Nasrullah, dari Aktivis hingga Menulis
Sosok Nasrullah
Sumber Gambar: Istimewa
SKETSA - "Motivasi saya menulis adalah menyebarkan gagasan dan kegelisahan. Dengan menulis, pikiran kita bisa dibaca orang lain. Kata dosen sekaligus guru saya, ‘menulis adalah cara terbaik menyalurkan rasa sakit’. Seperti apa yang dilakukan Anna Frank ketika terkurung oleh kekejaman Nazi Jerman.”
Begitulah filosofi yang digambarkan oleh Nasrullah, salah satu dosen prodi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unmul yang gemar menulis.
Dihubungi Sketsa pada Selasa (14/4) melalui pesan daring WhatsApp, Nasrullah merespons dengan sangat baik dan ramah dilihat dari gaya bahasa yang digunakan saat membalas pesan. Walaupun, kondisi saat itu sedang tidak baik akibat dampak dari pandemi, dia masih berkenan untuk dihubungi.
Nasrullah mulai menceritakan pengalaman hidupnya yang membawanya bisa seperti sekarang. Berawal ketika ia menyelesaikan pendidikan menengah atas pada 2007 yang dihabiskan di Kabupaten Sinjai. Ia pergi bersekolah dengan jarak tempuh 15 Kilometer dari rumah sang Nenek, orang sangat berjasa dalam pembentukan karakternya hingga siap untuk melanjutkan jenjang pendidikan berikutnya.
Ia melanjutkan estafet pendidikannya di salah satu universitas bergengsi di Kota Makassar yaitu Universitas Hasanudin (Unhas) yang ia selesaikan pada 2013 lalu.
Dari rencana studi 7 tahun di mana ia sebut wajib belajar tujuh tahun, akhirnya studi yang di ambil diselesaikannya setahun lebih cepat. Ia mengakui hal itu membuatnya belajar banyak hal dan menimba pengalaman sebanyak-banyaknya adalah kesempatan yang tidak ingin ia lewatkan.
Menurutnya, masa-masa paling indah adalah masa perkuliahan S1 bukan pada masa SMA karena, saat itu Nasrullah banyak menghabiskan waktu dengan kuliah dan berorganisasi.
Ia mengakui, di dua tahun pertama perkuliahan ia fokus kuliah, kemudian dua tahun selanjutnya ia pusatkan dengan kegiatan kemahasiswaan untuk berorganisasi, serta dua tahun terakhir difokuskan untuk menimba pengalaman di luar kampus dan menyelesaikan studi dengan penelitian dan skripsi.
Dari rencana studi S1 awalnya 7 tahun tadi beliau menyelesaikannya lebih cepat atas desakan orang tua dan motivasi keluarga untuk segera lanjut studi. Kemudian pada Agustus 2013 ia dinyatakan lolos seleksi untuk program pasca sarjana di salah satu universitas favorit di Yogyakarta yaitu Universitas Gajah Mada.
Walau tak lagi aktif di organisasi mahasiswa, dia banyak menghabiskan waktu untuk belajar, meneliti, dan sesekali ikut klub-klub diskusi dan kajian keilmuan. Selain itu, ia juga menghadiri forum-forum seminar dan konferensi ilmu pengetahuan mengenai sastra, media, dan kebudayaan. Ia sendiri dapat menyelesaikan jenjang studi S2 dalam jangka waktu 1 tahun 10 bulan dengan gelar Cum Laude pada Oktober 2015.
Awal Karir
Lulus S2, Nasrullah langsung di terima sebagai tim peneliti puskapa Universitas Indonesia (UI) yang bekerjasama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Australia hingga Desember 2015. Kemudian ia mengikuti Taiwan Experience Education Program (TEEP) Winter Camp, di National Chiao Tung University, Hsinchu, Taiwan dengan tema kegiatan mengenai Kajian Budaya (Cultural Studies) di Asia 2016 lalu.
Tak lama sepulang dari Taiwan, Nasrullah diajak oleh pihak fakultas di almamaternya saat S1, Unhas untuk menjadi peneliti muda dan dosen luar biasa (sebutan lain dari dosen honorer atau sukarela).
Ia rela tidak digaji dan menjalani pekerjaan tersebut selama setahun penuh di 2016. Sepanjang 2016, sembari mengajar ia juga meneliti di fakultas yang sama. Selain itu, ia menjadi asisten dosen di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar. Di tahun yang sama ia dipercaya menjadi pengajar di Institut Seni dan Budaya Indonesia Sulawesi Selatan (ISBI SULSEL) pada program studi TV, Film, dan Desain Interior.
