Berita Kampus

Intervensi, Bukti Kebebasan Pers Masih Terbelenggu

SK Rektor USU terkait pemecatan Pers Suara USU.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber: Istimewa

SKETSA – Kebebasan pers di negara demokrasi sekelas Indonesia ternyata masih kerap bias. Tentu saja hal ini berkaitan dengan salah satu pers mahasiswa yang berada di Medan, Universitas Sumatera Utara (USU). Salah satu persma di sana yakni Suara USU hingga kini masih bersitegang dengan pihak rektorat karena beberapa alasan.

Hal ini bermula sejak cerita pendek (cerpen) diterbitkan di website suarausu.co. Cerpen yang berjudul “Ketika Semua Orang Menolak Diriku di Dekatnya” ini adalah buah karya dari Yael Sinaga, Pimpinan Umum Suara USU. Cerpen tersebut diterbitkan pada 12 Maret dan dipromosikan di media sosial 6 hari setelahnya. Beberapa saat setelah terbitnya cerpen itu, berbagai pihak mulai menunjukkan reaksinya. Termasuk salah satu di antaranya ialah pihak rektorat. Rektor USU, Runtung Sitepu dengan tegas menolak cerpen itu dimuat dan meminta kepada pengurus persma agar ditarik.

Penolakan akan kehadiran cerpen oleh pihak rektorat disinyalir karena isi dari cerpen mengandung kata tidak senonoh seperti sperma dan dinilai berbau pornografi. Runtung juga beranggapan bahwa cerpen yang ditulis oleh Yael sangat pro terhadap LGBT, dan Runtung sebagai rektor menolak dengan keras hal ini, sebab dapat mencemari nama USU.

Namun hal ini mendapat penolakan dari pengurus Suara USU selaku penerbit cerpen tersebut. Bagi mereka tuduhan yang dilayangkan rektorat tidak berdasar. Mereka beranggapan bahwa cerpen tersebut merupakan bentuk karya sastra bebas. Menariknya dari peredaran sama saja dengan membatasi kreatifitas dan kebebasan berpikir bagi setiap orang.

Cerpen Dianggap Pro LGBT, Website Suara USU Suspend, Hingga Berujung Pemecatan

Siapa sangka berawal dari cerpen ternyata bisa memiliki berbagai cabang permasalahan. Pengurus Suara USU yang tak mengindahkan perkataan rektorat, tetap kukuh menerbitkan cerpen tersebut karena dirasa tidak ada yang bermasalah. Namun rektorat juga tak mau menyerah begitu saja, mereka memutuskan untuk men-suspend website resmi suarausu.co agar tidak ada publik yang bisa mengaksesnya.

Portal resmi yang tidak bisa diakses mengakibatkan kegiatan pemberitaan Suara USU sedikit terganggu. Mereka yang biasa menerbitkan pemberitaan langsung di web harus mengalihkannya ke beberapa media sosial cadangan seperti Facebook dan Instagram untuk mengupdate informasi.

Dilansir dari Suara.com, bahwa Humas USU sudah memanggil Pimpinan Umum dan Pimpinan Redaksi dari Suara USU guna menanyakan kelanjutan cerpen yang jadi kontroversi. Dalam pemberitaan oleh Suara.com, Humas USU mengaku bahwa pihak yang dipanggil tadi bersedia mencabut cerpen tersebut, namun ternyata tidak. Inilah yang menjadi landasan rektorat untuk segera menghentikan sementara kerja portal Suara USU, dan membukanya kembali pada 23 Maret lalu.

Kasus yang masih bergulir ini kian memanas tatkala rektorat melalui Surat Keputusan Rektor Universitas Sumatera Utara Nomor 1319/UN5.1.R/SK/KMS/2019 pada tanggal 25 Maret keluar. SK ini merupakan bentuk perubahan dari SK Rektor No. 1026/UNS.1.R/SK/KMS/2019 tanggal 19 Februari tentang pengangkatan pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di USU.

Melalui SK tersebut, tercantum 18 nama dari pengurus Suara USU yang dipecat. Mulai dari Yael Sinaga selaku pemimpin umum hingga sekretaris, bendahara, redaktur, dan beberapa staf. SK ini membuat perdebatan kian memanas. Hingga memasuki bulan April, rekan-rekan Persma USU dan persma se-Indonesia tak henti-hentinya menggalang aksi solidaritas guna menyatakan dukungan mereka terhadap kesewenang-wenangan rektor dalam bertindak.

