Aksi Mahasiswa Samarinda Sepekan Terakhir: dari Kawal UU Pilkada hingga Diwarnai Pukulan
Aliansi Mahasiswa Kalimantan Timur lakukan aksi di depan gedung DPRD
- 27 Aug 2024
- Komentar
- 397 Kali
Sumber Gambar: Mitha/Sketsa
SKETSA - Jalan Teuku Umar kembali dipenuhi Aliansi Mahasiswa Kalimantan Timur (Makara) serta elemen masyarakat Samarinda lainnya. Tepat di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Timur, Senin (26/8) lalu, massa berkumpul untuk melakukan aksi dengan membawa sejumlah tuntutan.
Tuntutan tersebut ialah mengenai pengesahan RUU Perampasan Aset, pengesahan RUU Masyarakat Adat, Penolakan Hak Guna Usaha (HGU) 26 ribu hektare tambang oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di PT Kaltim Prima Coal (KPC).
Selain itu, aksi ini juga menuntut Pertanggungjawaban Jokowi dan DPR, serta mengecam tindakan represif oleh aparat terhadap massa aksi demonstrasi.
Dimulai sekitar pukul 15.00 Wita, garda terdepan mulanya diisi oleh barisan mahasiswi. Tak seramai aksi sebelumnya, massa yang tergabung kemudian mulai menyampaikan orasi satu-persatu.
Aksi Pemantik
Sebelumnya, aksi juga telah dilangsungkan sebanyak dua kali. Yang pertama di depan Gerbang Unmul (22/8) lalu. Di depan gerbang itu, massa mulai berorasi sejak pukul 15.00 Wita. Massa yang tergabung berasal dari sejumlah lembaga mahasiswa, tidak hanya dari internal Unmul.
“(Aliansi) Ini cukup banyak ya. Selain daripada golongan-golongan BEM yang ada di Universitas Mulawarman. Termasuk BEM KM, BEM FISIP, BEM-BEM yang lain juga. Terus ada himpunan-himpunan juga. Kita ada organisasi eksternal dari HMI, dari Perempuan Mahardhika,” tutur Febby, selaku Wakil Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unmul di tempat aksi.
Massa menyuarakan penolakan terhadap putusan UU Pilkada yang dirasa mengancam keberlangsungan konstitusi di Indonesia. Mereka khawatir jika putusan MK tentang UU Pilkada dibatalkan oleh Baleg (Badan Legislatif) DPR RI, akan berdampak pada rusaknya demokrasi di Indonesia.
"Beberapa partai politik kecil itu susah mendapatkan 20 kursi DPR dan mereka mewujudkan 25 persen hak suara sah, mereka merasa tidak sah dengan kalau maju personal," ujarnya Kamis (22/8) lalu.
Menjelang terbenam matahari, aksi pada Kamis lalu itu kemudian ditutup dengan pertanyaan aksi. Setidaknya ada enam poin tuntutan yang massa utarakan, yaitu:
- Stop Komersialisasi Pendidikan
- Tolak RUU TNI Polri
- Sahkan RUU Masyarakat Adat
- Usut Tuntas Pelanggaran HAM Berat
- Wujudkan Reforma Agraria Sejati
- Segera Revisi RUU Penyiaran
Tak henti di situ, aksi dengan massa yang lebih banyak kembali diadakan di depan Gedung DPRD pada Jumat (23/lalu).
Percobaan memasuki gedung pun dilakukan, setelah massa mencoba menunggu untuk dibukakan gerbang namun tidak diindahkan. Pengunjuk rasa kemudian mulai memaksa masuk dengan memanjat serta menggoyangkan gerbang.
Hingga selang beberapa waktu kemudian, salah satu anggota DPRD Kaltim keluar menemui gerombolan aksi. Muhammad Samsun, selaku Wakil Ketua DPRD menyebutkan bahwa ia mendengarkan segala aspirasi yang disampaikan massa selama unjuk rasa berlangsung.
Samsun yang menemui massa dan memperkenalkan dirinya sebagai anggota fraksi PDIP itu menyebutkan, bahwa ia akan menyampaikan segala aspirasi yang dibawa oleh massa.
“Saya ucapkan terima kasih (kepada) seluruh elemen mahasiswa hari ini (yang) bersuara…” ujar Samsun di tengah kerumunan aksi (23/8) lalu.
“Saya menyatakan, saya terima aspirasinya dan akan saya sampaikan ke DPR pusat,” lanjut Samsun.