Meskipun ia bekerja tanpa digaji, Nasrullah terus bertekad walau hanya berbekal sedikit pengalamannya sebagai dosen dan peneliti selama setahun. Ia memberanikan diri untuk melamar menjadi dosen tetap di kampus negeri dan swasta untuk hanya ingin memiliki Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN) dan demi kepastian status, kemandirian dan hak diupah layak.
“Terhitung lebih sepuluh kampus yang saya kirimi berkas, dan hasilnya tak satupun yang bersedia menerima. Mulai dari kampus ternama hingga kampus yang kurang diminati bahkan nyaris tutup sekalipun, tidak bersedia menerima saya sebagai dosen tetap dengan alasan yang beraneka ragam,” kenangnya.
Tak berhenti sampai disitu dengan doa serta kegigihan yang kuat, akhirnya ia diterima oleh Prodi Sastra Inggris FIB Unmul pada Januari 2017. Sejak 2017-2019, statusnya sebagai Dosen Tetap Non PNS. Targetnya untuk memiliki NIDN akhirnya tercapai. Bahkan, ia diberikan jabatan fungsional sebagai Asisten Ahli, sebagai tangga awal menuju Jabatan Guru Besar bergelar Professor. Ia juga langsung di tetapkan sebagai dosen CPNS di FIB Unmul sebagai langkah awal menjadi dosen PNS tetap.
Karya Tulis
Pria yang sangat dekat dengan mahasiswanya ini juga sangat pandai dalam hal tulis menulis. Keproduktifannya dalam hal tulis menulis juga banyak membuahkan hasil. Berawal dari sering menulis tugas kuliah hingga sering mendapat tugas untuk menulis notulensi dalam rapat-rapat lembaga kemahasiswaan atau organisasi yang di ikutinya.
“Awalnya, kegiatan hanya mencatat dan buat resume/simpulan hasil rapat untuk disampaikan ke lembaga-lembaga dan organisasi terkait. Bentuk tulisannya kadang naratif kadang poin per poin,” ungkapnya.
Selain itu, ia juga terkadang membuat press release dan pernyataan sikap untuk aksi demonstrasi mahasiswa. Dengan alasan tak jago orasi ia mengungkap sangat senang diberikan tugas seperti itu.
Terkadang ia menggandakan selebaran, lalu mengirimnya ke jurnalis dan media-media serta membaginya ke masyarakat untuk di baca. Walaupun pada awalnya hal itu terkesan terpaksa karna tugas organisasi kini dia dapat menikmati dampak positif dari pengalamannya itu.
Ia membeberkan, pada 2013 ia terus mengasah kebiasaan menulisnya ketika ia terjun ke Lingkar Advokasi Mahasiswa (LAM). Organisasi yang juga memiliki media penyalur bakatnya itu.
Di organisasi tersebut ia juga menjadi pimpinan dan kontributor media. Terkadang ia melaporkan kegiatan lapangan dalam bentuk berita. Tulisannya juga banyak ia salurkan melalui opini pada waktu itu.
Kemudian semasa S2 juga ia banyak menulis esai, hingga sekarang bahkan ia menjelaskan bahwa sesekali ia menulis dan membaca puisi sejak menjadi dosen hingga sekarang.
Dari kebiasaannya sering menulis itu, kini ia banyak mencipatakan beberapa buku sebagai bukti bahwa apa yang di lakukannya pada masalalu dapat menghasilkan suatu manfaat.
Diantara beberapa buku yang telah ia luncurkan, salah satu yang menarik perhatian ialah buku ketiganya yang berjudul Budaya dan Media. Karena isi dalam buku tersebut mudah dipahami serta dapat menjadikan mahasiswa dan pembaca umum dapat berdialog melalui buku tersebut tanpa harus bertemu langsung.
Tak hanya mengisahkan terkait pengalamannya dalam hal tulis menulis, ia turut menyampaikan pentingnya literasi karena hal tersebut sangat penting bagi generasi milenial yang kurang minat untuk membaca.
Menurutnya, literasi sebagai pola tidak semata-mata membaca dan menulis saja. Lebih dari itu, literasi adalah aksi membaca hingga praktik mengubah diri dan di luar diri kita.
“Jika literasi diartikan sebagai aksi membaca dan dibaca kepada dan oleh kebudayaan, maka literasi sangat sangat penting. Bahkan, tak berlebihan jika dibilang lebih penting dari emas dan permata bagi yang meyakininya,” tutupnya. (fzn/ann)