Berita Kampus

Melawan Kebiri Demokrasi Lewat MoU TNI dan Polri

Tangkapan layar isi kesepahaman antara Kepolisian dan TNI. (Sumber: Istimewa)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA - Rezim Jokowi jelang 20 tahun reformasi, membawa Indonesia dalam situasi darurat demokrasi. Ditandatanganinya nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) antara TNI dan Polri dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat ketika terjadi unjuk rasa dan mogok kerja menimbulkan poin kritik yang kian memperkuat asumsi ini.

Tuntutan ini disuarakan keras oleh segenap mahasiswa, baik secara nasional maupun Unmul.

Idet Arianto Putra, Menteri Sosial Politik BEM KM Unmul menilai MoU Polri dan TNI tersebut sebagai pengkhianatan reformasi yang telah menghapuskan dwifungsi ABRI. Idet melihat ada upaya pengembalian dwifungsi, hanya saja dialihkan menjadi dwifungsi Polri. Hal ini nampak jelas tatkala aparat mulai masuk ke ruang-ruang politik.

Menurutnya, sejak awal sudah ada ketetapan dari MPR RI yang memecah ABRI menjadi TNI dan Polri. Dan tupoksinya sendiri adalah TNI merupakan pertahanan negara sedangkan Polri merupakan pengamanan dan penjaga ketertiban masyarakat. Dengan adanya MoU ini, kata Idet, justru memperlihatkan bahwa beda TNI dan Polri hanyalah warna seragam semata.

“Kalau ada MoU yang mengatakan TNI terlibat dalam pengamanan dan ketertiban unjuk rasa dan mogok kerja, menurut saya itu membungkam atau membatasi hak suara masyarakat khususnya pada mahasiswa,” katanya.

Lebih lanjut, Idet menuturkan, adanya MoU ini dikhawatirkan akan memberikan tekanan kepada mahasiswa dan masyarakat sipil dalam menyampaikan aspirasi. Sebab, masyarakat akan dihadapkan dengan kedisiplinan dan kekerasan yang biasa dihadapi TNI. Ini tentunya memberikan ketakutan tersendiri bagi masyarakat.

“Takutnya saat aksi, kita tidak lagi berhadapan dengan polisi. Tapi berhadapan dengan senjata maupun tank itu yang ditakuti. Ini juga berseberangan dengan tugas dan fungsi TNI pada pasal 7 ayat 3 UU nomor 34 tahun 2017 tentang tugas TNI yang sudah ditetapkan dalam ayat-ayatnya,” jelas mahasiswa prodi Pendidikan Bahasa Indonesia ini.

Kendati diterbitkan sebagai perpanjangan dari nota kesepahaman serupa pada 2013, Idet beranggapan MoU ini kembali dimunculkan karena ketakutan rezim setelah beberapa peristiwa yang terjadi belakangan ini seperti adanya penangkapan aksi-aksi mahasiswa di Jakarta hingga insiden ‘Kartu Kuning’ yang dilakukan Zaadit Taqwa, Presiden BEM UI.

“Saya melihat gerakan dua puluh tahun reformasi ini mulai terbaca dari mahasiswa. Ini sudah sangat jelas terbaca dengan momentum kemarin tiga tahun Jokowi-JK. Jadi rezim kembali lagi ingin melibatkan TNI untuk penertiban masyarakat,’’ imbuhnya.

Bagi Idet, rezim Jokowi kini tengah khawatir karena banyak yang mencekal dan bilang gagal. Tahun pertama pemerintahan Jokowi sudah diwarnai aksi-aksi mahasiswa yang mengkritisi. Mujahid, Presiden BEM KM Unmul 2015 kala itu mencoret gambar Jokowi dengan tulisan ‘JOKOWI BOHONG’ di kantor DPRD Kaltim.

Puncaknya, pada tahun ketiga Jokowi berkuasa, dihelat aksi serentak oleh Aliansi BEM Seluruh Indonesia (SI). Sebanyak empat mahasiswa ditangkap sementara ratusan lain mengaku direpresi. Semua ini dinilai Idet sebagai bentuk kekhawatiran rezim sehingga berpikir perlu meletakkan militer dan aparat dalam setiap kedudukan dan kebijakan, termasuk dua perwira Polri yang menjadi Plt gubernur dan sejumlah militer yang mengundurkan diri sebelum waktunya untuk ikut bertarung dalam panggung politik.

“Saya kira ini sudah disiapkan untuk mengatur eskalasi mereka agar mendapat dua bangku presiden dua kali periode dengan mengandalkan militer,” ucap mahasiswa angkatan 2015 ini.

Gerakan BEM KM Unmul

Resah, BEM KM Unmul memutuskan bergerak dengan mengadakan diskusi internal, kemudian menggelar konsolidasi bersama seluruh BEM fakultas pada Rabu, (7/2) kemarin.

Sayangnya, konsolidasi tak dihadiri semua BEM fakultas. Tercatat hanya ada tujuh BEM yang hadir, yakni BEM FKIP, FEB, Faperta, FKM, Teknik, FKTI, dan Farmasi serta beberapa mahasiswa umum yang juga ikut hadir.

Tidak ada alasan pasti yang diterima Idet perihal absennya tujuh BEM fakultas yang lain. Idet mengakui jika undangan konsolidasi memang disebar umum, tidak khusus secara lembaga. Kendati demikian, ia yakin, Walau tak hadir, mahasiswa parlemen jalanan akan merespons kabar MoU ini.

Seluruh yang hadir ketika itu membuat pernyataan sikap akan isu ini. Hasil dari konsolidasi tersebut memutuskan akan ada aksi pada Jumat 9 Februari di kantor DPRD Kaltim. Dan sehari sebelumnya, Kamis, 8 Februari akan ada teknis lapangan.

“Sebagai wajah Kalimantan Timur, BEM KM Unmul ingin menunjukkan taring di isu nasional tanpa ada instruksi terlebih dahulu dari pusat,” pungkasnya. (ann/dor/aml)



Kolom Komentar

Share this article