Perjuangan Menuntut Hak Mahasiswa Kedokteran UNIPA
Jumat 16 Juni 2016, mahasiswa FK UNIPA bersama BEM UNIPA melakukan aksi long march dari kampus UNIPA hingga kantor DPRD Provinsi Papua Barat. (Sumber foto: ISMKI Official)
- 23 Jun 2017
- Komentar
- 2338 Kali
SKETSA – Menjelang akhir semester di mana sebagian besar mahasiswa mengkhawatirkan nasib nilai akhir ujian dan IP mereka, di Fakultas Kedokteran Universitas Papua (FK UNIPA) 102 calon dokter justru khawatir kelanjutan kuliah mereka.
Terhitung sejak tanggal 2 Oktober 2016, mahasiswa FK UNIPA harus terhenti karena ketidakadaan dana operasional pendidikan.
(Baca, https://sketsaunmul.co/berita-kampus/kronologis-terganggunya-proses-pembelajaran-fk-unipa/baca)
Mereka tentu tidak diam menanggapi permasalahan tersebut, Jumat 16 Juni lalu, mahasiswa FK UNIPA bersama BEM UNIPA melakukan aksi long march dari kampus UNIPA hingga kantor DPRD Provinsi Papua Barat. Tujuan aksi tersebut adalah untuk mendorong penurunan dana darurat pembuatan perjanjian kerja sama (PKS) baru agar dana segera dicairkan, permohonan subsidi pemerintah untuk SPP, serta penyampaian sikap mahasiswa terhadap dr. Paulina Watofa, Sp. Rad.
Usaha-usaha sudah banyak mereka lakukan, mulai advokasi, aksi, hingga propaganda. Namun, semua belum cukup menggerakkan untuk mengatasi masalah terhambatnya perkuliahan. Seluruh mahasiswa kedokteran Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Seluruh Indonesia (ISMKI) ikut terlibat dalam tim advokasi dan tim propaganda.
Tim advokasi dibentuk oleh ISMKI Nasional berpusat di Jakarta. Sementara tiga hari lalu, tim propaganda seluruh mahasiswa kedokteran serentak memposting foto dukungan mereka ke media sosial mulai pukul 16.00 hingga pukul 19.00 menggunakan twibbon bertuliskan #SaveFKUNIPA. Tak hanya memposting foto, mereka juga menandatangani petisi.
BEM FK Unmul turut mendukung dengan meyebarluaskan berita dalam lingkup FK Unmul sebagai bentuk solidaritas sejawat dan bentuk dukungan kepada FK UNIPA. Ketua BEM FK Unmul, Evan Faishal menegaskan bentuk solidaritas ini dari seluruh Fakultas Kedokteran Indonesia yang tergabung dalam ISMKI untuk UNIPA.
Evan berharap semoga semua pihak yang terlibat dapat menyelesaikan permasalahan. Karena menurutnya ini terkait dengan masalah pendidikan, ia tidak ingin masalah ini sampai mengorbankan masa depan 102 calon dokter. Sementara penyebaran dokter di Indonesia tidak merata.
“Haruskah Papua kehilangan 102 calon dokter? Tidak. Karena 102 calon dokter inilah yang akan mambuat taraf kesehatan di Papua lebih baik,” ucap Evan.
Balada Fakultas Baru
FK UNIPA sebenarnya bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dalam pembentukkannyas sejak 2014 silam. Karena FK UNIPA tidak memiliki dosen tetap sendiri, sehingga dosen-dosen didatangkan dari FKUI. Menurut Dr. Swandari Paramita, mendatangkan dosen dari Jakarta tidak murah dan mudah. Sementara dalam sebulan dosen bisa datang berkali-kali.
Menurut pihak FKUI, mereka tetap bersedia mendatangkan dokter ke FK UNIPA, namun terkendala biaya keberangkatan yang tidak sedikit. Akibat itulah, kini proses pembelajaran FK UNIPA terhenti. Persyaratan pembentukan FK baru sebenarnya cukup ketat. FK harus memiliki sejumlah dosen tetap yang sudah PNS dari Kemenristekdikti bergelar magister dan/atau spesialis. Kemudian FK harus memiliki RS Pendidikan.
Swandari yang juga pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Kalimantan Timur menegaskan kewenangan menangani masalah ini ada di tangan Kemenristekdikti yang mengeluarkan ijin berdirinya UNIPA. Sementara Pengurus Besar IDI (PB IDI) hanya bisa menjadi pengamat dan penghimbau.
Akan tetapi, jika banyak FK diizinkan berdiri di daerah-daerah pelosok dengan alasan untuk mencukupi tenaga medis, tentu menjadi alasan kuat Kemenristekdikti memberikan ijin. Karena tidak banyak dokter yang mau bertugas jauh-jauh ke Papua, misalnya.
“Aturan ketat pembentukan FK baru-baru keluar belakangan ini, harus ada dosen dokter tetap dan RS pendidikan yang memadai. Sepertinya FK UNIPA terlanjur berdiri sebelum pengetatan aturan ini, “ tukas Swandari.
Dokter yang juga mengajar Mata Kuliah Ilmu Kesehatan Masyarakat FK Unmul itu beranggapan sebaiknya memang ada perencanaan matang untuk sebuah fakultas apa pun itu, tidak hanya FK. Fakultas tidak bisa terus menerus mendatangkan dosen luar, harus mulai menyiapkan dosen sendiri sejak jauh-jauh hari. Swandari tidak ingin berkomentar banyak, menurutnya FK UNIPA yang lebih tahu banyak permasalahannya ketimbang dirinya.
Sederhana harapan DSwandari, ia ingin agar nasib mahasiswa FK UNIPA tetap menjadi prioritas pertama. Solusinya menggunakan dana talangan atau bagaimana, yang pasti ia berharap nasib mahasiswa FK UNIPA tidak digantung seperti ini.
“Ya kalau dibilang salah siapa, ya salah semuanya. Mulai pemerintah pusat, Kemenristekdikti, Kemenkes, Pemkab Sorong, FK pengampu, hingga FK UNIPA sendiri. Yang tidak salah adalah mahasiswanya itu di sana,” ucapnya. (els/wal)