Rp200 Triliun Belum Cukup Mengatasi Rapuhnya Ekonomi Indonesia
Ekonomi rapuh Indonesia terancam inflasi, utang, dan jebakan pertumbuhan
- 01 Oct 2025
- Komentar
- 132 Kali

Sumber Gambar: Andrean Kristianto/CNBC Indonesia
Masyarakat kini mulai merasakan denyut ekonomi yang semakin berat. Harga melonjak, daya beli kian tergerus, sementara lapangan pekerjaan terasa semakin sempit.
Apa yang dulu dianggap sekadar wacana makroekonomi kini hadir dalam keseharian, bahwa inflasi yang tak terkendali di meja makan, fluktuasi rupiah yang merembes ke harga barang impor, hingga ketidakpastian kerja yang menghantui banyak rumah tangga.
Dalam situasi seperti ini, janji pertumbuhan ekonomi yang stabil terdengar bagai gema jauh di ruang rapat pejabat, tetapi tidak terasa nyata di pasar tradisional maupun dompet pekerja harian.
Ekonomi Indonesia benar-benar berada di persimpangan jalan. Pondasi domestik rapuh, dinamika global tak menentu, dan disrupsi teknologi menghadirkan peluang sekaligus ancaman.
Pemerintah mencoba meredam tekanan dengan mengucurkan Rp200 Triliun. Namun kita perlu bertanya bahwa apakah kebijakan ini cukup ampuh menghadapi badai yang semakin menguat atau justru akan menjerumuskan Indonesia ke dalam growth trap? Sebuah jebakan di mana pertumbuhan ada, tetapi rapuh, timpang, dan tidak berkelanjutan?
Defisit Fiskal dan Utang Publik
Kebijakan fiskal ekspansif yang diambil pemerintah sebenarnya sejalan dengan teori Keynesian, yang menekankan peran belanja negara sebagai countercyclical policy untuk menahan resesi dan menjaga permintaan agregat. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada kapasitas fiskal suatu negara.
Indonesia menghadapi dilema karena rasio pajak (tax ratio) masih berkutat di bawah 12 persen, jauh di bawah rata-rata negara G20 yang berada di kisaran 20–30 persen. Menurut Perotti, R. (2007), negara-negara berkembang dengan tax ratio rendah cenderung sulit menjaga fiscal sustainability, terutama jika ekspansi fiskal tidak dibarengi dengan peningkatan penerimaan negara.
Ketergantungan pada surat utang berdenominasi dolar menambah kerentanan. Sejarah krisis Asia 1997 telah menunjukkan bagaimana depresiasi mata uang bisa melipatgandakan beban utang luar negeri, menghancurkan ruang fiskal, dan memicu spiral krisis.
Jika tren pelemahan rupiah berlanjut sementara bunga global tetap tinggi, Indonesia berisiko masuk ke dalam lingkaran berbahaya yaitu membayar utang dengan utang baru.
Ancaman Stagflasi
Teori Keynes menekankan konsumsi rumah tangga sebagai motor pertumbuhan. Di Indonesia, kontribusinya mencapai sekitar 55 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, laju inflasi pangan dan energi telah menggerus daya beli.
Menurut Ngidi, B. (2015), inflasi pangan memiliki dampak regresif lebih besar dibanding inflasi barang non-pangan karena proporsi belanja rumah tangga miskin didominasi kebutuhan pangan.
Akibatnya, meski belanja negara meningkat, efek penggandanya (multiplier effect) bisa melemah karena masyarakat tetap menahan konsumsi. Kondisi ini berpotensi menciptakan stagflasi ringan, yaitu fenomena yang secara historis sangat sulit ditangani, sebagaimana ditunjukkan pengalaman AS pada dekade 1970-an.
Ketergantungan Komoditas
Ekspor Indonesia masih terlalu bergantung pada komoditas primer seperti batu bara, Crude Palm Oil (CPO), dan nikel. Lonjakan harga global memang membawa berkah sesaat, tetapi struktur ekspor yang rapuh membuat ekonomi rentan terhadap gejolak eksternal.