Merespons wakil DPRD tersebut, Eddy Iskandar selaku dosen Unmul mengatakan, aksi ini adalah bentuk protes yang lebih mengarah kepada aksi moral.
“Mahasiswa marah dengan situasi kondisi politik yang diciptakan di pusat,” sebutnya saat diwawancarai di lokasi aksi (23/8) lalu.
Perihal Samsun yang ke luar menemui massa, Eddy bilang hal tersebut sekadar menunjukkan bahwa masih ada partai yang sejalan dengan aspirasi mahasiswa.
“Artinya gini, pembatalan Rancangan undang-undang itu untuk diparipurnakan, tidak ada yang berjasa kecuali mahasiswa,” ujarnya.
Pantang pulang, massa aksi masih optimis untuk tetap menyampaikan aspirasinya ke dalam Gedung DPRD.
Namun hingga senja tiba dan polisi memperingatkan massa agar segera bubar, aksi mulai semakin ricuh. Polisi menembakkan water cannon dan membuat massa berhamburan.
Aksi pada Jumat (23/8) itu pun diwarnai dengan sejumlah mahasiswa yang sempat ditahan oleh aparat kepolisian. Ada pula yang masuk Instalasi Gawat Darurat (IGD).
Kejadian ini Sketsa konfirmasi langsung pada wawancara terpisah dengan Febby, selaku Wakil Presiden BEM KM Unmul.
“Benar. Tapi sudah ditangani dan sudah dilepas semuanya ya,” katanya saat dihubungi lewat obrolan WhatsApp Jumat (23/8) lalu.
Adapun pernyataan sikap dari aksi tersebut menambah jumlah tuntutan yang sebelumnya enam menjadi dua belas tuntutan, yaitu:
7. Kawal Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024
8. Tolak Revisi UU Pilkada
9. Sahkan RUU Perampasan Aset
10. Sahkah RUU Masyarakat Adat
11. Menuntut Pertanggungjawaban Jokowi dan DPR
12. Mengecam tindak represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian pada massa aksi demonstrasi
Tindakan represif warnai aksi di depan DPRD Kaltim
Menjelang pukul 18.00 Wita, massa aksi pada Senin (26/8) lalu berusaha memanjat pagar. Dalam sebuah video yang beredar dan diunggah akun Instagram @aksikamisankaltim, terekam sebuah aksi represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
Dalam video itu, seorang mahasiswa yang mencoba masuk mendapati sebuah dorongan dan juga pukulan dari oknum kepolisian.
Tindakan ini kemudian memantik sejumlah komentar dari warganet.
“Tugas polisi itu untuk mengamankan bukan memukuli,” sebut salah satu komentar @irwansamarata dalam postingan Instagram tersebut sambil menandai sejumlah akun kepolisian.
Aksi ketiga dalam seminggu terakhir itu juga menimbulkan korban terluka. Salah satunya seorang pemuda laki-laki yang diduga mengalami patah kaki.
Dalam sebuah video yang beredar di sejumlah grup obrolan WhatsApp seusai aksi, diduga pemuda tersebut merupakan mahasiswa Fahutan Unmul. Ia terlihat tergeletak di dalam sebuah ambulans yang sedang dikemudikan dan ditemani oleh dua pemuda.
“Satu korban dari Fakultas Kehutanan Unmul, kaki patah, akibat represif dari aparat,” sebut pemuda yang menemani korban tersebut.
“Hidup perjuangan, hidup perjuangan,” lanjut mereka sambil saling sahut.
Melansir dari kaltimpost.id polisi awalnya sudah mengimbau massa untuk segera bubar, sebab sejak awal mereka sudah diberi kesempatan untuk menyampaikan orasi.
Sehingga pukul 18.00 Wita adalah batas waktu mereka melaksanakan aksi. Disebutkan juga, bahwa masyarakat perlu menggunakan jalan di mana tempat aksi berlangsung.
“Oleh karena itu, kami sudah mengimbau beberapa kali untuk bisa membubarkan diri dengan tertib, tetapi tidak dilaksanakan. Kemudian melakukan pelemparan-pelemparan yang akhirnya kami melaksanakan pembubaran secara humanis tentunya,” ucap Kapolresta Samarinda Kombes Pol Ary Fadil (26/8) lalu. (zwg/lla/emf/npl/cok/xel/tha/mar)