Gadis Selili dan Orang Utan: Bagian 1
Kisah perjuangan gadis muda dari kampung Selili
Sumber Gambar: Website Pexels
Selili, sebuah kampung di tepian Sungai Mahakam, berdiri di tengah keterpencilan, jauh dari hiruk-pikuk kota, serta rumah-rumah penduduk tersebar berjarak. Meski tak luas, kampung ini juga tak terasa sempit bagi warganya menjalani hidup sederhana. Mayoritas penduduknya bertani, menggantungkan hidup pada ladang-ladang subur yang dikelilingi hutan lebat dan aliran sungai. Di tempat itulah, ketekunan mereka terpatri.
Di dalamnya, hiduplah seorang gadis yang periang. Namun, namanya masih menjadi teka-teki hingga kini. Ia merupakan putri dari pasangan petani yang dikenal rajin, terutama keuletannya membantu kedua orangtuanya. Meski baru berusia sekitar 15 tahun, ia telah terbiasa dengan berbagai pekerjaan di ladang.
Setiap pagi, ia mendahului sinar mentari untuk menemani orangtuanya menanam padi, sayuran, dan buah-buahan di ladang. Pasca tugasnya usai, ia melanjutkan pekerjaannya dengan mengumpulkan kayu bakar dari hutan yang mengelilingi desa yang kemudian akan digunakan untuk memasak.
Selepas menyelesaikan tugasnya, langkah kecilnya berlari ke tepi hutan untuk bermain. Sayangnya, ada satu kebiasaan yang kerap membuat orangtuanya cemas; ia seringkali pergi tanpa pamit. Meski telah berkali-kali diingatkan untuk izin lebih dulu, ia masih saja sering tidak mengindahkan perintah orangtuanya, entah lupa atau sengaja.
Suatu hari, setelah menyelesaikan pekerjaannya membantu kedua orangtuanya di ladang, kebiasaan buruk gadis itu kembali muncul. Perasaan bebas yang membara di dalam dirinya sulit dibendung. Dengan riang, ia menelisik sudut demi sudut ladang, melompat-lompat penuh kegembiraan, hingga langkahnya membawanya ke gerbang hutan yang lebat.
Seketika ia tersadar bahwa ia telah bermain terlalu jauh. Tiba-tiba, peringatan dari kedua orangtuanya untuk tidak bermain terlalu jauh melintasi benaknya. Rasa takut mulai menggerogoti hatinya sehingga ia memutuskan untuk pulang.
Namun saat berbalik badan, ia dikejutkan oleh suara gemerisik dari semak-semak. Rasa penasarannya yang kuat mendorongnya untuk kembali mendekat, meski peringatan orang tuanya jelas terngiang di telinganya.
Baru saja ia tiba di hadapan semak-semak, belum sempat ia berekspresi apapun, seekor orang utan besar tiba-tiba melompat keluar menerjang sang gadis. Dengan cepat, orang utan itu langsung menggendongnya dan membawanya lari jauh ke dalam hutan. Gadis itu berusaha melepaskan diri, namun cengkeraman lengan orang utan itu terlalu kuat, dan hewan itu menunjukkan kelincahannya dalam berlari sangat kencang.
Orang utan itu bergerak lincah dari satu pohon ke pohon lainnya, tangan satunya menggelantung di antara dahan-dahan tinggi, sementara tangan satunya lagi mencengkram badannya. Erangan nyaring khas orang utan menggema di seluruh penjuru hutan.
Setiap ayunannya diiringi suara khas yang memecah keheningan hutan. Gadis malang itu hanya bisa menangis meraung-raung memohon pertolongan. Ditambah tubuhnya yang terguncang hebat akibat kelincahan orang utan dalam menyusuri hutan.
Semakin jauh mereka masuk, semakin seram suasananya. Cahaya matahari semakin terhalang oleh kanopi pohon yang rapat, memunculkan bayangan-bayangan aneh di sekeliling mereka. Gadis itu tidak berhenti menangis, ketakutannya semakin menjadi-jadi ketika ia melihat berbagai makhluk aneh yang bersembunyi mulai bermunculan.