Sejumlah penelitian, termasuk dari Rehner, J., Baeza, S. A., & Barton, J. R. (2014) tentang Regional Specialization, Export Stability and Economic Growth, telah menunjukkan bahwa negara dengan ekspor berbasis komoditas mentah cenderung mengalami low growth trap karena minim inovasi teknologi dan diversifikasi.
Hilirisasi yang dicanangkan pemerintah merupakan langkah strategis. Namun, ketidakpastian regulasi seperti kasus larangan ekspor nikel yang digugat di World Trade Organization (WTO) telah menimbulkan keraguan investor. Diversifikasi ke sektor manufaktur berteknologi menengah dan jasa digital masih tertinggal jauh, sehingga agenda industrialisasi Indonesia belum benar-benar lepas dari jebakan komoditas.
BRICS dan Diversifikasi Geopolitik
Kebijakan luar negeri ekonomi Indonesia mulai beralih dengan menjalin kedekatan pada BRICS sebagai alternatif dominasi Barat. Secara teoritis, hal ini bisa dibaca melalui kacamata dependency theory yang menyoroti bagaimana negara berkembang sering terjebak dalam ketergantungan asimetris terhadap negara maju. Sehingga masuk ke orbit BRICS, Indonesia berharap mendapatkan ruang manuver geopolitik yang lebih luas.
Namun, realitasnya lebih kompleks. Upaya de-dollarization yang digagas BRICS memang berpotensi menekan biaya transaksi valas, tetapi tanpa likuiditas dan kepercayaan pada rupiah, risiko volatilitas justru meningkat.
Investasi besar dari Tiongkok dan India sering kali membawa “conditionality” tersembunyi berupa akses pasar, dominasi teknologi, dan pengaruh politik. Sejarah utang infrastruktur di Sri Lanka yang berujung pada debt trap diplomacy Tiongkok menjadi peringatan bagi Indonesia agar tidak tergelincir ke dalam ketergantungan baru.
APBN, Stimulus, dan Dilema Rupiah
Rp200 Triliun yang dikucurkan pemerintah adalah shock absorber untuk menjaga stabilitas sosial-ekonomi. Namun, efektivitas stimulus selalu bergantung pada akurasi distribusi. Jika tepat sasaran, dana ini bisa menjaga konsumsi rumah tangga, mendorong investasi infrastruktur, dan memberi efek pengganda bagi perekonomian.
Tetapi, literatur yang dilakukan oleh MacIntyre, A. (2000) tentang kebijakan fiskal di negara berkembang menunjukkan bahwa birokrasi lemah sering kali membuat stimulus justru bocor, menciptakan rent-seeking, serta moral hazard.
Dilema rupiah makin terasa. Bank Indonesia terus melakukan intervensi untuk menjaga stabilitas kurs, tetapi langkah ini menguras cadangan devisa. Jika intervensi dilemahkan, pelemahan rupiah akan meningkatkan inflasi impor, terutama pangan dan energi.
Situasi ini dapat mengartikan impossible trinity dalam ekonomi moneter, yaitu sulit menjaga stabilitas kurs, kebijakan moneter independen, dan arus modal bebas sekaligus.
AI dan Revolusi Industri 4.0
Perubahan struktural juga datang dari sisi teknologi. Kecerdasan buatan (AI) dipandang sebagai general purpose technology yang berpotensi mendorong produktivitas lintas sektor.
Penelitian Mossavar-Rahmani, F., & Zohuri, B. (2024) menegaskan bahwa AI dapat meningkatkan efisiensi produksi, mempercepat inovasi, dan mengubah lanskap tenaga kerja. Jika diintegrasikan dengan sektor pendidikan dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Indonesia bisa memanfaatkan momentum ini untuk melompat lebih jauh.
Namun, risiko ketimpangan juga besar. Penelitian yang diterbitkan di MIT telah melakukan penelitian hampir keseluruhan pekerjaan administratif berisiko tergantikan oleh otomasi dalam dua dekade ke depan.
