Berita Kampus

Menelanjangi Urusan Seksual Orang Lain dengan Kampanye Celup

Kampanye Celup (Sumber foto: indowarta.com)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA - Media sosial sempat ramai dengan istilah Kampanye Celup. Apa sih Celup? Mengapa disebut Celup? Ternyata, Celup merupakan singkatan dari Cekrek, Lapor, Upload.

Celup digagas oleh sekumpulan mahasiswa Desain Komunikasi Visual (DKV) Universitas Pembangunan Nasional Veteran Surabaya. Mereka berpikir kampanye ini bisa meminimalisir tindak asusila yang dilakukan di ruang-ruang publik.

Menurut infografis yang disajikan Tirto.id pada Jumat (5/1), menyebutkan bahwa sepanjang 2017 warga semakin sering menggrebek dan mempersekusi urusan seksual orang lain.

Dimulai Februari, ketika polisi merazia kos di Purwakarta dan mengamankan empat pasangan yang dituduh mesum. Kemudian Mei, 141 pengunjung Atlantis Gym & Sauna Jakarta Utara ditangkap polisi. Mereka ditelanjangi, diperiksa, dan fotonya disebarluaskan ke media sosial.

Berlanjut ke November. Pasangan muda-mudi di Cikupa, Tanggerang ditelanjangi dan diarak berkeliling karena dituduh berbuat mesum. Dan terakhir, Desember, Celup mulai dipropagandakan.

Marlina Ambarwati, mahasiswi Fakultas Hukum memandang Celup salah kaprah dalam memahami undang-undang sebagai landasan berkampanye. Undang-undang tentang upaya menghalau tindakan asusila tersebut berfokus pada anak, yang dalam peraturan adalah orang dengan usia di bawah 18. Sedangkan kampanye Celup hampir seluruhnya menyasar orang di atas 18.

"Tentu hal ini memperkuat bahwa landasan yang digunakan oleh kampanye Celup tidaklah tepat,"  kata Ambar.

Lain hal dengan pornografi. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, ketentuan berbagai hal yang berbau pornografi tidak hanya berlaku bagi anak-anak saja. Ketentuan tersebut bersifat umum dan mutlak.

Antara UU ITE dan Kampanye Celup

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) secara tegas menyebutkan bahwa foto yang diambil melalui kamera ponsel dapat dikatakan sebagai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik apabila masih berbentuk elektronik (jika belum dicetak).

Sementara itu menurut Pasal 1 angka 1 dan angka 4 UU ITE menyebut orang yang mengambil gambar/memfoto secara diam-diam dapat disebut sebagai pencipta.

Secara lebih detail, dijelaskan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Hak Cipta, pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.

Sebagai pencipta, si pengambil foto memiliki hak cipta yang memberi sejumlah hak eksklusif kepada dirinya untuk memperbanyak, pengumuman termasuk perubahan atas gambarnya sendiri dan melarang orang lain melaksanakan tindakan-tindakan tersebut tanpa seizinnya.

Kendati punya hak, masih ada batas penggunaan hak cipta atas potret diam-diam tersebut. Artinya, orang yang mengambil potret Anda yang sedang pacaran, harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Anda. Hal ini diatur dalam Pasal 19 ayat (1) UUHC.

"Untuk memperbanyak atau mengumumkan Ciptaannya, Pemegang Hak Cipta atas Potret seseorang harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari orang yang dipotret, atau izin ahli warisnya dalam jangka waktu 10 tahun setelah orang yang dipotret meninggal dunia," demikian bunyi Pasal 19.

"Tidak selalu orang yang difoto akan setuju fotonya diumumkan atau disebarkan tanpa diminta persetujuannya. Apalagi, kalau fotonya digunakan untuk hal-hal yang enggak diinginkan," imbuh Ambar.

Lebih lanjut Ambar menerangkan, apabila pasal tersebut dilanggar, maka pelaku dapat dijerat Pasal 72 ayat 5 UUHC dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp150 juta.

"Jadi, intinya engak boleh asal sembarangan foto, apalagi kalau yang difoto enggak terima," tandasnya. (asr/aml/els)



Kolom Komentar

Share this article