I Can’t Make Us Forever
Cerpen karya mahasiswi FISIP
Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi
Kala langit mulai menunjukkan warna jingga miliknya, aku memarkirkan kendaraanku tak jauh dari dermaga yang hendak kuhampiri. Sore ini, entah mengapa aku merindukan tempat ini. Sebuah dermaga yang tak lagi digunakan untuk aktivitas perairan. Seseorang telah menemukan tempat ini untukku. Karena katanya aku mencintai langit sebegitunya hingga saat ia tak sengaja menemukan dermaga ini, aku adalah orang pertama yang ia ingat.
Aku hanya bisa tersenyum saat itu, karena apa yang ia katakan memanglah benar. Aku turut mencintai tempat ini, rasanya seperti singgah. Selayaknya perahu yang berhenti di dermaga, aku juga berhenti di sini untuk menepi dari riuhnya semesta sebelum harus kembali pergi dan menghadapi arus yang deras.
Dengan membawa sebuah buket bunga, aku duduk di salah satu bangku panjang yang terbuat dari kayu. Tempat yang tepat untuk melihat matahari terbenam. Aku kemudian menatap buket yang berisikan baby rose dengan warna merah muda. Buket itu bahkan disertai pesan yang membuatku benar-benar ingin menepi.
‘Terbang setinggi dan sebebas mungkin, Nalia. Aku turut bahagia dengan pencapaian milikmu, semoga kamu turut rasakan bahagiaku.’
Buket ini datang usai aku memberikan sebuah seminar di acara nasional yang berisikan ratusan orang dari berbagai kalangan. Entah apakah pemberinya datang dan menjadi salah satu dari ratusan orang itu atau ia hanya sekedar menitipkan buket ini, aku tidak tahu. Tapi yang pasti, aku ingin menemuinya.
Aku ingin menemui ia yang tahu aku dengan benar, paham tentangku, seseorang yang pernah menjadi tempat pulangku. Memandangi matahari yang mulai terbenam, pikiranku tak lagi bersamaku. Biarkan ia melalang buana, mengingat masa yang telah lama lewat. Hingga sebuah suara familiar memasuki indera pendengaranku.
Segera aku menoleh dan kudapati sosok itu. Ia adalah seseorang yang menemukan tempat ini untukku dan orang yang sama dengan orang yang memberikan buket bunga padaku.
“Rio?”
Ia terkekeh, “Masih suka ke sini ya?”
Aku tersenyum kecil sembari mengangguk. Namun atensiku kemudian tertuju pada sosok mungil yang ia gendong, gadis kecil dengan rambut yang diikat dua dan menatapku dengan malu-malu.
“Namanya Alea, eh maaf, boleh aku duduk di sini?” ia bertanya.
Aku mengangguk, “duduk aja, tidak ada aku lihat disini larangan untuk duduk bersisian.”
Ia kembali tertawa, membiarkan sosok mungil itu duduk di pangkuannya.
“Alea, salim dulu, kenalan sama teman ayah. Namanya tante Nalia,” ucapnya pada gadis kecil itu.
Aku tersenyum ketika ia menurut pada perkataan Rio, ayahnya.
“Berapa umurnya?” tanyaku penasaran.
“Minggu depan ia berumur empat tahun.”
Aku mengangguk lagi, jujur aku bingung menghadapi situasi ini. Aku merindukan Rio tapi bukan seorang Rio yang telah menjadi ayah. Bukan Rio yang telah meninggalkanku, singkatnya bukan Rio yang ini.
“Oh iya, tadi aku hadir di seminar milikmu. Rekan kerjaku mengajak untuk datang, saat tahu kamu yang membawa seminarnya aku teringat kalau kamu menyukai bunga itu dan rasanya telah lama aku tak berikan itu padamu.”
Aku tersenyum, “lama sekali.”
Jawabanku entah kenapa membuatnya menatapku lama, aku tak berani menoleh, tak berani hadapi ekspresi apa yang ia berikan atas jawabanku barusan.
“Namanya Nalia,” ucap Rio tiba-tiba, aku menatapnya bingung. “Iya, namanya Nalia, tapi bundanya lebih senang memanggilnya Alea.”
“Kenapa diberi nama Nalia?”