Di Indonesia, di mana tenaga kerja berupah rendah masih mendominasi, dampaknya bisa lebih parah. Reskilling menjadi kebutuhan mendesak, tetapi program pemerintah masih terbatas. Jika hanya korporasi besar yang mampu mengadopsi AI, sementara UMKM tertinggal, jurang ketimpangan ekonomi akan semakin melebar.
Suku Bunga Tinggi, Konflik, dan Krisis Iklim
Tekanan eksternal tak kalah berat. The Fed dan European Central Bank (ECB) masih mempertahankan suku bunga tinggi, mendorong capital outflow dari negara berkembang, termasuk Indonesia. Akibatnya, yield obligasi pemerintah naik dan beban bunga utang meningkat. Di sisi lain, konflik Rusia–Ukraina serta rivalitas AS–Tiongkok terus mengguncang rantai pasok energi, pangan, dan elektronik.
Lebih berbahaya lagi, perubahan iklim mulai dirasakan langsung. Fenomena El Niño 2023–2024 telah menurunkan produksi pangan domestik, mendorong harga beras melonjak. Penelitian IPCC menegaskan bahwa krisis iklim akan semakin memperburuk ketahanan pangan negara-negara tropis, termasuk Indonesia. Ketergantungan pada impor gandum dan kedelai semakin mempersempit ruang gerak ekonomi nasional.
Jalan Reformasi atau Jebakan Pertumbuhan?
Jika ditarik ke dalam kerangka besar, pelemahan ekonomi Indonesia adalah hasil interaksi antara kelemahan struktural domestik, tekanan eksternal global, dan transformasi teknologi yang belum inklusif. Stimulus Rp200 Triliun adalah solusi jangka pendek, tetapi tanpa reformasi struktural, efeknya hanya bersifat kosmetik.
Indonesia membutuhkan reformasi pajak untuk memperkuat penerimaan, strategi industrialisasi berbasis diversifikasi manufaktur dan jasa, serta investasi besar-besaran pada pendidikan dan reskilling tenaga kerja menghadapi era AI.
Keberpihakan ke BRICS harus dijalankan dengan kalkulasi cermat agar tidak jatuh pada ketergantungan geopolitik baru.
Sejarah pembangunan ekonomi dunia mengajarkan bahwa negara-negara yang berani melakukan reformasi struktural, yaitu seperti Korea Selatan pada 1980-an atau Vietnam pada 1990-an berhasil keluar dari jebakan pendapatan menengah.
Indonesia pun menghadapi pilihan serupa, apakah berani mengambil jalan reformasi mendalam, atau terus bertahan dengan fondasi rapuh menuju pertumbuhan yang semu, timpang, dan tidak berkelanjutan.
Opini ini ditulis oleh Ruben Cornelius Siagian, Pengamat dan Analis Penelitian Independen yang berbasis di Medan, Sumatera Utara
PROFIL PENULIS
Ruben Cornelius Siagian adalah pengamat dan analis penelitian independen yang berbasis di Medan, Sumatera Utara dengan peminatan fisika komputasi dan teoritis, Ruben aktif menulis opini dan analisis kritis tentang politik, sosial, dan akademik Indonesia di berbagai media nasional sepanjang 2025. Ia mendirikan Riset Center Cendekiawan dan Peneliti Muda Indonesia, wadah kolaborasi bagi mahasiswa, dosen muda, dan guru.
Dalam ranah penelitian, Ruben memiliki publikasi luas di bidang fisika komputasi, astronomi, nuklir, geologi, matematika, dan analisis sosial serta kebijakan internasional, termasuk kajian radiasi, energi nuklir, dan dinamika politik global. Selain itu, ia aktif dalam organisasi mahasiswa dan advokasi, menjabat berbagai posisi kepemimpinan di GMKI, Senat Mahasiswa FMIPA UNIMED, dan Lembaga Advokasi Pemilu GAMKI Sumatera Utara, menggabungkan kepemimpinan, riset, dan analisis kritis sebagai bagian dari kiprahnya yang multidisiplin.