Transisi Energi di Kaltim Butuh Komitmen Nyata
Tantangan biaya dan komitmen pemerintah hambat transisi energi di Kaltim
- 07 Nov 2025
- Komentar
- 58 Kali
Sumber Gambar: Canva
SKETSA - Transisi energi dari bahan bakar fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT) merupakan sebuah keniscayaan yang harus dijalankan semua negara, termasuk Indonesia. Namun, implementasinya di daerah penghasil tambang seperti Kalimantan Timur (Kaltim) masih menghadapi sejumlah tantangan kompleks, mulai dari aspek teknologi, ekonomi, hingga kesiapan kebijakan.
Syaiful Bachtiar, Pengamat Kebijakan Publik sekaligus Dosen Fisip Unmul, menilai proses transisi ini harus dimulai dengan transformasi sumber energi, dari yang semula berbasis fosil seperti batubara dan diesel, menuju EBT seperti tenaga surya, air, dan angin. Sayangnya, langkah ini terbentur pada mahalnya biaya komponen penyimpanan energi, seperti baterai.
"Biaya pemeliharaan untuk sistem EBT seperti tenaga surya, dalam jangka panjang, bisa lebih tinggi dibandingkan dengan energi fosil," ujar Syaiful, dalam wawancara, Rabu (29/10).
Solusi lain seperti energi nuklir, meski secara operasional murah, dinilai memiliki biaya mitigasi dan pemulihan yang sangat tinggi jika terjadi insiden.
"Jika terjadi kebocoran uranium, satu kota harus direlokasi hingga dinyatakan aman," jelasnya.
Syaiful menegaskan bahwa persoalan mendasar adalah lemahnya komitmen pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Ia menyoroti mandeknya regulasi turunan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, yang hingga kini hanya sampai pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014. Menurutnya, keseriusan pemerintah dapat diukur dari alokasi anggaran.
"Kalau tidak ada anggaran, berarti tidak ada program yang serius. Selama ini, isu EBT baru sebatas seremonial, seperti peringatan hari energi," tegasnya.
Untuk memperkuat transisi energi berkeadilan, pemerintah perlu memperbarui regulasi turunan UU Nomor 30 Tahun 2007 agar tidak berhenti pada PP Nomor 79 Tahun 2014 yang sudah usang. Pembaruan ini harus menjamin perlindungan bagi pekerja tambang terdampak serta membuka peluang ekonomi baru.
Di tingkat daerah, Pemprov Kaltim dan Pemkot Samarinda dapat memperkuat komitmen melalui peraturan daerah tentang energi bersih dan transportasi berkelanjutan, misalnya dengan menyediakan bus listrik untuk pelajar dan memberi insentif bagi pengguna energi ramah lingkungan. Selain itu, program pelatihan dan alih keterampilan bagi tenaga kerja lokal penting agar transisi energi tidak meninggalkan masyarakat kecil di belakang.
Dampak Sosial dan Masa Depan Pekerja Tambang
Menyoroti dampak sosial, transisi energi berpotensi menggeser lapangan kerja dari sektor tambang tradisional ke bidang yang lebih “hijau” seperti tenaga nuklir, PLTA, atau PLTU. Namun, perubahan ini tidak bisa dianggap sepele bagi masyarakat yang menggantungkan hidup pada sektor tambang.
Syaiful menilai, hilangnya lapangan kerja bagi tenaga kerja lokal. Yang menjadi perhatian, mereka di level menengah ke bawah seperti sopir truk batubara perlu diantisipasi agar transisi energi benar-benar adil dan tidak meninggalkan kelompok rentan di belakang.
"Secara makro, pendapatan Kota Samarinda justru bersumber dari jasa dan industri, bukan semata-mata dari tambang," paparnya.
Meski menghadapi banyak tantangan, Syaiful tetap optimis bahwa transisi energi adalah kewajiban yang tidak dapat dihindari. Ia mendorong pemerintah untuk tidak hanya berfokus pada kebijakan impor, tetapi juga mendorong inovasi dan pemanfaatan hasil penelitian energi terbarukan dalam negeri.
"Pemerintah harus menjembatani temuan-temuan penelitian agar bisa dimanfaatkan masyarakat. Jangan sampai hasil penelitian hanya menjadi buku yang tidak berdaya guna," pungkasnya.
Tanpa komitmen politik dan langkah anggaran yang konkret, wacana transisi energi berkeadilan di daerah penghasil batubara seperti Kaltim dikhawatirkan akan tetap menjadi rencana di atas kertas, tanpa implementasi nyata yang berkelanjutan. (xel)