Intervensi Pihak Rektorat yang Tidak Hanya Sekali

Cerpen oleh Yael Sinaga ternyata bukanlah awal dari semua permasalahan yang menimpa Persma Suara USU. Nadiah Azri Br Simbolon, Bendahara Suara USU mengaku bahwa pihak rektorat memang berupaya mengintervensi kinerja mereka.

Juga dilansir dari persma.org, Adinda Zahra Pimpinan Suara USU 2018 mengatakan cerpen ini hanya akal-akalan pihak rektorat untuk membubarkan Suara USU. Adinda juga menambahkan bahwa rektorat secara terang-terangan menyatakan ketidaksukaannya pada persma ini sejak 2017. Bahkan karena beberapa kasus, pendanaan Suara USU harus di cut dari rektorat. Terhitung sejak dibekukan, Suara USU menjalankan kegiatannya berbekal dari usaha mandiri.

Hal yang sama juga dibenarkan oleh Nadiah. Kepada Sketsa, ia menuturkan bahwa Suara USU pada tahun 2018 juga pernah mendapat ancaman pembubaran. “Tahun lalu kami dipanggil karena menerbitkan opini tentang akreditasi kampus yang tidak sesuai dengan pembangunan berkelanjutan,” ungkap Nadiah. 

Ia juga menambahkan bahwa penulis opini tersebut sempat dipanggil menghadap ke pihak kampus untuk memberikan klarifikasi.

Seolah tak ada habisnya, beberapa dekan fakultas bahkan telah ‘memulangkan’ pengurus Persma USU yang tersangkut masalah. Nadiah berujar bahwa beberapa rekannya di persma telah menghadap dekan masing-masing. Pesan dari dekan tentu ingin agar mahasiswa yang tergabung dalam persma kembali belajar dengan baik di fakultas dan tidak perlu lagi kembali ke persma.

Terhitung Selasa, 2 April sore tadi, pihak Suara USU tak kehabisan tenaga untuk mendesak pihak rektorat agar mencabut SK pemecatan tadi dengan kembali menggelar aksi. Termasuk juga aksi yang dilakukan oleh Solidaritas Mahasiswa Bersuara (Somber) untuk menuntut rektor mencabut SK pemecatan. 

“Ahahahaha hihihi rektornya takut cerpen,” nyanyi massa aksi di depan Sekretariat Suara USU. 


Intervensi Tak Hanya Dialami Presma Suara USU

Tindakan pemecatan sepihak oleh pihak Rektorat USU menambah daftar kasus intervensi dan pembredelan karya terhadap persma. Baru-baru ini Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung UGM mengalami intervensi atas diterbitkannya sebuah berita yang membongkar skandal dugaan kekerasaan seksual dalam pelaksanaan KKN UGM.

Dilansir dari news.harianjogja.com, dua awak redaksi Balairung, yakni Citra Maudy, Pemimpin Umum Balairung sekaligus penulis berita berjudul Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan. Sementara rekannya, Thovan Sugandi merupakan editor berita tersebut. 

Buntut dari penulisan berita tersebut membawa Citra dan Thovan sampai ke Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Polda DIY meminta keterangan mereka berdua ihwal narasumber, reportase, dan seluk pemberitaan.

Kepala Bidang Humas Polda DIY AKBP Yuliyanto mengatakan keterangan dari Citra dan Thovan diperlukan penyidik untuk menyelesaikan kasus ini. Keduanya menjadi saksi setelah Arif Nurcahyo, Kepala Satuan Keamanan dan Keselamatan Kampus (SKKK) UGM, melaporkan dugaan perkosaan selama KKN itu ke Polda DIY pada Desember 2018 lalu.

Koordinator Divisi Advokasi AJI Yogyakarta, Tomi Apriando mengungkapkan pemanggilan penulis sebagai saksi di kepolisian bisa menjadi ancaman serius bagi demokrasi di Indonesia.

Melalui jogja.tribunnews.com, Tomi mengatakan pemanggilan penulis ke kepolisian tidak dibenarkan, sebab penulis hanya menulis berita berdasarkan informasi yang diterima. Sementara saksi merupakan orang yang melihat, mendengar dan mengetahui langsung sebuah peristiwa. Jika kemudian serius ingin menuntaskan kasus maka harus memanggil saksi yang benar-benar tahu langsung dari kasus tersebut.

"Harusnya itu tidak digunakan karena arahnya ada upaya kriminalisasi Balairung," jelasnya.

Sebanyak 90 organisasi menyatakan sikap menolak kriminalisasi terhadap penulis Persma Balairung Press di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta pada Rabu, 16 Januari lalu. (sut/els)



Kolom Komentar

Share this article