Lifestyle

Pesona Media Sosial, Kuota, dan Ancaman Gangguan Kejiwaan

"Harta, tahta, kuota," ungkapan sebuah anekdot. Saat ini siapa yang tahan melewatkan hari tanpa mengecek sosial media? (Sumber ilustrasi: batam.tribunnews.com)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA - Siapa di antaramu yang hari ini tidak memiliki akun media sosial? Terlepas dari membuat candu atau tidak, media sosial memang tak dapat dimungkiri sebagai sesuatu yang kini teramat penting dan sulit meninggalkannya walau sebentar. Tak pelak, banyak yang menyebut media sosial adalah berhala jenis baru.

Bicara media sosial dan beragam fitur suguhannya, berarti kita bicara soal kuota data internet. Mereka tak terpisahkan. Ibarat sepatu dengan talinya, begitulah hubungan antara keduanya. Adanya fitur-fitur anyar dari tiap platform media sosial, membuat penggunanya tak segan menghabiskan isi dompet demi kuota. "Harta, tahta, kuota," ungkapan sebuah anekdot. Saat ini siapa yang tahan melewatkan hari tanpa mengecek sosial media? Dari pekerja hingga mahasiswa, semua ingin eksis di dunia maya.

Perilaku ini sudah masuk dalam daftar Diagnostic and Statistical Manual of Mental Health Disorders (DSM-V) dan sudah sejak lama diperlajari. Sedari 1996 Dr. Kimberly Young bahkan telah menulis paper mengenai gangguan mental itu. Ia menekankan bahwa candu internet sama dengan gejala kecanduan lain, tapi lebih kepada impuls kontrol diri. Pecandu merasa mendapatkan kepuasan yang tidak didapatkannya di dunia nyata.

Kemudian, berdasarkan laporan yang ditulis antropolog Universitas of Sydneyc, Stephen Juan, Ph.D ada beberapa tanda seseorang mengidap Internet Addiction Disorder (IAD) yakni: selalu ingin menghabiskan lebih banyak waktu di internet sehingga akan menguras waktu efektif yang ada, jika tidak menggunakan internet, muncul gejala-gejala penarikan diri seperti kecemasan, gelisah, mudah tersinggung, bergetar, menggigil, gerakan mengetik tanpa sadar, obsesif, hingga berkhayal atau bermimpi mengenai internet.

Kemudian, jika terhubung dengan internet, gejala-gejala penarikan diri tersebut akan hilang ataupun berkurang, mengakses internet lebih lama dari yang diniatkan, cukup banyak porsi kegiatan yang digunakan untuk aktivitas terkait internet, termasuk e-mail, browsing, dan chatting, mengurangi kegiatan penting, baik dalam pekerjaan, sosial atau rekreasi, demi menggunakan internet, dan kadang-kadang menyembunyikan aktivitas penggunaan internet dari keluarga atau teman.

Sebenarnya tidak ada yang salah dari penggunaan media sosial. Apalagi kebermanfaatannya di lingkup penyebaran informasi-- utamanya mahasiswa semisal kehadiran dosen, tugas, dan sebagainya. Informasi kini lebih banyak hadir di ruang-ruang media sosial, tidak lagi via sms atau tertulis di papan-papan pengumuman. Media sosial dianggap lebih efisien dan murah tapi pesan tersampaikan.

Rima Masyanah, mahasiswi FKIP menakar ketergantungannya terhadap kuota bahkan mencapai 100 persen. Bolak-balik timeline Instagram atau Line dikatakannya menjadi rutinitas yang dilakukan selama ponsel dalam genggaman. Tak ayal aktivitas produktif sering terabaikan.

Yang diminati dari pesona dunia maya menurut Rima, bukan hanya chatting tetapi juga hiburan lewat tulisan, gambar, dan video-video lucu. Apalagi adanya fitur live dan story, memungkinkan penggemar melihat wujud sang idola dari jarak dekat.

