Sumber Gambar:
SKETSA — Beberapa waktu lalu, sebanyak 58 dosen Unmul mengajukan tuntutan terhadap transparansi dari sistem remunerasi. Tuntutan yang diterbitkan melalui pernyataan tertulis pada Selasa (26/3) tersebut ditujukan kepada Rektorat Unmul, dengan harapan dapat memberikan keterbukaan dari sistem remunerasi yang ada. Namun, kasus tersebut tak kunjung menemui titik terang hingga saat ini.
Menanggapi isu hangat tersebut, awak Sketsa mencoba menghubungi Purwadi Purwoharsojo, selaku perwakilan dari Koalisi Dosen Unmul. Dirinya yang juga merupakan pengamat ekonomi Unmul turut buka suara terhadap carut marut remunerasi di Kampus Tropical Studies itu.
“Jadi, sebenarnya koalisi dosen bikin rilis karena ingin melihat evaluasi kebijakan remunerasi yang lalu-lalu sampai 2023,” beber Purwadi kepada Sketsa melalui sambungan telepon, Selasa (30/4) lalu.
Lebih lanjut, dirinya menyatakan bahwa tim remunerasi tahun 2024 yang terbentuk saat pergantian Rektor rupanya belum bekerja, dan masih mempersiapkan beberapa kebijakan untuk remunerasi tahun ini. Perhitungan poin masih dihitung oleh tim lama, sementara proses eksekusinya akan dilakukan oleh tim yang baru dibentuk.
Ketika ditanya menyoal tindak lanjut dari tuntutan koalisi dosen, Purwadi mengungkap bahwa hasil rapat pertama bersama Wakil Rektor II yang dilaksanakan sebelum Hari Raya Idulfitri belum membuahkan hasil yang memuaskan. Koalisi dosen menuntut adanya evaluasi kebijakan remunerasi yang dinilai belum jelas. Akan tetapi, rapat tersebut rupanya hanya membahas mengenai kebijakan yang akan datang.
Tim remunerasi dosen Unmul yang baru terbentuk akan memformulasikan remunerasi tahun 2024 yang dikabarkan akan berbeda dengan pola remunerasi sebelumnya.
“Salah satunya, jika remunerasi dosen Unmul yang lalu-lalu 70 persen dibayarkan per tahun, maka, oleh tim remunerasi dosen Unmul yang baru, katanya, remunerasi dosen Unmul yang 70 persen tersebut akan dibayarkan per semester mulai tahun 2024. Remunerasi dosen Unmul dibayarkan dua kali untuk yang 30 persen dibayar per bulan, sedangkan yang 70 persen dibayarkan per tahun untuk kebijakan yang lalu-lalu.”
Purwadi mengungkap bahwa tim koalisi dosen telah mengirim surat kepada Humas Unmul untuk menuntut adanya tindak lanjut. Namun, hingga kini belum mendapat jawaban.
Berkaca dari adanya kasus kesenjangan nominal gaji antara dosen yang masih langgeng hingga kini, Dosen FEB Unmul itu menilai bahwa diperlukan adanya transparansi data yang akuntabel dalam proses pemberian upah bagi dosen ataupun tenaga kependidikan (tendik).
“Katakanlah Dosen A seorang doktor, dapat 200 poin, tetapi, rupiahnya lebih kecil dengan dosen yang belum S3. Ada juga dosen yang sudah bergelar profesor dan doktor, sudah menulis berbagai macam jurnal dan buku, tetapi remunerasinya beda tipis dengan dosen yang belum doktor,” terang Purwadi ketika diminta memberi contoh kasus.
Isu remunerasi ini tentunya menjadi perhatian serius bagi sejumlah pihak. Dikhawatirkan, kasus ini dapat mempengaruhi kualitas dosen maupun tendik dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Purwadi belum bisa memastikan apakah anggapan tersebut sepenuhnya benar. Meskipun begitu, ia berharap agar segenap dosen Unmul tetap bersemangat dalam menjalankan tanggung jawab mereka sebagai pengajar.
“Untungnya, nggak ada (dosen) yang sampai mogok ngajar. Jangan sampai pengajar jenjang S2 S3 itu itu tidak termotivasi dengan baik. Karena dikhawatirkan kualitas pembelajaran di kelas akan menurun,” harapnya.