Google.com
SKETSA – Tepat pekan lalu, Rektor Unmul Masjaya membeberkan klarifikasinya di depan puluhan mahasiswa terkait polemik selisih kas Badan Layanan Umum (BLU). Ia menyebut bahwa selisih yang digembar-gemborkan sebesar Rp35 miliar tersebut digunakan untuk pendanaan program kualifikasi guru pada 2010 silam. (Baca: https://sketsaunmul.co/berita-kampus/klarifikasi-dan-janji-masjaya/baca)
Usai aksi, Sketsa menemui Rahmat Soe’ed selaku Ketua Satuan Pengawas Internal (SPI) Unmul, sekaligus dosen yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Sembari menyandarkan badannya, Rahmat sapaan akrabnya menceritakan kronologis program tersebut.
Rahmat mengatakan program tersebut diturunkan oleh pemerintah daerah Kaltim untuk meningkatkan jenjang pendidikan guru-guru di desa terpencil, pada saat itu, guru-guru Taman Kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) masih berstatus Diploma 1 (D1), Diploma 2 (D2) dan Diploma 3 (D3).
“Diploma 1 (D1) harus ke Diploma 2 (D2), Diploma 2 dan 3 harus ke Sarjana (S1),” ujarnya.
Sekitar 200 dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) diutus untuk mengajar guru-guru di desa. Jadwal pembelajaran ditetapkan selain hari kerja efektif, yakni Sabtu dan Minggu. Setiap dosen yang berangkat dibekali uang saku untuk biaya akomodasi dan transportasi.
Rahmat mengatakan setelah mengikuti perkuliahan dan melakukan penelitian, guru-guru tersebut berhasil mendapatkan gelar sarjana. Data tersebut dapat dilihat dari jumlah kelulusan guru-guru yang mendapatkan ijazah, semua terarsip di rektorat.
Anggaran dana tersebut disalurkan langsung pemerintah ke FKIP tanpa melalui Unmul. Padahal sejak 2009 Unmul telah berubah menjadi Badan Layanan Umum (BLU), yang mana semua suntikan dana harus melalui satu pintu, yaitu bendahara BLU.
Setelah berjalan 3 tahun, tepatnya di tahun 2013, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan selisih kas Unmul lebih dari Rp 35 miliar. Berdasarkan hasil audit BPK, angka tersebut terbagi Rp25 miliar di FKIP dan Rp10 miliar di rektorat.
Membengkaknya Rp25 miliar di FKIP disebabkan karena dana yang diberikan kepada dosen yang bertugas tidak tercatat dengan rapi. Beberapa tercatat, berupa tanda bukti terima dana. Sementara sebagian lagi tidak. “Secara administrasi memang terjadi kesalahan,” ungkap Rahmat.
Sedangkan selisih Rp10 milar di rektorat disebabkan adanya perbedaan standar ukuran dalam pembiayaan penelitian dosen yang bekerjasama dengan Unmul. Semua bantuan dana untuk penelitian dosen tercatat sebagai pendapatan Unmul.
Besaran nilai dana yang diberikan oleh pemerintah daerah (Pemda) maupun instansi memiliki standar tersendiri. Sedangkan inspektorat jendral (Irjen) memiliki ukuran standar sesuai dengan ketetapan dari kementerian keuangan. Persoalannya, standar ukuran (dana) yang diterapkan Irjen lebih kecil ketimbang Pemda dan instansi, hal itulah yang disebut Rahmat yang mengakibatkan terjadinya selisih kas.
“Umpamanya 1 jam seharusnya hanya dibayar Rp50 ribu (standar Irjen) sedangkan yang dibayarkan itu Rp150 ribu (standar Pemda atau instansi), lebihnya itu dianggap temuan,” katanya.
Irjen kemudian mengaudit dana sebesar Rp25 miliar untuk mengetahui berapa dana yang harus dikembalikan oleh dosen yang bersangkutan. Berdasarkan peraturan kementrian keuangan, hanya sekitar Rp15 miliar yang diakui oleh Irjen , sedang sisanya adalah besaran angka yang harus diganti oleh dosen yang terlibat dalam program tersebut.
Berdasarkan keterangan Rahmat, solusi untuk kasus ini ialah tiap dosen melunasinya dengan dicicil. Setiap dosen menandatangani kontrak terkait kesediannya. Nominal dana yang dibayar masing-masing dosen berbeda-beda dan tenggat waktu tidak lebih dari 24 bulan. Hingga kini, pelunasan telah berjalan selama 3 bulan.
“Jadi pencicilan itu bisa melalui gaji, sertifikat dosen atau remunerasi. Mereka pilih mau lewat apa,” jelasnya.
Rahmat menegaskan bahwa dana ini tidak ada sangkut pautnya dengan uang kuliah tunggal (UKT). Menurutnya isu ini naik ke permukaan dan menjadi heboh lantaran ada oknum yang tidak mendukung Masjaya sebagai rektor dua periode. “Saya sampaikan ke kepolisian daerah (Polda), ini berangkat dari kekecewaan melihat Masjaya terpilih lagi. Apalagi secara aklamasi,” tandasnya. (erp/adl)