Cerpen

Apakah Layak(?)

Cerpen ini menceritakan mengenai pengalaman pertama Irene menjadi seorang guru

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: WallHere

Kupandang diriku lamat-lamat melalui cermin. Kurasa pakaian yang kukenakan sudah pantas, pulasan lipstik di bibirku juga tidak mencolok. Semakin mendekati waktunya, jantungku semakin berdegup kencang. Rasanya aliran darahku tidak menyentuh ujung kaki dan tanganku. Kaki dan tanganku sudah sejak tadi dingin akibat grogi. Kutata buku-buku tak lupa juga membawa spidol. Oh satu hal lagi, aku mengabadikan fotoku hari ini sebagai kenang-kenangan. Katanya, hanya melalui foto kita dapat mengingat lagi suatu memori. Kumantapkan langkah, tak lupa meminta doa pada mamak. Doakan anakmu ya Mak!

Kukendarai motorku perlahan. Hingga aku tiba di depan gerbang yang terbuat dari tumpukan seng usang. Memang benar, jika dilihat dari luar seperti tak ada kehidupan di dalam gerbang ini. Tumpukan seng usang penuh karat, berwarna coklat yang ditata sembarangan. Memang membuat kesan yang memprihatinkan. Setelah aku buka gerbang, aku terhenyak dengan kondisi rerumputan yang tingginya hampir selutut. Ini beneran sekolah atau bukan sih?. Aku bergumam dalam hati. Hingga aku tiba di depan kelas tempat aku mengajar.

Kulangkahkan kakiku menapaki lantai kayu yang berongga.

"Krriittt" lantai itu berbunyi saat kakiku menginjaknya.

Memang harus perlahan, di beberapa sisi lantai telah keropos dan menampilkan pemandangan tanah di bawah lantai. Mataku menyapu seluruh ruangan ini. Tak ada jendela di kelas ini. Padahal kondisi cuaca sangat terik. Panel listrik juga tidak ada, sehingga dalam kelas ini tidak ada alat elektronik seperti lampu apalagi kipas angin. Kondisi yang memprihatinkan di hari pertama aku mengajar. Dinding kelas yang juga keropos di beberapa bagian, lapuk dimakan zaman juga gigi-gigi rayap. Hingga aku tiba di kursiku, seluruh pemandangan ini membuatku dirundung nestapa.

"Assalamualaikum" kataku. Kupandangi wajah mereka satu per satu. Total hanya ada enam siswa dalam kelas ini. Seragam mereka tak dapat kukatakan seragam, karena ada yang mengenakan kaus oblong. Jilbab yang dikenakan juga tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Satu hal lagi, total hanya dua siswa yang mengenakan sepatu sisanya hanya mengenakan sendal yang penuh lumpur di sana sini.

"Wa'alaikumsalam Bu guru" ucap mereka serentak.

Jika kalian menyaksikan pemandangan yang kulihat saat ini. Mungkin kalian tidak menyangka ada kondisi seperti ini di pinggiran kota.

"Saya, Irene. Saya ditugaskan untuk mengajar pelajaran Kimia di kelas ini. Kalian panggilnya kak Irena saja ya, jangan Bu guru. Supaya kita lebih akrab," kulebarkan senyum pada mereka. Tak lupa aku meminta mereka untuk mengenalkan nama mereka masing-masing.

"Kalian memang jumlahnya hanya enam orang?", tanyaku. Tidak seperti sekolah kebanyakan, disini tidak ada buku absen, sehingga aku tidak mengetahui berapa jumlah siswa kelas ku ini.

"Sebenarnya, ada delapan kak. Cuman dua nya lagi kerja, jadi enggak turun sekolah,” Martio selaku ketua kelas yang menjawab pertanyaanku.

"Kerja? Kerja apa?”

