Berita Kampus

Selayang Pandang RKUHP Menurut Civitas Academica Unmul

Tanggapan civitas academica Unmul terhadap RKUHP

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Tirto.id

SKETSA- Hingga saat ini, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih mendapat penolakan dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa. Itu tampak dari sejumlah aksi penolakan RKUHP yang dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa Kaltim. Aksi pertama pada Jumat (1/7), kemudian dilanjut pada Senin (4/7) kemarin.

Diketahui, aksi penolakan RKUHP telah muncul sejak 2019. Kemudian kembali mencuat ketika hendak disahkan tetapi masih dianggap bermasalah lantaran draf terbaru RKUHP baru saja dibuka ke publik dan pengesahannya dinilai sangat terburu-buru.

Sketsa kemudian menghubungi Rini Apriyani pada Selasa (5/7), selaku Dosen Fakultas Hukum untuk meminta tanggapannya. Dalam pandangan Rini, RKUHP yang kerap bersinggungan dengan warga sipil, utamanya menyoal kebebasan berpendapat, tidak lantas mengekang kebebasan berpendapat.

“Memang jika bersandarkan pada hak asasi manusia yang tercantum dalam Deklarasi HAM maka pengaturan terkait kebebasan berekspresi tersebut akan melanggar hak menyampaikan pendapat namun keberadaan HAM di Indonesia bukanlah HAM yang bebas sebebas-bebasnya karena masih disesuaikan dengan faktor masyarakat Indonesia itu sendiri.”

Dalam pandangannya, kebijakan ini dimaksudkan untuk kehati-hatian bersama dalam menyampaikan pendapat di ruang publik dengan lebih objektif dan kritis. Era di mana terdapat batas tipis antara pendapat yang berisi fakta dan subjektivitas, menjadi sesuatu yang diwanti-wanti untuk Rini.

Dirinya melihat bagaimana proses penyampaian pendapat dapat diberlakukan sebagai delik aduan. Ketika mahasiswa mengkritisi presiden, wakil presiden ataupun pemerintah misalnya, terdapat syarat khusus yang diberikan dalam RKUHP: harus pihak yang bersangkutanlah yang melakukan pelaporan atas terjadinya tindak pidana tersebut. 

“Dan terkait dengan pemerintah serta golongan penduduk, kebebasan berpendapat maupun berekspresi tersebut baru akan menjadi suatu tindak pidana jika perbuatan tersebut mengakibatkan kerusuhan seperti contoh dalam pasal 240, 241, 242, 243,” terangnya. 

Terkait dengan kebebasan berpendapat dan berekspresi ini, masih diperlukan adanya standar penilaian terhadap pendapat mana yang berbahaya dan berpotensi menyebabkan kerusuhan, dalam memidana tersangka nantinya.

Berbeda dari pandangan banyak orang di media, ia menuturkan bahwa RKUHP telah dirancang sejak 1963. Dari rentang waktu itu, seyogianya telah banyak aspirasi masyarakat yang ditampung oleh tim perumus RKUHP. Aspirasi tersebut menurutnya bisa diterima dalam beragam media, seperti melalui sosialisasi, seminar, focus group discussion (FGD), maupun pertemuan ilmiah lainnya. Terlebih ia berpesan agar civitas academica lebih teliti untuk membaca keseluruhan draf resmi dan tidak menelan mentah-mentah apa yang massif termuat di media sosial, seperti potongan pasal demi pasal.

Berbeda pandang, Ilham Maulana, Menteri Adkesma BEM FISIP Unmul justru menyebut tidak adanya keterbukaan pemerintah terhadap rakyatnya. Menurutnya, masih banyak permasalahan dalam pasal-pasalnya yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat sejak 2019 bahkan dapat mengancam demokrasi di Indonesia.

Kala itu, Selasa 5 Juli lalu, ia menyayangkan lambannya pemerintah untuk mengunggah draf terbaru RKUHP, serta pelibatan masyarakat dalam perumusannya. Ilham menilai, perlu adanya pengkajian ulang terhadap pasal yang bermasalah.

Badaruddin, Ketua BEM FH Unmul melihat penolakan RKUHP disebabkan tidak optimalnya transparansi draf terbaru hasil pembahasan DPR sejauh ini, ditambah adanya pasal yang dinilai memicu sejumlah perdebatan.

Permasalahan ini dianggap krusial olehnya, lantaran RKUHP ini nantinya akan berdampak ke berbagai kalangan: mahasiswa hingga masyarakat akar rumput. Memberi masukan, mengkritisi, hingga melakukan penolakan jika dinilai bermasalah menjadi langkah yang perlu dilakukan.

Badaruddin mengajak untuk lebih cermat dalam menyikapi permasalahan RKUHP. Baginya, sebagai mahasiswa tentu perlu mengetahui terlebih dahulu sejauh mana dan apa saja konteks yang memicu masalah.

Dalam artian kita harus melakukan pencerdasan terlebih dahulu di mana kita menolak dan di mana kita mendukung,” paparnya kepada Sketsa pada Selasa (5/7).

Dirinya berharap RKUHP yang terbaru dapat disesuakan dengan kebutuhan masyarakat dan dapat menjawab segala permasalahan hukum pidana di Indonesia. (afr/mfh/fza/vdh/khn)



Kolom Komentar

Share this article