00:00
Di tengah keramaian, pikiranku terjebak pada dirinya
- 04 Jan 2025
- Komentar
- 284 Kali

Sumber Gambar: Website Pexels
Suara gemuruh kembang api terdengar jauh di luar, menandakan detik-detik pergantian tahun yang semakin dekat. Aku berdiri di balkon flatku, bertumpu pada pegangan besi yang dingin. Kota ini, Paris, terlihat hidup dengan lampu-lampu yang berkelap-kelip, memantulkan warna-warni dari kembang api yang meledak di langit.
Angin malam yang sejuk mengusik rambutku, tapi aku tidak peduli. Aku memandang ke arah menara Eiffel yang jauh di sana, berkilauan dengan cahaya-cahaya yang berpadu dengan langit yang mulai gelap. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba meresapi setiap detik yang akan segera berlalu. Waktu bergerak cepat, tapi aku masih belum bisa memutuskan apakah aku siap untuk meninggalkan tahun ini dan segala kenangan yang menyertainya.
Teman-teman yang baru kukenal beberapa tahun lalu sedang bermain dan menikmati cemilan sembari menunggu puncak pergantian tahun malam ini. Namun, aku memilih menjauh, menatap seorang laki-laki di seberang sana, membaca bukunya dengan tenang. Aku lalu menatap tumpukan bukuku di atas meja, beberapa sudah selesai kubaca, dan beberapa lainnya teronggok tanpa sempat kulirik. Aku memutar badan, kembali fokus pada laki-laki itu, yang sepertinya tidak menyadari pandanganku yang terus mengikutinya. Dia terlihat sangat tenang, sangat berbeda dari hiruk-pikuk sekitar. Seketika, jantungku berdetak lebih cepat.
Aku bisa melihat bagaimana dia duduk di depan jendela besar flatnya, dengan cahaya lampu yang redup. Lengan kirinya terlipat di atas meja, sementara tangan kanannya terus membalik halaman buku. Wajahnya, yang disorot cahaya lampu, terlihat sangat damai. Mungkin itu yang menarikku— keheningan dan ketenangan dalam dirinya, yang kontras dengan kebisingan pesta dan suara kembang api yang menghujam udara malam.
Aku menyandarkan punggungku pada dinding balkon, berusaha mengingat setiap detail tentangnya. Rambutnya yang sedikit berantakan, jaket hitam yang dikenakannya, dan betapa seriusnya dia saat membaca. Aku ingin tahu lebih banyak tentangnya, meskipun aku tahu dia tidak lebih dari seorang sosok asing yang menjadi bagian dari pemandangan malamku– ah tidak, dia pernah memberiku beberapa rekomendasi film dan buku yang belum kuselesaikan semua.
Setiap detik yang berlalu membuatku merasa lebih terikat pada gambaran itu, pada dirinya yang tampaknya begitu jauh namun juga begitu dekat.
Aku mengalihkan pandanganku ke arah kembang api yang mulai berjatuhan seperti bintang-bintang yang memecah langit. Kembang api itu semakin mendekat, meledak dengan warna-warni yang berkilauan, memantulkan cahayanya ke gedung-gedung tinggi dan jalanan yang penuh dengan orang-orang yang bersorak. Suara gemuruhnya terasa seperti dentingan waktu yang tak bisa dihentikan, menciptakan kegembiraan yang melanda setiap sudut kota.
Jarak antara setiap ledakan terasa singkat, seolah waktu bergerak dengan cepat, mendorong orang untuk merayakan setiap detik. Langit di atas kota berwarna-warni dengan kilauan merah, hijau, biru, dan emas yang berganti-ganti, seolah-olah bintang-bintang turun dari langit untuk menyambut tahun baru– dan lagi, laki-laki di seberang sana tampak tak terganggu, juga tak tertarik.
"Is that the guy from the concert you went to?"
Suara itu membuatku menutup mata karena terkejut, seketika lamunanku buyar. Suara kembang api terdengar lebih nyaring dari beberapa detik lalu, seperti menarikku kembali ke realita. Aku tak lagi berdiri, tak lagi bertumpu di besi yang semakin dingin. Aku duduk di kursi kayu, memeluk kedua lutut, dan dengan selimut kecil menutup kedua bahuku.
Aku menoleh ke arah Leah, salah satu temanku di sini, yang sekarang melihat ke meja di sampingku.
"How can you love someone who doesn't even know that you exist in this world?"
Aku mengedipkan mataku pelan, mengikuti arah mata Leah– tabletku yang menampilkan seorang pria yang sedang siaran langsung sambil berkomunikasi lewat kolom komentar, ada ribuan penonton dan komentar yang naik tanpa henti. Langit di sana tampak cerah dengan sinar matahari lembut, sementara langitku masih dihiasi oleh kembang api yang berjatuhan. Aku bisa merasakan seberkas rasa cemas merayap di dalam dada, seolah pertanyaan itu mengguncang kedamaian yang kutemukan dalam diamnya.
"Isn't it strange?" Leah melanjutkan, suaranya lebih lembut, seakan mencoba menenangkan sesuatu yang tersembunyi di balik kata-katanya. "You’re over there, in your quiet world, and he's... just another face in the crowd, unknowingly part of your thoughts."
"I went to their concert."
"Yes, along with thousands of other people."
Aku mengangguk pelan, sekali lagi menyadari bahwa semua ini tak pernah dimaksudkan untukku. Dia adalah bagian dari dunia yang tak akan pernah bisa kugapai sepenuhnya. Dan aku, hanya satu di antara banyak wajah yang ia lihat tanpa mengenal lebih dalam.
Aku menatap layar tablet di meja, masih menampilkan wajahnya yang tersenyum, berbicara pada ribuan orang yang tak pernah ia temui secara pribadi, termasuk aku. Tapi aku tak akan pernah bisa lepas dari itu semua. Aku tak akan pernah melupakan bagaimana aku bertahan menjalani hari hanya untuk melihatnya di penghujung hariku, menghilangkan semua rasa lelah.
Leah hanya satu dari sekian orang yang terus menanyakan bagaimana rasanya menyukai seseorang yang bahkan tak benar-benar kukenal. Aku tahu dia benar. Tapi bagaimana bisa aku berhenti menyukai seseorang yang, tanpa sadar, telah memberiku harapan dan kehangatan di hari-hari yang terasa dingin? Bagi mereka, itu mungkin hal yang aneh, sia-sia, atau bahkan menyedihkan. Tapi bagiku, menyukainya seperti menyukai kembang api di langit malam— indah, meskipun hanya sementara dan jauh di luar jangkauan.
"It's twelve!"
"HAPPY NEW YEAR!"
Malam ini aku memutuskan untuk kembali menyimpan perasaan itu dalam waktu yang tak bisa kutentukan.
Cerpen ini ditulis oleh Maydhinni, mahasiswi Sastra Inggris FIB Unmul angkatan 2022