Berita Kampus

Alih-alih Khawatir, Mental Illness Justru Diglorifikasi

Muncul tren menganggap mental illness sebagai sesuatu yang keren.

Sumber Gambar : Unsplash

SKETSA – Belakangan ini kesehatan mental menjadi salah satu topik yang ramai dibicarakan. Alih-alih bertujuan untuk meningkatkan kepedulian dan kewaspadaan terhadap persoalan ini, beberapa orang dengan mudahnya mengaku mengalami gangguan mental berdasarkan informasi yang didapatkan. Akibatnya, muncul tren glorifikasi mental illness yang dianggap sebagai sesuatu yang keren.

Glorifikasi mental illness merupakan sebuah sikap bangga terhadap gangguan mental yang dialami. Hal ini justru berbahaya bagi diri sendiri dan orang lain. Ketika seseorang menunjukkan sikap bangga dengan kondisinya di media sosial, orang lain dapat terpengaruh untuk melakukan diagnosa pada diri sendiri.

Ayunda Ramadhani, dosen Psikologi Unmul mengatakan bahwa tren ini sangat mengkhawatirkan jika sekedar membesar-besarkan kondisi yang dialami tanpa mencari pertolongan.

“Harus digarisbawahi bahwa perilaku ini harus diikuti dengan adanya perilaku untuk mencari pertolongan atau bantuan dari profesional. Seperti psikolog klinis ataupun psikiater, sehingga kondisi yang dialami tidak menjadi parah,” ucap Ayunda kepada Sketsa, Minggu (8/8).

Media sosial kini menjadi ruang terbuka yang digunakan untuk berekspresi. Lantas, apa akibat dari memamerkan gangguan mental yang dialami di media sosial?

Ayunda menjelaskan, ketika seseorang dengan bangga memperlihatkan kondisi gangguan mentalnya di media sosial, tentu akan menimbulkan respons negatif dari orang-orang yang melihatnya. Hal ini menjadi wajar ketika orang-orang berpendapat bahwa ia berlebih-lebihan terhadap kondisi yang dialaminya.

“Kondisi gangguan mental merupakan kondisi yang serius, dan membutuhkan penanganan segera oleh profesional. Ketika seseorang sedang merasa tidak baik-baik saja, maka sudah seharusnya mencari bantuan dan tidak boleh dibiarkan,” terangnya.

Dirinya juga memaparkan cara untuk mengetahui kondisi mental seseorang sedang tidak baik-baik saja. Caranya dengan memperhatikan perubahan emosi yang terjadi dalam diri dan kesehatan fisik serta melihat adanya indikasi menyakiti diri sendiri dan orang lain. Selain itu, tidak perlu takut untuk berkonsultasi ke psikolog klinis atau psikiater.

Selain itu, Ia menyarankan kepada semua orang untuk lebih peduli terhadap sekitar dengan cara mengedukasi ataupun memberikan pertolongan.

“Arahkan bahwa diperlukannya pertolongan yang tepat. Jangan hanya di media sosial, tetapi juga harus diikuti dengan perilaku menolong diri sendiri,” pungkas Ayunda.

Sempat diwawancarai pada Jumat (7/8) lalu, Siti Fatimah, mahasiswi Program Studi (Prodi) Ekonomi Pembangunan Unmul ini juga memberikan tanggapannya mengenai hal ini. Menurutnya, seseorang yang memperlihatkan kondisi mentalnya tersebut benar-benar membutuhkan pertolongan serta dukungan.

Selain itu, ia juga menambahkan bahwa faktor lain yang mengakibatkan munculnya tren glorifikasi mental illness ini dapat berasal dari musik dan film. Siti berpendapat, bahwa remaja rentan terpengaruh terhadap dua media ini.

Baginya, untuk menghindari kesalahpahaman dan penyalahgunaan informasi kesehatan mental di media sosial adalah dengan berperilaku bijak dan memperhatikan batasan-batasan dalam bermedia sosial.

“Contohnya media sosial harus digunakan yang sudah berumur 18+ tidak ada saran lain selain mematuhi aturannya,” tutupnya. (aot/ans/jhr/fzn)



Kolom Komentar

Share this article