Berita Kampus

Potret Ramadan: Mahasiswa Rantau hingga Toleransi Beragama

Pelaksanaan puasa oleh mahasiswa rantauan.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Pexels.com

SKETSA - Bulan Ramadan sudah menunjukkan tanda-tanda kemenangannya. Momen berbuka puasa bersama dengan keluarga dan orang-orang terkasih menghiasi. Namun, perkuliahan yang telah berjalan luring memaksa mahasiswa rantau untuk melewati puasa jauh dari keluarga. Lantas, bagaimana pengalaman mereka?

Siti Latifa Radhiatul Audia salah satunya. Kepada Sketsa, mahasiswi FMIPA 2019 itu mengaku pertama kalinya menjalankan rutinitas Ramadan tanpa keluarga. Tak merasakan sahur, berbuka, dan tarawih bersama orang tua. Baginya Ramadan kali ini begitu berbeda.

"Karena momen sahur sama berbuka bukan lagi sama orang tua di rumah. Sebenernya kangen banget sih untuk bisa sahur dan buka bareng orangtua, tapi harus sadar juga karena sekarang kan keadaannya lagi merantau," kisahnya pada Kamis (14/4) lalu.

Bertempat tinggal di Asrama Mahasiswa atau Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Unmul, mahasiswi yang akrab disapa Latifa ini tetap menikmati suasana puasa bersama teman-teman asrama mahasiswa yang juga jauh dari keluarga. Terlebih, berbagai kegiatan turut digelar oleh pihak Rusunawa seperti halnya berbuka puasa dan tarawih bersama.

Alhamdulillah-nya di Rusunawa sendiri itu diadakan salat tarawih bareng jadi nggak perlu keluar dari rusun untuk nyari masjid terdekat gitu. Tapi momen tarawih juga jadi salah satu momen yg bikin kangen buat pulang, karena biasa selalu berangkat ke masjid terdekat sama bapak," syukurnya sekaligus teringat akan momen Ramadan sebelumnya.

Nuansa ini membuatnya menjadi banyak belajar. Utamanya menghargai kesempatan berkumpul bersama keluarga dan peduli dengan lingkungan sekitar. Tetap semangat menjalani Ramadan, dirinya berharap dapat segera berkumpul dengan keluarga pada momen lebaran nantinya.

Di sisi lain, semarak Ramadan turut dirasakan mahasiswa lintas agama. Meylin Nila Parengka seorang mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP 2018 salah satunya. Semasa SMA, menjadi rantauan di Makassar membuatnya terbiasa bergaul dengan keluarga muslim. Tak terkecuali momen puasa. Meski begitu, ia mengaku tak merasa kesulitan. Meylin justru menilai keindahan toleransi antar umat beragama hadir di saat-saat tersebut.

"Saya awalnya mengira jika berada di lingkungan orang berpuasa maka saya pun harus ikut berpuasa. Namun, yang saya temui justru saat keluarga saya berpuasa, mereka justru tetap mendukung keberadaan saya sebagai non-muslim. Bahkan menyiapkan makanan untuk saya. Di situ saya benar-benar kagum dan sadar oh ternyata gini yang namanya toleransi meskipun berbeda tapi tak pernah merasa dibedakan," kisahnya pada Senin (18/4).

Meski begitu, kesulitan beradaptasi kaa Ramadan sempat ia rasakan.  Itu ia akui ketika dirinya belum memahami perkara toleransi dan bagaimana ibadah puasa yang dijalankan oleh umat muslim. Ia pun sempat makan dan minum dengan bersembunyi dari mereka yang tengah berpuasa.

"Namun yang saya rasakan sekarang tidak ada kesulitan atau hambatan sama sekali, saya hanya menjalani hari-hari saya seperti biasa. Tidak mengganggu dan tidak merasa terganggu," tutupnya. (mel/ems/ash/khn)



Kolom Komentar

Share this article