"Muat sawit kak, atau brondol"

Aku benar-benar terkejut mendengar ada siswa kelas 10 sekolah sambil bekerja. Di lingkungan tempat aku mengajar memang ada perkebunan sawit. Jadi tak heran jika banyak warga desa ini bekerja di sana. Tak banyak anak-anak muda yang mau melanjutkan sekolah. Pun ada, mereka yang sekolah sambil bekerja. Akan lebih memilih bekerja, dan jarang turun sekolah. Hal ini dilakukan untuk membantu ekonomi orang tua.

Hari pertama aku mengajar, aku memberikan materi terkait tabel periodik unsur. Aku membagikan selebaran kertas fotokopi tabel itu pada mereka. Pihak desa memang memberitahu padaku bahwa tidak ada suplai buku pelajaran di sekolah ini. Para guru membeli sendiri buku pelajaran dan memfotokopi jika ada materi yang dirasa perlu untuk dibagikan. Aku melihat antusiasme mereka dalam pelajaran kimia hari ini.

Setelah lama berselang, tak terasa telah banyak guratan tinta di papan tulis. Aku mencari penghapus di laci meja tempatku duduk. Kudapati tak ada rupanya di sana. Kulihat di atas meja juga tidak ada.

"Penghapus di mana yah dik?" aku bertanya pada seisi kelas.

"Nggak ada kak," jawab salah satu siswa yang bernama Tiara.

"Kalau mau menghapus pakai kertas aja kak," yang lain menimpali.

Kurobek kertas dari buku tulis yang kubawa. Sedih sekali rasanya, untuk hal sekecil penghapus saja sekolah ini tak punya.

Tak lama setelah itu, kilauan kilat menyambar. Suara guntur porak-poranda di atas sana. Hujan deras seketika membasahi gedung sekolah ini. Materi tetap ku lanjutkan beberapa saat hingga hujan mengguyur semakin deras. Suaraku kalah oleh derasnya hujan. Maklum saja, atap sekolah ini terbuat dari seng, tanpa adanya plafon. Sehingga saat hujan deras, hanya suara hujan yang terdengar. Aku terpaksa menghentikan pelajaran, lantaran tenggorokan ku sudah tak mampu lagi berteriak. Para siswaku juga sudah buyar konsentrasinya.

Kurasakan rintik hujan membasahi kepalaku. Saat aku mendongak ke atas ternyata atap kelas ini bocor. Beberapa siswa bahkan sudah menutup kepalanya dengan tas mereka, ada juga yang berpindah tempat duduk mencari area yang tidak bocor. Namun, naas hampir seluruh atap kelas ini memang bocor. Melihat kondisi yang semakin kacau, kuputuskan untuk mengakhiri kelas hari ini.

Setelah kelas berakhir, memang kudapati ada beberapa siswa yang nekat menerobos hujan. Mereka mengatakan padaku, awas kak nanti banjir malah susah keluar. Ada dua siswa yang masih menunggu hujan reda. Sembari menunggu hujan reda, aku menyusuri koridor sekolah yang hanya ada tiga kelas di sana. Satu persatu kelas, kudapati hanya pemandangan kelas yang bocor di sana sini. Bahkan ada satu kelas yang lantainya telah tergenangi air. Ternyata para siswa dan gurunya telah pulang, hanya ada satu, dua anak yang duduk di depan kelas.

Sekolah ini tidak memiliki perpustakaan, tidak ada kantor guru, bahkan toilet. Memang benar hanya ada tiga kelas saja. Dengan kondisi yang memprihatinkan. Saat cuaca panas, rasanya seperti terbakar di dalam kelas. Tetapi, saat hujan turun bocor dan air menggenang di dalam kelas. Ternyata halaman sekolah telah tergenangi air setinggi mata kaki. Ironis sekali menyaksikan pemandangan sekolah seperti ini.

Sambil memandang hujan aku bergumam pelan, semoga kondisi sekolah ini lekas membaik. Dan tak ada kondisi serupa di tempat lain.


Ditulis oleh Halimatusya’diyah, mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, 2017.



Kolom Komentar

Share this article