Berita Kampus

Aksi Kamisan Kaltim Beraksi di Unmul

Aksi kamisan yang dilakukan di sekitaran GOR 27 September. Sumber Foto (Aulia Agustini/LPM)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA – Langit cerah tanpa awan kelam turut menyertai puluhan massa aksi yang berkumpul di halaman GOR 27 September Unmul pada Sabtu, (3/3) lalu. Aksi Kamisan Kaltim–begitulah komunitas massa aksi itu kerap disebut–kembali menyuarakan tuntutannya lagi, kali ini dengan tema aksi: Penyelamatan Karst dan Kawasan Pesisir.

Atribut serba hitam mulai dari baju, celana, hingga payung kompak dikenakan massa. Mereka hadir untuk memenuhi undangan dari panitia pelaksana Seni, Kreativitas, Olahraga, dan Bazar (Skrobaz) yang dihelat BEM FPIK Unmul.

Memang, ada dua hal tak biasa dari gelaran Aksi Kamisan Kaltim minggu itu. Satu, kegiatan tersebut terlaksana hari Sabtu–padahal biasa hari Kamis. Dua, massa aksi menyampaikan orasi rutinannya di GOR 27 September Unmul, yang biasanya selalu di depan Kantor Gubernur Kaltim

Bunyi-bunyi Orasi

Semua berdiri. Satu dua tangan kiri peserta terangkat, beberapa lainnya sengaja menundukkan kepala, segelintir lainnya konsisten memegang payung hitam. Itulah bentuk khidmat dari para massa aksi saat serempak menyanyikan lagu Darah Juang sekitar pukul empat sore, tanda awal penyampaian bunyi-bunyi orasi telah dimulai.

“Hari ini kita pakai baju hitam, artinya kita sedang berkabung kawan-kawan,” tekan Muhammad Alif Sayahrizan, perwakilan BEM FPIK dalam orasinya di atas panggung sebagai orator pembuka.

Ia menyoroti potensi bentang alam karst, yakni batuan kapur yang menyimpan cadangan air di Sangkulirang-Mangkulihat yang wacananya akan dimanfaatkan sebagai lokasi pembangunan pabrik semen. Jika benar pabrik semen akan beroperasi di tempat tersebut, maka kerusakan ekosistem lingkungan, pun ketersediaan air akan sangat terancam.

“Bukan hanya hutan, bebatuan, perairan, hingga keindahan alam di sekitarnya yang akan hancur, tapi juga udara segar yang dinikmati penduduk di sana,” timpal Ihsan Hidayat, perwakilan Mapala Plankthons pada kesempatan berikutnya saat menyampaikan orasi.

Bukan hanya orasi yang jadi ‘jualan’ utama dalam rangkaian agenda Aksi Kamisan Kaltim. Pembacaan puisi, lagu-lagu berunsur kritikan ala Iwan Fals, hingga musikalisasi puisi terus dialunkan saat kilau sinar matahari perlahan berubah dari kuning jadi jingga.

Orasi Kunci

Orasi yang dikemukakan Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Pradarma Rupang lebih dalam menjurus ke akar permasalahan. Ia menyatakan, Kaltim hanyalah dianggap limbah pembuangan oleh Jakarta, oleh Pulau Jawa. Hal tersebut sudah terjadi sejak zamanpemerintahan Soeharto hingga sekarang, katanya.

Dalam orasinya, ia juga mengungkapkan bahwa izin tambang, khususnya di Kalimantan jumlahnya sangat luar biasa. Dari sebelas ribu izin tambang di Indonesia, 25 persennya ada di Kalimantan, dan lebih dari 50 persen izin tambang di Kalimantan itu berasal dari Kaltim.

“Saat pertambangan batu bara, justru korban (berguguran akibat lubang tambangnya) adalah anak-anak yang saat ini justru banyak tinggal di kota. Ada 28 korban sampai tahun 2018 ini. Dan terbesar ya berasal dari Samarinda,” tuturnya di atas panggung dengan lantang.

Hening sejenak. Empat detik kemudian, ia melanjutkan kata-katanya. “Ironisnya, pemerintah tidak punya jaminan bahwa korban-korban itu akan berhenti (berguguran).” Saat menyinggung pabrik semen, Rupang menguraikan bahwa informasi yang beredar bahwa saat ini negara sedang defisit semen. Namun realita lainnya justru mengungkapkan bahwa Indonesia mampu menghasilkan 75 ton semen per tahun, yang mana terbesar nomor lima di dunia setelah Cina, India, Amerika Serikat, dan Iran.

“Lantas ke mana nilai sebanyak itu? Indonesia dipaksa untuk memenuhi kebutuhan dunia!” seruaknya. 

Kata Korlap Aksi, Luvi

Lepas Rupang berorasi, panggung diisi dengan penampilan musikalisasi puisi. Selesai itu, usai sudah. Aksi resmi ditutup dengan satu lagu serupa yang tadi juga dinyanyikan saat pembukaan: Darah Juang.

Ditemui Sketsa saat aksi kelar, Luvi selaku korlap aksi menyebut bahwa bentang karst bisa dibilang sebagai cagar budaya yang menyimpan tanda-tanda pra sejarah zaman dulu. Dan bentang karst tersebut bisa dijadikan cagar budaya internasional oleh UNESCO. 

Namun sayangnya, pemerintah hanya mengakomodir sebagian hektare saja dari bentang karst di Sangkulirang-Mangkalihat yang luasnya mencapai 1,8 hektare untuk dilindungi. Kemudian separuhnya yang tidak dilindungi justru dijadikan sebagai tempat eksploitasi tambang seperti tambang pasir, batu bara, dan sekarang ingin pula dijadikan pabrik semen. 

“Dengan kenyataan seperti itu, UNESCO sempat memberikan ultimatum bahwa tidak akan dijadikan cagar budaya jika ada eksploitasi yang dilakukan di sekitar bentang karst,” ucapnya.

Orasi yang dilakukan sore itupun dilakukan bukan hanya untuk menolak dengan tegas pertambangan di Indonesia, khususnya di Kaltim. Namun juga sebagai pernyataan tegas bahwa produksi semen jika direalisasikan, maka akan sangat berpengaruh buruk terhadap masyarakat.

“Kita menolak pabrik semen!” tegas Luvi menyebut tuntutan utama. (aul/ubg/dan/adl)



Kolom Komentar

Share this article