Branding

Diskusi Budaya Dies Natalis Keempat FIB Unmul: Multikulturalisme dan Institusi Pendidikan

Perayaan dies natalis FIB

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

SKETSA Dalam rangka perayaan dies natalis yang ke-4, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unmul hadir dengan berbagai rangkaian kegiatan. Mulai dari kegiatan donor darah, senam sehat, khatam dan tausiyah Al-Quran yang menggandeng pimpinan yayasan Al-Fath Amal Mulia, rapat senat terbuka, sampai diskusi terkait dengan budaya multikulturalisme di ibu kota negara.

Perpindahan ibu kota negara (IKN) yang dilakukan oleh pemerintah tentunya menimbulkan beragam pro kontra di kalangan masyarakat. Utamanya bagi masyarakat lokal, yang daerah tempat tinggalnya ditunjuk sebagai IKN. 

Diskusi publik bertajuk ‘Penyangga Multikulturalisme di Ibu Kota Negara’ yang diinisiasi oleh FIB, Kamis (28/7) ini membahas mengenai berbagai isu budaya bersama peneliti budaya, Dahri Dahlan dan seorang dokumentalis budaya Jonathan Irene Sartika Dewi. Diskusi yang berlangsung selama enam puluh menit ini dipandu oleh Alamsyah sebagai moderator.

Dahri Dahlan sebagai pemantik diskusi mengajak untuk melihat definisi multikulturalisme secara lebih luas tak melulu soal orientasi masyarakat dengan beragam suku. Dirinya berpendapat makna multikulturalisme dapat diterapkan pula pada sistem birokrasi maupun non birokrasi.

“Nah, sekarang untuk melihat IKN ini, bagaimana kalau kita melebarkan ini kepada persoalan kultur birokrasi dan kultur non birokrasi. Karena pada satu sisi biar bagaimana pun kultur budaya itu sudah selesai pada persoalan pembangunan. Orang Paser misalnya, sudah punya prinsip-prinsip yang luhur bagaimana mengelola masyarakat, bagaimana bersikap terhadap pemimpin, bagaimana memutuskan ketika terjadi paceklik misalnya,” tutur Dahri mengawali diskusi.

Mengutip Berita Harian Kompas Indonesia-Bisa, Dahri menggarisbawahi enam poin latar belakang pemindahan IKN. Tiga di antaranya ialah meningkatnya populasi di Pulau Jawa, bermasalahnya sarana air bersih yang ada di sekitar Jawa dan Bali, hingga pembangunan yang tidak bisa dikendalikan secara maksimal. 

Lebih lanjut, Dahri mewanti-wanti agar masyarakat daerah Penajam Paser Utara (PPU) mempersiapkan diri untuk menerima segala isu permasalahan yang ada di Jakarta agar tak terulang kembali pada IKN yang baru. 

“Saya pikir tanggung jawab negara secara kultural. Negara harus membangun prinsip kembali tentang bagaimana sih sebenarnya ibu kota yang baik. Jangan sampai terjadi Jakarta yang gagal untuk kedua kalinya di Kalimantan Timur.”

Siapa yang tak bangga jika daerahnya terpilih sebagai tempat yang disambangi ibu kota negara. Apalagi dengan alasan akan menjadi lokasi sentral yang menjembatani upaya pemerataan pembangunan. Itu pula yang mengawali dialog Irene Sartika dalam agenda itu.

“Namun, pemerataan itu tidak terjadi dalam sekejap mata hanya dengan memberikan lokasi negara, membangun infrastruktur. Tujuan meratakan pembangunan harusnya memperhatikan terlebih dahulu kesetaraan hak yang diterima warga, jauh sebelum infrastruktur itu terbangun,” tukas Irene menghangatkan diskusi.

Tak berhenti sampai di situ, pembicaraan kemudian terus berlanjut pada penyampaian gagasan kedua narasumber terkait sub-sub topik lain yang tak kalah menarik. Meski di tengah acara sempat terjadi kendala audio pada salah satu narasumber, secara keseluruhan acara yang disiarkan secara daring melalui kanal Youtube Unmul TV ini berjalan lancar. (ahn/nkh)



Kolom Komentar

Share this article