota Daeng. Beberapa teman telah berencana untuk pergi jalan-jalan. Namun yang lainnya, termasuk diriku memilih untuk pulang. Pukul 08.00, mobil yang akan mengangkut mereka jalan-jalan telah tiba. Sebelum berangkat, kami sempatkan untuk berfoto, berpelukan, hingga mengolok sesama. “Hati-hati ya, sukses, sampai ketemu lagi.” Kata-kata itu yang mengudara pada hari perpisahan kami. Saling berharap akan bertemu lagi, dan tidak melupakan satu sama lain. Tak ada yang tertinggal dalam kebersamaan satu minggu di kota daeng, melainkan kenangan. (bru/e4)