Terkikisnya kuota data internet adalah konsekuensi logis yang mesti ditanggung Rima dan jutaan pengguna lainnya. Saking ranjingnya terhadap kuota, pernah sekali ia menghabiskan 1 GB hanya dalam sehari. Jika ditotal, bisa sampai ratusan ribu terkuras dari dompet dalam waktu sebulan demi kuota.

"Tanpa kuota saya enggak bisa apa-apa. Kalau kuota tinggal 1 GB saya langsung beli lagi," ucapnya.

Membincangkan kuota membuat benak mau tidak mau teringat dengan fenomena website Telkomsel yang di hack April silam. Sudah jadi rahasia umum provider yang dikenal punya kelebihan sinyal kuat itu mematok harga lebih tinggi dibanding provider lain. Menurut Pury Cahniati, mahasiswi FKIP, pengguna internet tak bisa berbuat banyak.

"Mau tidak mau ya dibeli walaupun mahal. Karena orang-orang sudah terbiasa aktif nongkrong di sosmed. Jadi kalau tidak aktif seperti merasa ada yang aneh. Smartphone jadi tidak ada gunanya," tukasnya.

Lain Rima, lain Risa. Mahasiswi Pembangunan Sosial FISIP itu justru tak suka mengekspresikan dirinya di media sosial. Risa hanya menggunakan media sosial untuk mengakses informasi seputar perkuliahan dan berita. Sesekali untuk bertukar kabar dengan teman dan kerabat. Untuk ini, dara asli Samarinda itu punya alasan.

"Saya tidak terlalu suka mengekspresikan diri lewat medsos misalnya dengan update status, upload foto selfie dan sebagainya. Bagi saya, terlalu sering membuka medsos juga dapat menyebabkan kita apatis terhadap kehidupan nyata atau aktivitas sehari-hari," ujar pemilik nama lengkap Risa Rismawanti itu.

Terpisah, Farah Azizah mahasiswi Psikologi memapar fenomena kecanduan media sosial dari sudut mata kejiwaan mahasiswa. Bagi Farah, sebagai wahana mengekspresikan diri dari bangun tidur sampai tidur lagi, media sosial makin berbahaya ketika yang diposting mendulang banyak suka (like).

"Banyak like dari orang lain, itu bisa membuat mereka makin candu dan menjadi narsistik. Kalau sudah narsis itu sudah masuk ke gangguan kejiwaan. Karena mau dilihat istimewa dan kebutuhan untuk dikagumi," terangnya.

Lebih lanjut soal narsistik, Farah berdasar Diagnostic and Statistical Manual IV menyebut ada beberapa hal yang dapat dikenali dan disadari sejak awal. Cenderung punya pandangan terlalu berlebihan tentang diri sendiri, mengaharap penghargaan, membesar-besarkan prestasi dan mengharapkan orang lain mengakui bahwa diri mereka superior adalah ciri-ciri narsistik.

"Orang- orang narsistik bener-bener pengin dilihat sebagai orang spesial, pengin diperhatikan dan dipuja berlebihan. Selain itu, mereka juga memiliki rasa cemburu terhadap prestasi orang lain dan beranggapan bahwa orang lain pun cemburu dengan kehidupannya. Mereka juga sombong, kurang memperhatikan perasaan orang lain. Bahayanya, mereka sensitif dan takut gagal," tukas Farah.

Kepada Sketsa, Farah berbagi tips agar tidak kecanduan internet dan media sosial:
1. Harus punya komitmen di dalam diri, sosial media bukan sebagai prioritas utama.
2. Sisihkan uang jajan untuk beli kuota, jangan dicampur dengan kebutuhan yang lain
3. Atur waktu untuk bermain media sosial
4. Cari kegiatan yang bermanfaat
5. Habiskan waktu dengan keluarga, teman, dan kerabat di dunia nyata

Jadi, mulai sekarang mari berhati-hati menggunakan media sosial. Jangan sampai kecanduan, narsistik, dan akhirnya kena gangguan kepribadian. Mari gunakan media sosial secara bijak. Selamat Hari Media Sosial! (gie/aml)




Kolom Komentar

Share this article