Berita Kampus

Menilik Kasus Mensos Risma yang Paksa Teman Tuli Bicara

Beberapa kalangan ungkap kekecewaan terhadap Mensos Risma terkait tindakannya pada teman tuli di perayaan Hari Disabilitas Internasional.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: republika.co.id

SKETSA –  Pada Rabu (1/12), beredar video yang memperlihatkan Tri Rismaharini selaku Menteri Sosial (Mensos) memaksa seorang teman tuli bicara. Hal ini sontak  membuat ramai jagat media sosial. Ironisnya, kejadian tersebut terjadi bertepatan dengan perayaan Hari Disabilitas Internasional (HDI). 

Beberapa kalangan pun akhirnya mengecam tindakan yang dilakukan oleh Mensos Risma. Cindy Yulia Artha selaku juru bahasa isyarat turut mengungkapkan kekecewaannya saat diwawancarai awak Sketsa, Sabtu (11/12) lalu. Ia menyayangkan tindakan yang dilakukan Mensos Risma pada perayaan HDI, yang harusnya merayakan kesetaraan dan saling menghargai satu sama lain. 

“Saya sangat menyayangkan hal tersebut bisa terjadi dan dilakukan oleh Mensos. Terlebih lagi ini dalam rangka merayakan HDI, yang bermakna bahwa setiap manusia itu setara dan (harusnya) saling menghargai satu sama lain,” jelas Cindy lewat pesan Whatsapp, Sabtu (11/12). 

Cindy menyampaikan bahwa teman tuli sedih dan kecewa terhadap tindakan Mensos Risma yang harusnya mengerti dengan baik hak dari setiap penyandang disabilitas, tanpa memaksa. Ia juga mengungkapkan kesulitan teman-teman tuli ketika hendak berkomunikasi. Salah satunya adalah perbendaharaan kata dari teman tuli yang terbatas. 

”Kendala berkomunikasi dengan teman tuli tergantung dari perbendaharaan kata dari teman tuli. Karena ada pula teman tuli yang belum (bisa) menggunakan bahasa isyarat, sehingga berkomunikasi (hanya) dengan mimik wajah, ekspresi, gambar dan tulisan. Maka dari itu untuk meminimalisir kendala tersebut sebaiknya ada Juru Bahasa Isyarat. Berkomunikasi dengan teman-teman Tuli bisa dengan bahasa isyarat dan tulisan,” imbuhnya. 

Selain itu, banyak orang yang pemikirannya belum mampu menerima berbagai bentuk keberagaman dan perbedaan serta mengakomodasikannya ke dalam berbagai tatanan maupun infrastruktur di masyarakat. Meskipun produk Undang-undang (UU) terkait disabilitas telah banyak dikeluarkan, namun nyatanya hal ini masih mejadi pekerjaan rumah tak terselesaikan dalam proses implementasinya.

Ayunda, salah satu Dosen Psikologi Unmul turut awak Sketsa wawancarai, Selasa (7/12) via sambungan telepon. Ia mengungkapkan bahwa secara psikis teman-teman tuli pastinya tidak nyaman dan hadir perasaan tertekan terlebih teman tuli yang berada di atas panggung pada kejadian saat itu. 

“Jadi sebetulnya, yang seharusnya kita bangun adalah perasaan empati kita terhadap sesama. Kalau kita mau menilik kondisi psikis mereka pastilah yang pertama ada rasa yang kurang nyaman ada perasaan tertekan dan ada perasaan direndahkan” ucap Ayunda, Selasa (7/12). 

Ayunda juga mengungkapkan manusia akan kesulitan jika berada diposisi tersebut. Hadir di hadapan orang banyak dan disuruh melakukan hal di luar kemampuan kita. Ia menilai pembelaan Risma itu sebagai bentuk ketidakpahaman Risma antara kemampuan, kemauan, dan keterbatasan. Tutur Ayunda, kapasitas yang dimiliki oleh teman-teman tuli bukanlah kemauan mereka, tetapi karena tidak dapatnya teman tuli memaksimalkan kemampuan sebagaimana manusia atau teman dengar lainnya.

Ia berharap ke depan Risma sebagai tokoh publik, lebih memahami  makna keterbatasan yang sebenarnya. Tak hanya Ayunda, Cindy juga turut menyampaikan harapannya. Ia berharap semakin banyak orang yang mengerti etika berkomunikasi dengan disabilitas dan kejadian seperti ini tidak kembali terulang. (ahn/nop/nkh)



Kolom Komentar

Share this article