Sosok

Suara Ibu di Tanah Kepulangan

Susiswati Mansyur, ibu dari Monika Putri Wibisono. (Sumber: Istimewa)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA - Telepon itu datang pada malam hari ketika Susiswati Mansyur sedang berada di rumah. Badan dan tempatnya berpijak terkesiap. Sebagai ibu mengetahui kabar bahwa anaknya di tanah rantau sedang dirawat di rumah sakit, segalanya mendadak jadi gaduh.

Susiswati menangis untuk rasa rindu yang dibayar dengan kabar sulungnya yang dirawat inap, padahal tidak pernah sebelumnya. Anaknya sempat berpesan kepada Bude-- kakak perempuan Susiswati yang tinggal di Samarinda-- untuk tidak memberi tahu kabar sakit ini kepada ibunya. Tapi jelas Bude menolak. Susiswati segera mengemas barangnya, meninggalkan rumahnya di Tangerang Selatan, pergi menuju Samarinda, untuk menjenguk langsung Monika, anaknya.

“Kita Orang Tua Ini Khawatir”

Monika Putri Wibisono itu anak dengan pendirian yang keras. Dia enggak bisa berdasar maunya orang tua, dia harus maunya sendiri. Sejak tamat SD, Monika sudah di pesantren dan jauh dari rumah. Dia bahkan sempat kuliah di Bandung, di UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) jurusan Parawisata—selama dua tahun. Tapi, merasa gak cocok dan lebih minat dengan Komunikasi. Saya bilang, kalau begitu harus benar-benar jangan setengah-setengah jalaninnya.

Namanya orang tua itu pasti selalu rindu dan kangen. Kadang kalau di telepon enggak diangkat, di WA enggak dibalas. Mungkin dia lagi sibuk, tapi tetap saya kesal dan khawatir.

Akhirnya saya telepon lagi Budenya buat nanyain Monika.

Kekhawatiran terbesar saya itu dengan anak saya di tanah rantau itu dua: pergaulan dan kesehatan. Pergaulan di Samarinda rasanya kan sudah mirip-mirip dengan Jakarta. Itu saya takut. Saya minta anak-anak supaya tetap menjaga salatnya. Salat jangan ditinggalin itu pesan paling utama. Kalau salat bagus, ke depan semua kegiatan dia pasti ikut bagus. Agama yang akan menjaga dia.

Kesehatan juga utama. Kalau sudah jatuh sakit pasti kita orang tua ini khawatir.

Kejadiannya pertengahan November tahun lalu, Monika terpaksa beristirahat di Rumah Sakit Dirgahayu Samarinda. Susiswati, ibunya sudah datang untuk menemani dan merawat Monika. Kawan-kawannya di Ilmu Komunikasi, Unmul juga banyak yang ikut menjenguk.

Saat itu Monika sudah memasuki perkuliahan semester lima. Sejak jatuh sakit, ia sudah tidak ada muncul lagi di kampus. Monika memaksimalkan waktunya untuk sembuh. Ia mengidap penyakit idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP) di mana autoimun mengalami kelainan yang berdampak kepada trombosit. Kondisi ini menyebabkan tubuh Monika saat itu mudah mengalami memar. Merasa tak kunjung membaik, Susiswati membawa Monika pulang. Selama pulang, Monika sempat dirawat di RSUP Persahabatan dan RS Hermina Tangerang.

“Cepat Selesai, Cepat Pulang”

Dengan sakitnya yang begitu, kuliahnya harus pindah. Karena sakitnya Monika ini membutuhkan waktu penyembuhan yang panjang dan harus ada pengawasan dari dokter. Inginnya saya dia tetap ada dekat dengan orang tuanya. Tapi Monika menolak, dia bilang tinggal berapa tahun lagi kuliahnya akan selesai.

Dia keras dengan itu, saya pun jadi berpikir ulang. Akhirnya setelah konsultasi dengan dokter, dokter bisa meyakinkan saya bahwa Monika bisa sehat-sehat di sana. Saya menyetujui dia untuk lanjut, yang penting dia bertanggung jawab dengan maunya dia.

Sekarang Monika lagi menyusun skripsi. Sedih saya ketika dia ada masalah, misalnya dalam menyusun skripsi, tapi gak bisa ketemu. Saya pasti selalu ngerasa rindu. Maunya semakin cepat Monika lulus berarti semakin bagus.

Cepat selesai, cepat pulang.

Selain Monika yang merantau, Susiswati memiliki dua anak gadis lain yang juga merantau. Winfika Wibisono Putri mengambil kuliah di Fakultas Farmasi Universitas Brawijaya, Vennisa Wibisono Putri berada di Pondok Pesantren Gontor kelas 3—setara kelas 9.

Susiswati mengaku tak pernah punya rencana untuk melepas anak-anaknya berada di tanah rantau. Persoalannya kondisinya telanjur begitu. Vennisa digodok di pesantren agar memiliki bekal agama yang kuat. Winfika diterima lewat jalur undangan di Brawijaya. Sementara Monika keluar dari UPI, pergi ke tanah yang lebih jauh, Unmul untuk belajar komunikasi. Di antara ketiga gadisnya yang paling mudah dijenguk adalah si bungsu Vennisa, sedangkan yang sudah kuliah ini jauh lebih sulit. Susiswati merasa bahwa anak di zaman sekarang sudah jauh berbeda dengan anak di zaman dulu. Anak sekarang mempunyai pilihannya sendiri dan berani bertanggung jawab atas pilihannya. (wal)



Kolom Komentar

Share this article