Bencana Banjir Kalsel, Mahasiswa Unmul Turun Jadi Relawan

Bencana Banjir Kalsel, Mahasiswa Unmul Turun Jadi Relawan

Sumber Gambar: Dok. IMAPA Unmul

SKETSA – Januari lalu, masyarakat dikejutkan dengan bencana banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan (Kalsel). Sebanyak 70 kecamatan dari 11 kabupaten/kota terdampak banjir dan ribuan orang menjadi korban bencana. Mereka yang mengungsi tentunya membutuhkan uluran tangan pemerintah dan relawan dalam memenuhi kebutuhan sementara. Seperti tenda, dapur umum, obat-obatan hingga kebutuhan makanan dan minuman.

Mahasiswa Unmul turut serta dalam membantu korban kebanjiran. Mulai dari menggalang donasi uang, pakaian, makanan sampai turun langsung menjadi relawan di tempat kejadian. Seperti Ikatan Mahasiswa Pecinta Alam (IMAPA) dan Korps Sukarela (KSR) Unmul yang mengirimkan timnya menjadi relawan.

Senin (1/2) Ketua IMAPA Unmul periode 2019/2020, Ibnu Abbas, memaparkan kegiatan mereka selama melakukan persiapan dan distribusi bantuan. Ia menuturkan, sebelumnya mereka telah menerima informasi jika posko Pos Penanggulangan Bencana (P2B) di Martapura sangat membutuhkan alat pendistribusian logistik di daerah pinggiran sungai. Setelah membentuk tim yang terdiri dari 8 orang, mereka membawa 2 unit perahu karet yang biasa digunakan untuk pelatihan jeram dan satu perahu karet yang menggunakan mesin kapal. Tim sampai di Barabai, Kalsel, pada 20 Januari lalu.

Selain memberikan bantuan, IMAPA juga membantu dalam penyaluran logistik bagi tempat-tempat yang terdampak dan masuk dalam pemulihan banjir. Mereka kemudian membagi tim menjadi dua agar penyampaian bantuan lebih luas dan efisien. Terdapat beberapa perkampungan yang tertutup oleh longsor, sehingga mereka harus membuka akses untuk mengantarkan logistik.

“Jadi teman-teman dari UKM IMAPA Unmul dan tim komunitas off-road menuju akses ke kampung tersebut untuk membukakan akses jalur darat untuk bisa masuk bantuan logistik hingga ke sana,” tuturnya.

Tim lainnya kemudian diberangkatkan ke Martapura untuk bergabung dengan posko relawan yang bertempat di SMA Negeri 2 Martapura. Di sana, mereka membantu pendistribusian barang terutama sembako, perlengkapan bayi, obat-obatan, dan perlengkapan perempuan.

“Sekitar 10 hari, kami membantu pendistribusian logistik yang ada di drop posko. Selain pendistribusian logistik ke tempat yang terdampak banjir, kami juga berfokus untuk evakuasi penduduk. Yang kami utamakan adalah lansia, terus ibu hamil dan anak kecil,” jelas Ibnu.

Kegiatan ini tak lantas tanpa kendala. Mereka kesulitan untuk mencapai daerah terdampak yang dituju karena beragam hambatan. “Pada saat keberangkatan itu, kami terlambat karena sudah masuk di hari ke-10 serta transportasi yang sulit di dapat. Di sana, akses menuju Kota Martapura sangat susah karena beberapa jembatan putus akibat dampak banjir kemarin.

Cerita lainnya datang dari KSR Unmul yang berangkat pada 23 Januari lalu. Rahmad Hidayat, selaku koordinator lapangan menyebut jika mereka mempersiapkan kebutuhan recovery alias pemulihan pasca bencana. Seperti alat-alat kebersihan rumah, chainsaw untuk pembersihan kayu, tali, dan peralatan dapur umum. Sebagai organisasi yang bergerak di bidang kebencanaan dan kesehatan, mereka mengutamakan distribusi obat-obatan, makanan dan bantuan kesehatan bagi masyarakat yang terdampak.

“Paling utama obat-obatan kemudian distribusi makanan berupa nasi dari aplikasi dapur umum. Kami (juga) bawa tim medis untuk kesehatan. Di dapur umum, kami ingin agar masyarakat bisa memakan makanan sehat (bukan makanan instan) seperti sayur atau ayam,” kata Rahmad kepada Sketsa, Rabu (3/2).

Proses bantuan dilakukan dengan tiga tahap. Pertama, melakukan evakuasi masyarakat terutama bagi mereka yang memilih tetap tinggal di rumah atau loteng rumah mereka. Kedua, melakukan pembersihan setelah bencana dan terakhir melakukan perbaikan fasilitas umum dan bentuk recovery lainnya. Seperti memastikan ketersediaan air bersih untuk sanitasi hingga membuat jembatan darurat. Selama 10 hari, ia dan rekan-rekannya membantu masyarakat sesuai dengan yang mereka butuhkan.

Trauma yang menimpa masyarakat serta keadaan yang tidak stabil menjadi kendala tersendiri bagi mereka. Selama 4 hari pertama, mereka berinisiatif untuk mengerjakan bantuan sendiri dengan bantuan beberapa orang. Lama kelamaan, masyarakat lain juga ikut turun dan bergotong royong. Pembangunan jembatan dan perbaikan pipa air dikerjakan bersama dengan warga dan organisasi lainnya.

Selain keadaan, ia mengatakan jika kendala di lapangan lebih minim kecuali dalam hal komunikasi dan tenaga. Sebab mayoritas masyarakat menggunakan Bahasa Banjar dan lumayan sulit untuk diikuti. Ia dan kesembilan rekannya juga kesulitan dalam urusan tenaga sehingga harus berganti-gantian ketika ada yang sakit atau drop karena kelelahan.

Ketika ditanyakan perihal support dari kampus, Rahmad mengaku jika ia cukup kecewa sebab pihak Unmul tidak memberikan dukungan yang baik secara penuh. Ia menyebut, pihak rektorat mengusahakan untuk memberikan dana sebesar Rp5 juta untuk transportasi. Namun ketika di-follow up, dana tersebut bukan berasal dari anggaran rektorat, tetapi anggaran KSR yang dipotong rektorat. Akhirnya, mereka mendapatkan pencairan dana sebesar Rp1,5 juta. Untuk Rp5 juta yang telah dibicarakan sebelumnya, baru akan diberikan rektorat setelah laporan pertanggungjawaban mereka selesai.

“Ini bagusnya dua organisasi, ada IMAPA Unmul dan KSR Unmul kenapa nggak difokuskan ke situ untuk posko Unmul yang besar, bagus dan alatnya lengkap. Jadi, harus nunggu-nunggu, kah? Toh, ada juga anak organisasi yang berangkat ke sana,” pungkas Rahmad. (ash/ans/len/rst)