Opini

E10 di Indonesia: Seberapa Siap Infrastruktur dan Industri Kita Menyambutnya?

E10 berpotensi kurangi emisi, tapi kesiapan industri dan pasokan Indonesia belum sepenuhnya matang

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Pexels

Di Indonesia, dorongan menggunakan bensin etanol 10 persen (E10) kembali muncul.  Hal ini dianggap solusi cepat mengurangi emisi dan meningkatkan kemandirian energi. Namun, perlu dilakukan uji coba lagi untuk memastikan industri dan infrastruktur kita sudah siap untuk menerima program ini. Kesiapan energi harus didukung oleh bukti, ketahanan pasokan, dan konsistensi produksi.

Keyakinan awal bahwa Indonesia memiliki stok bioetanol yang cukup untuk mencapai skala E10 harus dipertimbangkan. Penelitian oleh Dinata, dkk. (2021) dalam Jurnal TIN menunjukkan bahwa singkong memiliki potensi yang besar untuk menghasilkan etanol. Namun, karena produksi singkong nasional bervariasi, kualitas bahan baku tidak stabil, dan sebagian besar lahan singkong bersaing untuk memenuhi permintaan pangan, kontinuitas pasokan tetap menjadi masalah penting. 

Studi tersebut secara jelas mengingatkan bahwa kemampuan teoretis tidak sama dengan kemampuan praktis; untuk program sebesar E10, yang diperlukan adalah kemampuan yang stabil, bukan hanya potensi.

Menurut asumsi kedua, infrastruktur yang digunakan untuk menyebarkan dan menggabungkan BBM sudah siap. Menurut penelitian Jupesta (2010) dalam Sustainability, "infrastruktur yang tidak mencukupi" adalah salah satu hambatan utama bagi pertumbuhan biofuel di Indonesia. Bukan hanya fasilitas teknis, melainkan juga mencakup peraturan, persyaratan pasar, dan penerimaan publik. Program etanol, yang lebih sensitif terhadap kualitas dan kadar air, akan menghadapi tantangan yang lebih sulit jika masalah ini tidak diatasi di level biodiesel.

Selain itu, asumsi ketiga bahwa E10 akan memiliki dampak ekonomi dan lingkungan yang signifikan harus dipertimbangkan. Melalui penelitian tentang bahan bakar alternatif di Indonesia, Setio (2022) menunjukkan bahwa meskipun ada banyak potensi untuk energi terbarukan, pelaksanaannya sulit karena perbedaan dalam teknologi, distribusi, dan pasokan bahan baku. Dengan kata lain, keuntungan E10 tidak datang secara otomatis hanya karena dicampur ke dalam bensin, tetapi datang jika seluruh ekosistem bekerja sama.

Jika kita mempertimbangkan ketiga temuan penelitian tersebut, jelas bahwa Indonesia belum siap sepenuhnya. Meskipun industri penelitian menunjukkan tanda-tanda baik, feedstock lokal dapat menghasilkan etanol berkualitas tinggi, kendaraan dapat beroperasi dengan baik menggunakan E10, dan banyak peluang ekonomi terbuka, ekosistem pendukungnya belum sepenuhnya terbentuk. 

Ketidakstabilan pasokan, kinerja mesin yang tidak merata, dan distorsi harga bahan baku pangan adalah beberapa masalah baru yang dapat muncul dengan penerapan E10 jika tidak ada rantai produksi yang stabil, fasilitas blending yang merata, dan standar mutu etanol yang konsisten.

Ini bukan alasan untuk menolak E10. Sebaliknya, ini adalah alasan untuk melihat kenyataan teknis secara jujur dan membuat kebijakan yang dibuat kuat. E10 tidak sukses hanya karena dirilis cepat, tetapi karena dasar industrinya yang kukuh dari petani feedstock hingga pabrik fermentasi dan distilasi, standar etanol nasional, dan infrastruktur distribusi.

Membaca kembali bukti ilmiah menunjukkan bahwa posisi Indonesia bukan "tidak siap", tetapi "belum siap sepenuhnya". Pengakuan ini memberikan peluang untuk memperbaiki agar ketika E10 akhirnya diluncurkan secara nasional, ia tidak hanya tercapai di atas kertas, tetapi juga berfungsi, menguntungkan, dan berkelanjutan.

Opini ini ditulis oleh Muhammad Hady Susilo, mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP Unmul 2025



Kolom Komentar

Share this article