Berita Kampus

Aksi Tolak MoU, Rizaldo: MoU berpotensi Melanggar Hak Asasi Warga

Jumat (9/2) lalu Aliansi Garuda Mulawarman gelar aksi pencerdasan di perempatan depan Mall Lembuswana tolak MoU yang telah disepakati TNI dan Polri. (Foto: Hilda)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA - Jumat (09/2) lalu Aliansi Garuda Mulawarman gelar aksi pencerdasan di perempatan depan Mall Lembuswana guna menanggapi nota kesepahaman yang telah disepakati TNI dan Polri. Secara bergantian perwakilan BEM masing-masing fakultas memberikan orasinya diselingi lagu khas perjuangan mahasiswa dan iringan bendera lembaga. Selain itu, hal yang cukup menarik perhatian lain adanya teatrikal yang ditampilkan.

Sebelumnya, Selasa (23/1) lalu TNI dan Polri menerbitkan nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU). MoU yang ditandatangani Kapolri Tito Karnavian dan Panglima TNI Hadi Tjahjanto itu sontak menuai polemik di berbagai kalangan, terutama mahasiswa yang sejatinya elemen paling akrab dengan aksi-aksi jalanan.

(Baca, https://sketsaunmul.co/berita-kampus/melawan-kebiri-demokrasi-lewat-mou-tni-dan-polri/baca dan https://sketsaunmul.co/berita-kampus/napas-gerakan-mahasiswa-unmul-melawan-mou-tni-polri/baca)

Aksi yang kurang lebih dihadiri oleh 80 mahasiswa ini merupakan aksi untuk memobilisasi massa agar tergerak untuk melakukan penolakan. Selain itu, belum sampainya draft MoU di meja Istana menjadi ihwal tersendiri sehingga aksi tidak terjadi di Kantor DPRD.

Adapun tuntutan yang disampaikan pada aksi kali ini adalah pertama, menolak dengan tegas TNI untuk terlibat dalam aksi dan mogok kerja. Kedua, mendesak Presiden untuk membatalkan MoU, karena melanggar TAP MPR Nomor 6 tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004.

Ditemui setelah bubarnya massa aksi, Rizaldo Presiden BEM KM Unmul, membeberkan dua permasalahan dalam MoU. Pertama, permasalahan formil yang kemudian terbagi menjadi tiga poin.

Poin pertama, jika dilihat dari segi hukum, TNI memang dapat memberikan bantuan kepada Polri yang diatur dalam undang-undang. Perbantuannya pun harus melalui undang-undang di TNI. Sementara yang terjadi adalah, TNI dan Polri melakukan kesepakatan hanya berdasarkan MoU, bukan melalui perundang-undangan.

Poin kedua, kewenangan dan tanggung jawab pengerahan dan kekuatan TNI berada pada Presiden. Namun, Undang-Undang TNI tidak memberikan tugas dan kewajiban pengerahan kekuatan kepada panglima.

“Kemaren kan panglima yang melakukan kesepakatan. Yang kita takutkan, bahwa panglima ke depan yang justru bisa memberikan pengarahan. Sedangkan yang diatur tadi tidak,” tutur Aldo.

Poin ketiga, dalam hal pengerahan kekuatan TNI, Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Sedangkan MoU sendiri dilakukan tanpa melalui pertimbangan DPR sehingga dinilai tidak sesuai prosedur yang berlaku.

Permasalahan kedua ialah terkait dengan substansi. Adanya MoU memperlihatkan akan penguatan militerisme, yaitu suatu tindakan/gerakan yang dilakukan militer untuk memberangus suara-suara yang kontra terhadap rezim. Tindakan ini bertentangan dengan semangat penghapusan dwifungsi ABRI yang diperjuangkan mahasiswa pada masa reformasi 20 tahun silam.

“Bukan berarti kita menolak militer ya, tapi menolak militerisme. Penolakan ini adalah karena campur tugas antara militer dan sipil. MoU ini juga berpotensi melanggar hak asasi warga negara terkait kebebasan berpendapat,” jelas Aldo.

Lebih lanjut, Aldo mengatakan esensi aksi kali ini adalah memobilisasi pencerdasan masyarakat. Sehingga masyarakat dan pemuda mampu merasakan euforia penolakan dari suara mahasiswa berhubung MoU TNI-Polri sendiri belum disahkan oleh Presiden. 

“Seperti di Mata Najwa kan dibantah. ‘Kebijakannya kan belum disahkan kenapa kalian protes?’ loh tidak. Justru karena belum disahkan kita bersuara agar mampu memobilisasi massa dalam pencerdasan,” terang Aldo.

Kendati demikian, Aldo tak menampik akan membawa massa yang lebih besar jika MoU TNI-Polri disahkan oleh Presiden. Tuntutan yang dilakukan juga akan mengarah pada perubahan kebijakan.

Dengan adanya aksi, Aldo berharap masyarakat mengetahui bahwa mahasiswa Indonesia bagian timur memiliki suara. Jangan sampai MoU disahkan karena memang semangat reformasi itu harus dikuatkan dan dijalankan ke depan. Jangan sampai ini terciderai terlebih ini adalah momen 20 tahun reformasi.

”Entah mungkin karena ada upaya pemerintah pusat untuk membendung gerakan mahasiswa di tahun ini, atau memang ada kaitan politis yg dibawa karena berhubungan dengan plt dari pilkada di Sumatera dan Jabar,” paparnya.

Sebagai salah satu massa aksi, Freijae Rakasiwi, Gubernur BEM FEB mengatakan bahwa aksi ini merupakan bentuk nyata daerah dan dukungan terhadap kawan mahasiswa yang berada di pusat. Mahasiswa yang akrab disapa Pije ini pun berharap pasca aksi akan ada ‘bola salju’ dan memanaskan aksi mahasiswa seluruh Indonesia.

Sementara itu, Ahmad Rifa’i Koordinator Lapangan aksi merasa bahwa aksi ini sudah cukup berhasil. “Saya rasa apa yang disampaikan dari mahasiswa, saya lihat juga sudah berhasil. Jika saya juga lihat kembali, terkait perhatian masyarkat ke apa yang disampaikan kemahasiswa juga  itu dapet sih,” jelasnya.

Idet sendiri mengaku terkendala hujan dan masalah penyuratan ke kepolisian sebelum adanya aksi. Mengenai akan adanya aksi lanjutan, sebagai Aliansi Garuda Mulawarman, Idet yakin akan terus mengawal perkembangan isu MoU. (ann/fer/els)



Kolom Komentar

Share this article