Sosok

John Tobing Serta Darah Juang yang Tak Akan Berhenti Dinyanyikan

John Tobing kala menyanyikan Darah Juang di depan simpatisan Aksi Kamisan Kaltim.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA – Terkejut pula John Tobing ketika diberi tahu oleh kawannya di Jakarta. Pada 2010, kejadian tersebut telah berlalu selama 12 tahun. Namun anehnya, belum pernah ia diberi tahu siapa pun tentang fakta yang satu ini.

Kawannya itu bilang lagu yang melodinya dihasilkan dari petikan gitar John, telah ikut menumbangkan rezim otoriter Soeharto pada Mei 1998. Padahal ketika itu ia di Riau, tidak berada dalam barisan massa aksi. Namun, entah bagaimana ceritanya, lagu ciptaan John menjelma sulut yang membakar jiwa massa untuk menuntut Reformasi.

Liriknya memang magis, bahkan hingga hari ini. Lagunya viral di kalangan generasi muda. Dalam massa orientasi kampus, lagu ini adalah lagu yang wajib dihafal oleh para mahasiswa baru. Dalam setiap aksi, lagu ini nyaris tak pernah absen dikumandangkan. Demikian pula dengan sekolah, menurutnya, lagu ini juga harus sudah diajarkan.

John yakin generasi muda yang menyanyikan lagunya pasti tergerak. Sebab ada tugas yang tidak pernah selesai bagi mereka untuk negara ini. Simak saja liriknya:

“Mereka dirampas haknya/tergusur dan lapar/Bunda relakan darah juang kami/untuk membebaskan rakyat.”

“Mereka berjanji darah dan juangnya untuk berjuang. Dia pakai untuk membebaskan ketertindasan dan keterpurukan massa terkecil,” ujar John kepada Sketsa di depan Kantor Gubernur. Usai Aksi Kamisan Kaltim yang memaknai ulang 20 tahun Reformasi (24/5).

Massa terkecil yang dimaksud John ialah mereka yang cuplikan nasibnya diperlihatkan dalam lirik. Tentang anak kurus tak sekolah, desa yang tertindas, mereka yang haknya dirampas, tergusur, lalu lapar saban hari. Lagu Darah Juang mengajak siapa saja untuk terus berjuang, menurut daya masing-masing.

“Saya juga sudah mencoba seperti lagu Darah Juang. Apa pun yang saya lakukan untuk mereka, untuk rakyat,” ujar John.

John mengungkapkan bagian akhir dari larik Darah Juang, sebetulnya tidak selesai hanya dengan “berjanji”. Larik itu hendaknya diperteguh lagi dengan menambahkan kata-kata “berbakti” dan “mengabdi”. Ia tak begitu peduli bila itu terkesan serupa dengan lirik Padamu Negeri ciptaan Kusbini. Di Aksi Kamisan Kaltim, John menyanyikan Darah Juang dengan versi yang seperti itu.

Sejarah penciptaan lagu Darah Juang memang tidak dikerjakan sendirian oleh John. Proses kreatif itu melibatkan kawan-kawan aktivis dari Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (KM UGM). Melodi cikal bakal Darah Juang dibuat oleh John, sedangkan syair ditulis oleh Dadang Juliantara. Budiman Sudjatmiko memberi kritik terlalu banyak kata “Tuhan”. Lebih getirnya ia menyarankan untuk mengganti menjadi “Bunda”.

“Saya bawa ke FKMY (Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta). Ada juga kritik terhadap syair, tapi yang jelas di sana Darah Juang pertama kali dijadikan sebagai judul,” jelas John.

Ia tak ingat pasti kapan bulannya di tahun 1991, tapi yang jelas proses pembuatan lagu Darah Juang tidak memakan waktu sampai satu bulan. John memang kerap mendaku bahwa dalam membuat lagu ia bisa menyelesaikannya dengan cepat.

“Sekarang pun bisa jadi lagu, tapi enggak ada yang ngasih duit,” ujarnya berkelakar.

Dalam beberapa kesempatan diwawancara, John kerap mengatakan kepada media ia sudah membuat banyak lagu. Total ada 600 lagu—300 lagu berhasil tercatat dan 300 sisanya tidak. Sampai sejauh ini John sudah mengeluarkan dua album.

Album pertamanya berjudul Romantika Revolusi berisi 9 judul lagu, termasuk di dalamnya lagu Darah Juang. Album kedua rilis tahun lalu, berkerja sama dengan komunitas musik Sande Monink. Album itu diberi judul Bergeraklah Mahasiswa berisi 10 lagu. Isinya mengisahkan kehidupan mahasiswa Indonesia yang menghadapi beragam tantangan: uang sekolah naik, dosen killer, hingga rektor yang korupsi.

“Saya itu ciptain lagu gampang, bung. Itu ada di dalam kaset (album Bergeraklah Mahasiswa), empat lagu saya bikin satu hari. Memang saya gampang bikin lagu,” katanya.

Kendati John telah banyak membuat lagu, Darah Juang tetap yang paling spesial di musik pergerakan. Lagu ini memiliki semacam magnet yang mampu membuat aksi massa terhimpun menjadi satu. John paham betul soal itu.

Ketika perayaan May Day, 1 Mei lalu, ia datang untuk menyanyikan Darah Juang di depan Istana Merdeka. Berdiri di atas mobil, John menghadap massa aksi yang saat itu ribut masing-masing. Begitu ia mulai melantunkan melodi pertama Darah Juang, massa mulai diam. Melihat John dan ikut bernyanyi bersama.

“Itu saya merinding,” kata John.

Kini 20 tahun setelah rakyat membuat Soeharto lengser dari takhta. Lalu keran demokrasi mulai dibuka dan represivitas tentara berkurang. Namun tetap saja, bagi John, secara umum itu tak menunjukkan sikap bahwa Reformasi saat ini benar-benar ada. Perlakuan negara terhadap masyarakat menyangkut hak politik dan ekonominya, baginya itu yang tak jalan.

“Yang enggak berkuasa, tetap enggak berkuasa. Yang sedikit berkuasa tambah besar kuasanya. Yang enggak punya uang sampai sekarang enggak punya uang. Yang punya uang sampai sekarang makin banyak uangnya,” ucap John.

Bagi John, ironi melagukan “tanah airku”, tapi sebagai rakyat kecil tak pernah mampu memiliki tanah sendiri. Maka untuk itulah, Darah Juang masih relevan di babak Reformasi dan tidak akan berhenti dinyanyikan. (wal/fqh)




Kolom Komentar

Share this article