Sumber Gambar: cnnindonesia.com
SKETSA – Beberapa waktu lalu, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas disoroti menyoal pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala. Regulasi tersebut dicanangkan demi meningkatkan ketentraman, ketertiban, dan keharmonisan antar warga masyarakat.
Untuk melihat fenomena tersebut, Sketsa turut meminta tanggapan Joko Susilo selaku Ketua Pengurus Masjid Al-Fatihah Unmul. Saat dihubungi pada Selasa (1/3), ia mengaku bahwa permasalahan ini perlu dilihat dari berbagai aspek.
Dari kacamata Joko, aturan ini akan mengubah kebiasaan yang sudah berlangsung lama di masyarakat muslim. Sebab, bisa menimbulkan ketidakterimaan di masyarakat. Hal ini juga bisa berasal dari kebiasaan masyarakat Indonesia yang sudah membudaya.
Menurutnya terdapat hal yang perlu dipertimbangkan. Jika tidak diperbolehkan karena kualitas suaranya yang buruk, maka harus ada konsekuensi pemerintah untuk menyediakan pengeras suara muazin yang indah. Namun, menurutnya pemerintah tidak melihat ke arah tersebut.
“Secara pribadi, saya juga Ketua pengurus Masjid Kampus Al-Fatihah dan juga ketua musala di tempat tinggal saya, tidak ada masalah dengan aturan tersebut, karena sudah menjalankan aturan ini sejak dahulu,” tulisnya melalui pesan teks Whatsapp.
Menilik sejarah keislaman terkait pengeras suara serta tradisi yang ada di Indonesia, hal itu perlu mengacu pada Al-Qur'an dan sunah nabi. “Speaker bukan hal yang dilarang, tapi tinggal menyesuaikan fungsi azan dengan menggunakan speaker.”
Ia juga meyakini yang menjadi polemik bukan masalah pengeras suara, melainkan ketika Menag membandingkan suara azan dengan gonggongan anjing yang seharusnya tak perlu terjadi. Sepatutnya, Menag melakukan pemilihan diksi yang tepat agar tidak menimbulkan polemik.
“Kita berharap, yang sebenarnya tidak menjadi topik utama ini bisa segera terselesaikan dengan bijak dan adil. Umat Islam sedang digoreng dan diombang-ambingkan,” pungkasnya.
Lain Joko, lain pula Pradika Danang Anjar Kurniawan yang merupakan Ketua UKM Al-Farah FIB Unmul. Ia mendukung aturan ini mengingat keragaman agama yang ada indonesia tak hanya diisi oleh mayoritas islam saja.
“Saya rasa aturan ini tidak semestinya ditolak, karena istilahnya ini bukan sebagai bentuk kita untuk melarang, tapi ini sebagai bentuk kita untuk toleransi dan ini hanyalah perihal bagaimana kita bisa (menerima) berbagai keadaan di sekitar kita,” tuturnya saat dihubungi melalui WhatsApp.
Jika nantinya aturan tersebut diberlakukan, maka Menag perlu sosialisasi kepada masyarakat lantaran masih banyak yang belum memahami terkait dengan pembatasan ini. Pasalnya, masih banyak yang mengira bahwa pembatasan ini sebagai larangan agama Islam untuk mendengar azan. (mhs/fzn/nkh)