Berita Kampus

Jangan Gegabah, Waspada Fenomena Influencer Saham

beragam tanggapan menghampiri instastory yang dibuat oleh Raffi Ahmad dan Ari Lasso atas rekomendasinya terhadap saham tertentu

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar : Canva

SKETSA - Tak ada yang salah dari terjun ke dunia saham. Namun, di era masyarakat informasi, potensi misleading bisa menjadi semakin besar. Terutama jika informasi berasal dari tokoh tersohor atau yang awam dengan sebutan influencer. Pada Sabtu (9/1) lalu, beragam tanggapan menghampiri instastory yang dibuat oleh Raffi Ahmad dan Ari Lasso atas rekomendasinya terhadap saham tertentu. Raffi menginformasikan portofolionya pada salah satu emiten, serta menghasilkan capital gain 20-30% selama kurun 2-3 minggu. Unggahan serupa juga datang dari Ari Lasso.

Menilik perkembangan dunia saham seperti yang dilansir dari tirto.id, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa selama tahun 2020 investor ritel didominasi masyarakat berusia kurang dari 30 tahun. Jumlahnya mencapai 54,8 persen. Porsi terbanyak setelahnya diisi oleh usia 31-40 tahun.

Menanggapi fenomena tersebut, Agus Junaidi selaku dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unmul memberikan tanggapan kepada Sketsa. Ia menjelaskan, dalam berinvestasi ada dua aspek yang perlu diperhatikan. Aspek berikut yaitu makro dan mikro ekonomi. Aspek makro ekonomi seperti suku bunga, di mana suku bunga memiliki efek terhadap harga saham. Ketika suku bunga mengalami kenaikan, maka harga saham akan turun. Selanjutnya, inflasi yang memiliki pengaruh pada harga saham. Jika inflasi mengalami kenaikan, maka akan berdampak pada turunnya harga saham.

Selanjutnya ialah aspek mikro yang terbagi menjadi dua. Pertama, kondisi perusahaan yang sahamnya akan kita beli. Tentu ketika membeli saham, riwayat perusahaan minimal dalam lima tahun terakhir menghasilkan laba. Kas dan keberlanjutan perusahaan juga menjadi perhatian.

"Percuma saja kita membeli saham jika dua atau tiga tahun ke depan perusahaan tersebut sudah bangkrut," jelasnya, Kamis (28/1).

Kedua, pelaku penanam saham itu sendiri. Sebagai penanam saham, diperlukan peningkatan kualifikasi diri sebab menanam saham adalah sebuah cabang usaha yang high risk dan high return. Karenanya, memiliki pengetahuan yang luas mengenai jenis saham perlu dipertimbangkan. Diperlukan pula kemampuan analisa pasar dan kemampuan emosional intelegensi yang bagus, seperti tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan.

Menurut Agus, berada di masa produktif penting untuk mulai memahami investasi. Di usia muda, memiliki banyak keinginan juga harus sejalan dengan kondisi finansial yang cukup. Dengan berinvestasi, kedisiplinan juga akan tumbuh.

"Berinvestasi membutuhkan uang lebih dan semua itu bisa kita capai jika kita bisa berhidup hemat," tuturnya.

Sempat diwawancarai pada Selasa (26/1), Rina Juwita, dosen Ilmu Komunikasi ini menyoroti fenomena "sahamgram" yang sedang terjadi . Baginya, sah saja apabila tokoh ternama membagikan pengalamannya untuk memotivasi yang lain atas keuntungan yang mereka dapatkan. Namun, dalam perspektif komunikasi perlu mengkritisi kembali motivasi yang dilakukan influencer. Seperti apa yang melandasi mereka berbagi kisahnya di media sosial.

Apabila mereka di-endorse oleh perusahaan saham, tentu ada aturan-aturan terkait otoritas saham yang harus mereka penuhi sebagai penasihat saham. Merekomendasi secara sembrono terkait masalah finansial bisa menimbulkan kekeliruan.

"Lagi-lagi, kita yang sebagai publik harus kritis melihatnya. Jangan asal ikut aja. Termasuk urusan sahamgram ini. Bahwa semua itu harus ada ilmunya, harus ada pelajarannya. Jangan ujug-ujug langsung ikutan tanpa paham tentang investasi saham itu sendiri bagaimana," pungkasnya. (nkh/str/rst/len)



Kolom Komentar

Share this article