“Karena dia mengingatkanku padamu. Aku bingung menjelaskannya, tapi ketika aku melihat Alea untuk pertama kalinya, nama yang terlintas di kepalaku adalah Nalia. Aku ingin dia jadi perempuan yang cantik dan hebat, perempuan yang berani berdiri untuk dirinya sendiri, perempuan yang menjadi tempatku pulang nantinya, seperti kamu.”
Dua kata terakhir entah mengapa membuat jantungku seketika hendak berhenti berdetak, aku terkejut dengan apa yang ia sampaikan. Mungkin diamku membuat Rio tersadar dengan apa yang ia katakan.
“Maaf jika aku membuatmu tersinggung,” lanjutnya lagi.
Aku menggeleng, “Aku cuman kaget, aku pikir kita sudah selesai. Waktu itu, kamu bilang kalau mimpiku sudah enggak lagi jadi mimpi kita. Kalau aku berjalan berlawanan denganmu, kita tumbuh di jalan yang berbeda sampai buat kamu merasa hubungan kita enggak sehat. Aku pikir hubungan kita adalah sebuah kenangan buruk untukmu. Jadi aku kaget, kamu masih mengingatku bahkan untuk bayi yang bukan berasal dari rahimku,”
“Aku enggak pernah membenci hubungan kita Nalia,” ucapnya. “Tapi keadaan waktu itu begitu rumit, aku mencintai kamu, tapi disaat yang sama aku merasa kita sudah terlampau beda. Kamu dan mimpimu berlawanan dengan aku yang mau kita menjalani hidup yang biasa saja, aku mau hanya kita. Tidak perlu sampai merasa bahwa banyak sekali yang mencintaimu, selain aku.”
“Kamu selalu egois,” jawabku singkat. Aku tidak menyukai ini, aku tidak datang kesini untuk ini. Aku tidak mau tahu lagi apapun yang ia rasakan setelah kejadian hari itu. Aku memilih untuk tidak mau tahu.
Hening menyertai kami hingga gadis kecil di pangkuan Rio berseru, “ayah, mataharinya mau hilang!”
Membuatku ikut memperhatikan pemandangan dihadapan kami. Momen yang aku suka, melihat matahari terbenam dan membiarkan langit mulai meredup. Tak lama setelahnya kami kemudian meninggalkan dermaga. Saat aku hendak masuk ke dalam mobil, Rio meneriakkan namaku. Tapi kali ini ia tak membawa gadis kecil itu bersamanya.
“Kenapa, Rio? ada yang tertinggal?” tanyaku bingung.
Tiba-tiba saja ia memelukku, saat aku hendak mendorongnya ia berkata.
“Aku mohon biarkan begini sebentar saja.”
Aku terdiam, memilih untuk tidak membalas pelukan ini. Tiba-tiba dan aku berusaha mengatur detak jantung yang sudah tidak beraturan.
“Maaf Nalia, untuk semuanya. Maaf karena aku egois, maaf karena aku memilih untuk membiarkan kamu bebas dan mencari hal yang membuat kamu bahagia tanpa aku.”
Tanpa aku sadari air mataku jatuh, aku membalas pelukannya. Rio mengeratkan pelukan kami, ini adalah pelukan yang aku rindukan, perasaan ini ternyata masih ada. Perasaan bahwa aku telah pulang.
“I’m sorry, I can’t make us forever, Nalia.”
Hal ini membuatku sedih, Ia adalah satu-satunya orang yang membuatku merasa pulang. Satu-satunya yang memahamiku dengan benar, orang yang selalu aku inginkan untuk hadir dalam mimpi-mimpiku. Mimpi-mimpi kita. Aku ingin agar kisah kita abadi.
Tapi, mimpi ini hanya menjadi milikku saja. Aku hanya mencintai diriku dan membiarkannya jauh tertinggal. Membuatnya kesepian, membuatnya sendirian, meninggalkannya saat ia butuh didengar. Sudah sepantasnya perpisahan ini ada.
Karena manusia sebaik ia, tidak pantas mencinta pada seorang yang hendak terbang bebas dan selalu pergi jauh dari rumahnya.
Ditulis oleh Yasmin Dieva Islamiyah, mahasiswi Program Studi Psikologi Fisip 2019