Sumber Gambar: Pexels
Sketsa – Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA) menggelar diskusi bertajuk Kejujuran Kampus: Nurani Intelektual. Diskusi ini merupakan kegiatan yang membahas mengenai situasi dari hak asasi manusia (HAM), serta bagaimana kampus mengalami situasi yang penuh dengan tekanan yang merugikan pihak civitas academica.
Narasumber yang ikut mengisi diskusi tersebut ialah Busyro Muqoddas akademisi Universitas Islam Indonesia, Muhammad Isnur selaku Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Abdul Muhammad Rachim Presiden BEM KM Unmul, dan Nunuk Parwati Songki Pemimpin Umum Unit Penerbitan dan Penulisan Mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UPPM UMI).
Diskusi yang diadakan pada Selasa (16/11), diawali oleh Abdul Muhammad Rachim. Rachim, sapaan akrabnya, membuka diskusi dengan menyegarkan ingatan peserta diskusi akan kehebohan yang terjadi akibat seruan aksi yang dilakukan oleh BEM KM Unmul 2 November kemarin, sebab kedatangan Wakil Presiden Ma’aruf Amin.
Dianggap tak sopan, pihak Unmul pun menanggapi seruan tersebut dengan mengeluarkan rilis yang meminta BEM KM untuk menghapus postingan tersebut serta menerbitkan permintaan maaf atas seruan aksi itu. Rachman berpendapat bahwa tindakan yang dilakukan oleh pihak Unmul merupakan tindakan membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi seorang mahasiswa. “Kami beranggapan bahwa apa yang kami lakukan murni bentuk kritis pada Wakil Presiden yang saat ini masih kurang maksimal kinerjanya,” sebutnya.
Tak Hanya di Unmul
Tidak hanya BEM KM saja yang harus berhadapan dengan kebebasan akademik di kampus, hal tersebut juga harus dirasakan oleh dua jurnalis UMI. Mereka dihadapkan pada kriminalisasi akibat aksi penolakan penggusuran sekretariat UKM Seni UMI. Hal itu berujung pada pemberontakan antara mahasiswa dan supir alat berat. “Jika tidak dihentikan pada saat itu maka kemungkinan besar akan ada korban jiwa, karena sebelumnya tidak ada informasi akan ada penggusuran dan masih ada teman-teman yang tidur di dalam sekretariat,” jelas Nunuk. Dua orang UPPM UMI dijadikan pelaku pelemparan supir yang saat ini sedang diproses di kepolisian.
Nunuk juga menyampaikan bahwa pihak UPPM UMI sudah mencoba menuntut kampus melalui jalur-jalur damai, dengan membuka ruang audiensi untuk membicarakan mengenai sekretariat, sayangnya kampus tidak pernah memberi ruang untuk bicara, guna jalan tengah dapat ditempuh.
Busyro Muqoddas ikut menanggapi hal tersebut, Ia menyampaikan situasi-situasi ini merupakan pola pengulangan seperti era orde baru. Bermacam isu muncul dari kalangan kekuasaan. Di mana banyak dari bangsa kita sendiri yang melakukan tindakan itu. Tentu dengan model-model penjajah, meski kemerdekaan sudah berhasil didapatkan.
Belum lagi ketika menilik kondisi DPR yang kerap diisi koalisi, dan minimnya partai oposisi. Maka di situlah bagian dari kelompok masyarakat sipil, terutama kampus dan tokoh masyarakat mengisi peran tersebut untuk keberlangsungan demokrasi.
Ia menyampaikan mahasiswa merupakan aset bangsa yang original, di mana elite-elite politik, tokoh-tokoh masyarakat yang tercerahkan harus menghindari diri dari pengaruh pun godaan zona nyaman, karena mereka diberi kuasa oleh rakyat untuk rakyat.
Masih senada, Muhammad Isnur menuturkan melihat keadaan, butuh konsistensi dan bicara dibarengi fakta juga data saat kita menyuarakan pendapat. Terlebih saat ini generasi muda punya kreativitas dan memaksimalkan kekuatan platform media sosial sebagai alat kampanye.
Di dalam penutupnya, Muhammad Isnur menyampaikan bahwa pihaknya akan selalu berjuang memberikan dukungan perjuangan mahasiswa seperti kasus Rachim dan Nunuk.
“Ini adalah pilihan, kita mau diam saja atas situasi di Indonesia atau kita melawan, jika ada pelanggaran konstitusi atau pelanggaran HAM yang terjadi. Bagi saya tidak ada pilihan lain selain melawan bersama, serta melakukan penguatan riset dan advokasinya untuk sama-sama berjuang." (hmm/rst)