Makhluk-makhluk itu mengintip di balik pepohonan dan semak belukar, ditambah suara-suara hutan yang menyeramkan. Tidak pernah terpikirkan olehnya, keceriaannya berujung menghantarkannya ke kebinasaan yang semula tidak pernah diduga.
Orang utan tiada henti berlari membawa sang gadis menuju hutan belantara yang tak berujung. Walau sedang dalam malapetaka, diam-diam penuh ketelitian ia memperhatikan sekelilingnya.
Gadis itu berusaha menghafal setiap tempat yang dilewati sebagai bekal untuk melarikan diri suatu saat nanti. Meskipun sangat sulit mengenalinya karena kecepatan orang utan dalam berlari mengacaukan fokusnya.
Tiba-tiba, orang utan memanjat sebuah pohon tua besar. Pohon itu menjulang sangat tinggi di antara pepohonan lainnya. Sampai di puncaknya, orang utan langsung mendudukkannya di sana. Rencananya untuk melarikan diri seketika sirna, mengingat ketinggian yang luar biasa dapat membahayakan nyawanya. Terlebih, tidak ada waktu untuk memanjat turun, mengingat orang utan yang terus mengawasinya dengan cermat.
Pohon itu menjadi tempat di mana ia ditawan. Di sana, ia menjalani hari-hari yang penuh penderitaan, jauh dari harapan. Pohon raksasa itu menjadi saksi bisu atas hari-hari kelam yang dilaluinya.
Setiap bagian dari pohon itu ikut menyimpan setiap isak tangis atas cemas yang menghinggapinya. Sekeras apa pun usahanya menyusun rencana kabur, akan selalu didapati oleh orang utan.
Perlahan, ia mulai terbiasa dengan kehidupan mencekamnya. Kehidupan yang semula mimpi buruk, mau tak mau ia terima kepahitannya. Hingga akhirnya, ia melahirkan anak dari orang utan itu. Meski begitu, kerinduan terhadap ayah dan ibunya, ladangnya, serta desanya di Selili tak pernah pudar. Setiap malam, di bawah naungan bintang-bintang, tak pernah terlewat sepatah doa, berharap bala bantuan datang.
Setiap pagi, orang utan selalu berkelana menyusuri hutan, mencari makanan untuk sang gadis. Terlepas dari kebejatannya, orang utan selalu menjaganya dari segala marabahaya di hutan. Setiap pulang dari perjalanannya, orang utan selalu memberinya sebuah kelapa. Setiap harinya, ia akan selalu mengonsumsi kelapa yang diberikan kepadanya, sehingga kelapa-kelapa usang bekas santapannya menumpuk menggunung.
Di balik ketabahannya, tersembunyi kegelisahan yang berkobar di relung hatinya. Tiap malamnya, di bawah sinar rembulan yang pucat, di atas pohon angker yang menjulang, ia merajut benang-benang asa, mencoba menemukan cara untuk meloloskan diri.
Beragam ikhtiar telah ditempuh, namun semua berujung pada kegagalan yang sama. Ia menyerah pada takdir yang terasa getir, seolah garis hidupnya telah terukir. Ia mulai memahami bahwa segala daya dan upayanya hanyalah riak kecil yang tak mampu melawan arus.
Dalam keheningan pikirannya, ia bertanya-tanya, apakah ayah dan ibunya tengah memikirkannya di kejauhan. Di tengah belantara yang sunyi, dikepung pepohonan angker yang menyembunyikan dirinya dari dunia, ia terus berdoa. Keajaiban, meskipun tampak mustahil, selalu ia dambakan. Meski asa kian meredup, ia kerap membayangkan ayah dan ibunya, atau penduduk desa yang entah bagaimana datang menyelamatkannya.
Malam itu, angin berhembus lirih dan hutan sunyi senyap, semakin menambah gejolak perasaannya yang naas. Ia tertunduk lemas memandangi sekeliling hutan yang membosankan. Tiba-tiba, bola matanya terarah pada tumpukan sampah kelapa yang menggunung. Ini jawaban dari Tuhan!
Bersambung …
Cerpen ini ditulis oleh Nurul Wahdini, mahasiswi Program Studi Sastra Inggris FIB Unmul 2023, berdasarkan hasil wawancara bersama warga daerah Samarinda Seberang, Agus Ahmad Fauzi