Berita Kampus

Virtual Police, Cegah Pelanggaran atau Kekang Kebebasan?

Keberadaan virtual police dalam ruang digital.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Yahoo

SKETSA – Menanggapi fenomena negatif dunia maya yang kerap terjadi, pihak berwenang lantas melakukan langkah yang tegas. Salah satunya dengan mengoperasikan virtual police atau polisi virtual yang digagas oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Ini adalah bentuk pencegahan terhadap tindak pidana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Harapannya, hal ini dapat digunakan untuk menekan tingginya angka penyebaran hoaks, penipuan, ujaran kebencian dan diskriminasi yang beredar di media sosial (medsos).

Melansir dari cnnindonesia.com, virtual police akan beroperasi dengan tim yang melakukan patroli siber di medsos. Mereka mengawasi konten-konten yang terindikasi mengandung hoaks serta hasutan di berbagai platform, seperti di Facebook, Twitter, dan Instagram. Apabila virtual police menemukan konten yang terindikasi melakukan pelanggaran, maka tim akan mengirimkan peringatan lewat medium pesan atau direct message ke pemilik akun.

Peringatan tersebut diberikan usai tim melakukan kajian terhadap konten bersama dengan sejumlah ahli. Berikutnya, polisi akan melibatkan ahli bahasa, ahli pidana hingga ahli ITE. Hal tersebut dilakukan guna menekan subjektivitas polisi dalam menilai suatu konten yang tersebar di internet untuk kemudian diberikan peringatan.

Kemudian, peringatan itu akan menginformasikan pemilik akun untuk menghapus konten yang berpotensi melanggar pidana dalam waktu 1x24 jam. Jika postingan tersebut tidak diturunkan pemilik akun, penyidik akan memberikan peringatan kembali sebanyak satu kali. Jika yang kedua masih belum direspons, maka tim akan memanggil pemilik akun untuk diklarifikasi. Hanya saja, kepolisian menekankan bahwa upaya penindakan akan dilakukan sebagai langkah terakhir.

Proses operasi oleh virtual  police juga dikatakan telah sejalan dengan Surat Edaran dan Telegram Kapolri yang diterbitkan pada pertengahan Februari kemarin. Tak hanya itu, dipastikan tidak akan mengekang kebebasan warga sipil dalam berpendapat di ruang digital. Namun, keberadaannya menimbulkan polemik pro dan kontra tersendiri.

Ainun Nimatu, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unmul menanggapi hal ini dan menyambut gembira keberadaan virtual police sebagai bentuk apresiasi.

“Saya mengapresiasi inisiasi Polri dalam menjalankan penegakan hukum di dunia digital. Tapi tetap perlu di-support  oleh masyakarat, agar tujuan edukasi tercapai. Balik lagi, kita gak bisa menciptakan dunia digital ideal yang hanya penuh positivity. Itu utopia. Yang perlu dilakukan netizen adalah memulai jadi positivity itu dulu. Masing-masing netizen bertanggung jawab atas dirinya sendiri dalam memilah dan bertindak di dunia digital,” ungkapnya pada Sketsa, Sabtu (6/3).

Berbanding terbalik dengan pernyataan Ainun, Muhammad Fajri Luthfi asal Sastra Indonesia 2019 justru merasa jika keberadaan virtual police kurang tepat. Dirinya beranggapan, seharusnya tugas mereka bukan hanya mengawasi kegiatan masyarakat Indonesia di media sosial, tetapi juga mencari celah dalam uu ite yang sering disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.

“Menurut saya, ini adalah tindakan yang salah, membuat tingkatan keamanan pada aturan, padahal aturannya saja bermasalah. Mereka tidak memberikan fokus untuk memperbaiki akar masalah dengan merevisi UU ITE, tetapi malah memberikan pengawasan berupa teguran jika berpotensi melanggar UU ITE,” kecam Luthfi saat dihubungi melalui WhatsApp pada Rabu (3/3).

Senada dengan Luthfi, mahasiswi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia 2020, Dewi Ramadhani tidak menyambut keberadaan virtual police. Ia merasa, keberadaan patroli siber akan semakin membatasi privasi pengguna. Namun, ia setuju jika hal ini dapat digunakan untuk memberantas risiko dalam ruang digital

“Harus mikir dua kali untuk menggunakan media sosial, karena mereka pasti takut buat mengeluarkan pendapat mereka dengan adanya pengawasan dari virtual police. (Tapi) bagusnya, virtual police (dapat) mengetahui oknum-oknum yang menyebarkan ujaran kebencian, diskriminasi dan hoax,” papar perempuan yang kerap disapa Dewi ini.

Ia berharap, virtual police dapat bekerja sesuai harapan masyarakat dan tidak menimbulkan masalah kembali. Dirinya juga berusaha optimis pada penegak hukum, agar patroli siber dapat tanggung jawab dengan bijak dan sebaik mungkin. Selain itu, ia berpesan bahwa masyarakat harus jadi bagian dari solusi ini dan menjadi kontrol penegakan hukum. (nop/sar/jhr/rea/khn/fzn)



Kolom Komentar

Share this article