Sumber Gambar: Instagram @Kebebasanakademik
SKETSA - Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menggelar diskusi bertajuk Kaum Intelektual dan Perjuangan Lingkungan: Membongkar Kejahatan Tambang Ilegal di Kaltim. Diskusi ini merupakan agenda yang dilakukan gabungan akademisi dalam menanggapi isu tambang ilegal yang semakin menjadi, khususnya di Kaltim.
Dalam siaran langsung di kanal YouTube Nalar TV pada Selasa (26/10), diskusi dibuka oleh Herdiansyah Hamzah, akademisi Hukum dari Unmul selaku moderator. Hadir pula empat pemantik dari beragam latar belakang. Sebut seperti Soleh Arifin selaku warga Muang Dalam Samarinda yang terdampak aktivitas pertambangan. Ada pula Nurul Puspita, akademisi dari Unmul, Pradarma Rupang dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim, Franky Butar Butar dari Universitas Airlangga serta I Gusti Agung Made Wardana dari Universitas Gadjah Mada.
Herdi membuka diskusi dengan menyebut beragam peristiwa pelik dari adanya aktivitas pertambangan. Belum lagi hak masyarakat atas lingkungan yang sehat terenggut, sebab harus merasakan dampak seperti hilangnya nyawa dan penurunan kualitas hidup. Peran pemerintah pun turut disinggung oleh Herdi. Maraknya kasus tambang ilegal menjadi tanda tanya besar pada diskusi kali ini.
Ia menyegarkan ingatan partisipan mengenai titik persebaran tambang ilegal yang tercatat oleh JATAM. Kutai Kertanegara, sebutnya, menjadi daerah terbanyak dengan 107 titik tambang ilegal. Disusul Samarinda, Berau bahkan Penajam Paser Utara sebagai daerah rencana Ibu Kota Negara (IKN) baru.
“Yang jadi problem adalah tambang-tambang ilegal ini bisa dikatakan tidak diseriusin penanganan atau proses hukumnya oleh aparat kepolisian. Banyak kemudian dugaan muncul. Ada yang menyebut bahwa mindset penegak hukum kita yang lemah, ada juga yang mengatakan bagaimana tambang ilegal tidak diproses kalau tidak ada problem di belakangnya,” sebutnya.
Diskusi beralih ke pemantik pertama, yaitu Soleh Arifin. Ia menjelaskan kronologi hadirnya tambang ilegal yang belakangan ramai diperbincangkan. Puncaknya, 14 Oktober lalu warga menyuarakan keresahan. “Warga Muang Dalam resah, banyak orang tidak dikenal datang beramai-ramai mengawal aktivitas tambang itu. Kita berkomunikasi dengan Babinsa, Kapolsek, meminta pengamanan, namun tidak direspons,” papar Soleh.
Rumitnya permasalahan ini membuat warga Muang Dalam meminta bantuan pihak JATAM Kaltim. Dirinya berharap diskusi seperti yang dilakukan KIKA ini dapat terus berlanjut. Mengingat beratnya dampak yang dirasakan warga dan besarnya manfaat ketika masyarakat mau terlibat dalam diskusi lingkungan ini.
Pradarma Rupang dari JATAM Kaltim menyebut, permasalahan tambang tak lepas dari aktivitas bisnis dan merusak kawasan tinggal masyarakat setempat. Pola aktivitas tambang ilegal rupanya tak hanya terjadi di Kaltim. Daerah tetangga seperti Kalimantan Selatan (Kalsel) juga mengalami hal serupa. Tindak lanjut yang tak cepat digubris pihak berwenang juga jadi faktor maraknya pelanggaran lingkungan hidup tersebut.
“Cukup banyak ruang bagi penyidik untuk membuat pelaku kapok, gerah. Tapi sepertinya, hari ini kita tidak mendapatkan laporan resmi bagaimana tindak lanjut untuk warga. Saat Kades melakukan pengusiran, mereka dipanggil. Ini menunjukkan penyidik tidak memeriksa secara keseluruhan,” ujarnya menceritakan kriminalisasi yang terjadi saat melawan tambang ilegal.
