Jaminan Keamanan Data Pribadi Masyarakat dalam UU PDP
Pemerintah resmi sahkan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP)
- 20 Oct 2022
- Komentar
- 930 Kali
Sumber Gambar: dpr.go.id
SKETSA — Maraknya kasus peretasan data pribadi oleh sejumlah oknum tidak bertanggung jawab membuat Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) disahkan sebagai produk hukum perlindungan data pribadi atas hak warga negara. Ini bertujuan sebagai upaya mewujudkan jaminan pengakuan dan penghormatan tentang pentingnya perlindungan data pribadi.
Meski telah dirancang sejak 2016, UU PDP baru resmi disahkan pada 20 September 2022 lalu. Hasilnya, rancangan yang disetujui sebanyak 371 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dengan menghasilkan 16 bab serta 76 pasal. Jumlah ini bertambah 1 bab 4 pasal, yang mulanya 15 bab 72 pasal pada akhir tahun 2019 atas usulan pemerintah.
Pelaksanaan pengesahannya dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Lodewijk Paulus pada Rapat Paripurna Ke-5 Masa Persidangan I tahun sidang 2022-2023, bertempat di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat.
Seperti yang dikutip dalam laman aptika.kominfo.go.id. Direktorat Jendral Aplikasi Informatika (Ditjen Aptika) Kementerian Komunikasi dan Informatika, Semuel Abrijani Pangerapan menyebut secara norma dan prinsip UU ini langsung berlaku. “Namun, dari DPR dan pemerintah memberikan waktu dua tahun untuk masa penyesuaian,” tuturnya pada Rabu (7/9).
Dua jenis data pribadi
Dalam momentum ini pula pemerintah kembali mengimbau seluruh elemen masyarakat untuk meningkatkan sistem keamanan seperti firewall dan enkripsi, mematuhi tanggung jawab, serta menjaga data pribadi yang dikelolanya. Secara umum data pribadi dapat diidentifikasi ke dalam dua jenis di antaranya data pribadi yang bersifat spesifik dan data pribadi yang bersifat umum.
Dilansir dalam laman indonesiabaik.id, data pribadi bersifat umum meliputi nama lengkap, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, status pernikahan, sampai data pribadi yang dikombinasikan untuk mengidentifikasi seseorang. Sedangkan data pribadi yang bersifat spesifik seperti informasi kesehatan, biometrik (sidik jari dan retina mata), genetika, catatan kejahatan, data anak, keuangan pribadi, pandangan politik, kehidupan/orientasi seksual, dan lain.
Tanggapan civitas academica Unmul
Disahkannya UU PDP turut menjadi perhatian bagi Kheyene Molekandella Boer, dosen program studi Ilmu Komunikasi FISIP Unmul. Menurutnya, pengesahan UU PDP menjadi angin segar bagi perjuangan regulasi yang telah lama digaungkan. Terlebih, produk hukum semacam ini telah dimiliki banyak negara di berbagai belahan dunia.
“Saya yakin ini menjadi awal yang baik bagi Indonesia karena UU PDP dapat memberikan aturan yang jelas bagi seluruh aktivitas yang berkaitan dengan keamanan digital, terutama tentang kebocoran data yang juga banyak mendapat sorotan di Indonesia akhir-akhir ini,” bebernya kala dihubungi awak Sketsa Senin (10/10) lalu.
Lalu lintas informasi digital yang kian pesat tak ayal membuat jutaan data pribadi masayarakat tersebar setiap detiknya, salah satunya lewat media sosial. Kondisi ini kian diperparah akibat tidak meratanya kecakapan pemahaman terkait kesadaran untuk membatasi data pribadi di ruang digital. Belum lagi permasalahan segelintir orang tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan data pribadi di ruang digital untuk kepentingan tertentu.
“Ini semua yang pada akhirnya menciptakan ekosistem digital tidak sehat, sehingga saya rasa sudah banyak pihak yang terus mendorong UU PDP disahkan. Karena, mau tidak mau peran pemerintah membuat sebuah regulasi juga sangat penting.”
Lebih lanjut Kheyene meyakini, untuk menciptakan ekosistem digital yang sehat diperlukan sinergi yang tepat dari berbagai pihak terkait. Salah satu cara untuk mewujudkan keamanan data pribadi di ruang digital ialah dengan terus mendorong berbagai kegiatan literasi digital bagi semua kalangan.
“Akan lebih baik UU PDP berjalan beriringan dengan kompetensi literasi digital yang baik dari masyarakat. Ketika pemerintah berjalan selaras dengan para stakeholder yang membantu maka potensi ekosistem digital Indonesia tentu saja dapat segera pulih,” imbuhnya.
Tanggapan lain juga datang dari seorang mahasiswi Ilmu Pemerintahan FISIP Unmul 2020, Devy Khusnul Khotimah. Menurutnya, kunci efektivitas implementasi UU PDP terletak pada otoritas perlindungan data sebagai lembaga pengawas yang dapat menjamin ketertiban di dalamnya.
“Alasan terkuat kalau yang saya lihat mengapa pada akhirnya RUU PDP ini disahkan karena maraknya aplikasi uang digital, e-commerce seperti sekarang ini, yang memakai data pribadi dan sampai data masyarakat ini terus dieksploitasi,” tulisnya melalui pesan Whatsapp Rabu (12/10).
Alasan lain mengapa UU PDP disahkan karena pemerintah yang belum memiliki undang-undang khusus mengatur perlindungan data pribadi secara legislasi dan kepemerintahan mengakibatkan penindakan bagi pelaku pencurian data pribadi menjadi tidak jelas.
Senada dengan Devy, mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling FKIP 2021, Muhammad Ryandi Miratama juga menyambut baik kabar pengesahan UU PDP. “Sah-sah saja, saya senang aja kalo UU PDP ini disahkan. Asal sesuai dengan substansi awal konsisten untuk menanggulangi perihal kebocoran data,” ungkapnya Selasa (11/10) lalu.
Bagi Yandi, pengesahan UU PDP merupakan usaha pemerintah dalam mendengarkan kerisauan masyarajat akibat kebocoran data beberapa waktu terakhir yang puncaknya pada kasus hacker Bjorka. “Apalagi akhir-akhir ini marak terjadi serangan siber, kebocoran dan penyalahgunaan data pribadi, serta eksploitasi data berupa scamming.”
Dirinya berharap pengesahan UU PDP dapat membuat kejadian seperti scamming dan propaganda pada data pribadi masyarakat tidak kembali terulang serta dapat menindak para pelaku.
“Semoga hal tersebut (bisa) terus dikembangkan agar tidak seperti pasal-pasal inkonsistensi lainnya, yang sering bikin polemik di kalangan masyarakat,” kunci Yandi. (lau/snk/nkh)