Peran Akademisi Usut Tambang Ilegal
Masih menyoal tambang ilegal, Nurul Puspita sebagai perwakilan Koalisi Akademisi Unmul ikut menanggapi. Ia membeberkan petisi yang diajukan untuk usut tambang ilegal. Terlebih, tambang tersebut juga merampas lahan praktikum dari mahasiswa Pertanian Unmul. Keterlibatannya dalam koalisi akademisi Unmul juga tak lepas dari tanggung jawab moral dalam pemberdayaan masyarakat sebagai civitas academica.
“Kalau melihat masyarakat (punya) jalan tidak rata, banyak sekali limbah ke jalanan, (aktivitas) masyarakat terhambat, itu adalah kewajiban moral. Saya sangat senang bahwa (saat) petisi dikeluarkan, aktivitas pertambangan ilegal itu berhenti. Harapannya, ini berkelanjutan,” imbuh wakil dekan Faperta itu.
Baginya aktivitas pertambangan berpotensi merusak, sebab setelah digarap akan ditinggalkan. Belum lagi pemulihan lahan seperti mengembalikan top soil dan melakukan reklamasi butuh komitmen kuat. Itu sebabnya, petisi usut tambang ilegal diupayakannya agar elemen masyarakat mendapatkan hak lingkungan yang adil. Sampai berita ini diturunkan, diketahui ada 88 dosen Unmul yang menyetujui petisi itu.
I Gusti Agung Made Wardana, akademisi dari UGM, memperkuat gagasan bahwa peran kaum intelektual (dalam konteks yang lebih luas) penting dalam gerakan sosial di masyarakat. Dua kategori intelektual yang ia sebut, yaitu kaum intelektual tradisional dan intelektual organis.
“Teman-teman di Unmul yang ikut dalam gerakan ini, kita dapat katakan intelektual organis yang bersama masyarakat berjuang melawan ketidakadilan. Di sisi lain, kaum intelektual tradisional, mencoba menjaga jarak di lingkungan sosialnya,” paparnya.
Keterhubungan kaum intelektual dengan gerakan lingkungan juga dilihat dari relasi dengan masyarakat serta lingkungan hidupnya atau alam. Permasalahan lingkungan merupakan hal yang kompleks, sebab faktornya tak tunggal. Mulai dari pendapat ledakan jumlah penduduk, teknologi yang usang seperti PLTU hingga pendapat soal kegagalan mengelola ruang bersama.
Lebih lanjut, ia menyoroti para intelektual yang kerap tak mengambil posisi dari ketidakadilan yang terjadi. “Mereka menjaga mitos netralitas, objektivitas ilmu pengetahuan. Mereka tidak mengeluarkan statement moral dan politik dalam melawan ketidakadilan. Bagi mereka urusan lingkungan adalah politik yang harus dihindari,” sambungnya.
Franky Butar Butar, Ketua Human Rights Law Studies (HRLS) Unair menjelaskan bahwa kejadian tambang ilegal ini berkaitan dengan relasi kekuasaan. Seperti kapital secara politik, keuangan dan kekuasaan. Keuntungan dinilainya menjadi ‘energi’ bagi pihak tambang ilegal menggerus lahan-lahan masyarakat. Minimnya pengawasan dan penegakan hukum, menjadi momok yang terus ada saat isu ini dibahas. Diperparah Omnibus Law yang semakin melanggengkan ekspansi perusahaan tambang dan membatasi partisipasi masyarakat Indonesia.
“Penyelesaian tata ruang kita belum selesai. Kita belum mampu menyelesaikan evaluasi ekonomi atas sumber daya alam kita. Penguatan pengawasan saya rasa masih minim,” sebutnya.
Agenda sore itu dilengkapi dengan diskusi dari berbagai pihak seperti pemerintah desa, mahasiswa, dan jurnalis. (rst/len)