Resensi

The Batman: Babak Baru dengan Isu Sosial

Konsep segar dan anti mainstream dalam film The Batman

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Cineworld.

SKETSA Tentu banyak yang sudah tak asing dengan karakter Batman. Meskipun bukan berasal dari kalangan penikmat film superhero, orang-orang sudah bisa menggambarkan sosok manusia berkostum kelelawar dengan jubah hitam ketika mendengar kata “Batman”. 

Karakter Batman menjadi dikenal oleh banyak generasi sebab sudah melanglang buana di dunia perfilman sejak era 80-an. Beberapa aktor telah melakoni karakter ini, sebut saja Michael Keaton, Christian Bale, sampai dengan Ben Affleck. Tak hanya lewat film live-action, Batman pun juga hadir melalui film animasi. 

Genap satu dekade setelah trilogi The Dark Knight berakhir, karakter Batman kembali hadir di layar lebar dengan nuansa dan tentunya aktor yang berbeda pula. Film berjudul The Batman yang digarap oleh Matt Reeves ini resmi dirilis pada Rabu (2/3) lalu di seluruh bioskop Indonesia.

Meskipun film bertema Batman sudah berulang kali di-reboot dengan aktor yang berbeda, hal tersebut nyatanya tak membuat animo masyarakat jadi surut. Sebaliknya, ekspektasi penonton kian besar terhadap formula baru seperti apa lagi yang akan sutradara sajikan di dalam film. Bahkan, Matt berjanji akan membawa konsep yang lebih segar agar terkesan berbeda dari film-film sebelumnya. 

Berlatar di kota Gotham, The Batman mengisahkan perjalanan Bruce Wayne (diperankan oleh Robert Pattinson) yang sedang berusaha mencari jati dirinya. Bak kelelawar, ia merubah dirinya menjadi hewan nokturnal yang beraksi setiap malam untuk membasmi tindak kriminal di kota itu.

Di tahun kedua karirnya sebagai manusia kelelawar, dirinya masih terbelenggu dalam bayang-bayang masa lalu yang tragis. Menjadi saksi dari kematian kedua orang tuanya tak lantas membuat dirinya bisa melupakan memori kelam itu begitu saja. 

Kisah tragis dari pemeran utama dibalut pula dengan kegelapan kota Gotham yang berantakan. Tak hanya dipenuhi oleh tindak kriminal dari masyarakat kelas bawah, rupanya kota tersebut juga menyimpan dosa-dosa yang diperbuat oleh petinggi kota. Kasus korupsi sudah bagai budaya yang diwariskan oleh pejabat kota Gotham dari masa ke masa.

Jika di film terdahulu Joker muncul sebagai villain, maka lain cerita dengan film yang satu ini. Kehadiran The Riddler menjadi daya tarik tersendiri dari film The Batman. Tidak seperti penjahat kebanyakan, The Riddler punya cara unik untuk menjalani misinya. Namun bukan tanpa sebab, kehadiran tokoh ini rupanya punya fungsi penting, yakni untuk menguak kebobrokan dari kota Gotham yang selama ini ditutupi.

Tak hanya dibuat tegang dengan aksi perkelahian atau kejar-kejaran antara tokoh protagonis dan antagonis, para penonton juga akan dibuat menerka-nerka dan diajak untuk memecahkan petunjuk. Matt Reeves pun turut menampilkan sisi detektif dari Batman yang kurang dieksplor di film terdahulu. 

Isu Sosial di dalam Film The Batman

Membawakan isu-isu seperti kasus korupsi hingga menyinggung masalah kesenjangan sosial, Matt Reeves dinilai cukup berani untuk mengangkat konsep yang anti mainstream daripada film superhero pada umumnya. Konsep semacam ini mungkin akan terasa berat bagi beberapa orang, apalagi jika mereka menginginkan film laga yang penuh dengan adegan perkelahian di sepanjang film. 

Namun, konsep cerita inilah yang membuat The Batman jadi berbeda dan memiliki daya tarik tersendiri, sebab isu yang dibawakan cukup hangat dan dekat dengan masyarakat. Terlebih, kasus korupsi yang ironisnya masih sering dijumpai dalam kehidupan nyata.

Kesenjangan sosial yang disinggung dalam film ini juga masih terasa erat dengan kehidupan bermasyarakat di masa kini. Tak jarang, gesekan antar kelas atas dan bawah inilah yang memicu terjadinya tindak kriminal seperti yang digambarkan dalam film. 

The Batman boleh dibilang jadi sindiran bagi para oknum pejabat, sebab bukan tidak mungkin suatu kota atau bahkan negara di dunia nyata dapat berevolusi menjadi kota Gotham yang mengerikan jika dipimpin oleh petinggi yang bobrok. 

Nuansa Baru yang Dibawakan oleh Matt Reeves

Adanya formula baru seperti kemunculan The Riddler sudah menjadi bukti bahwa Matt Reeves telah menunaikan janjinya untuk membawakan konsep yang berbeda. Tak hanya berperan sebagai pahlawan, Batman juga merangkap sebagai detektif dadakan untuk memecahkan teka-teki (riddle) sehingga menambah keunikan yang tak akan ditemui di film-film terdahulu.

Bicara soal detektif, Mat Reeves rupanya menjadikan beberapa film garapan David Fincher seperti Se7en (1995) dan Zodiac (2007) sebagai kiblatnya dalam menyutradarai The Batman. Jika kamu sudah menonton kedua film tersebut, kamu pasti akan merasakan atmosfer yang sama ketika menonton film The Batman ini.

Penggambaran kota Gotham yang lebih kelam juga menjadi sisi yang berbeda dalam film ini. Pemilihan color grading dengan warna gelap layaknya film horor semakin memperkuat kesan kelam dan mengerikan dari kota Gotham yang seolah selalu mendung. 

Penonton tidak akan menyadari bahwa mereka sudah duduk di dalam bioskop selama kurang lebih tiga jam lamanya, sebab dibuat kagum oleh sinematografi yang memanjakan mata. Tak lupa, scoring film yang apik turut menambah kesan dramatis dan mencekam dari film ini. 

Soal akting tentu jangan diragukan lagi jika melihat sepak terjang dari para aktor. Robert tentu harus menanggung beban untuk membangun image baru dari karakter Batman. Beruntung, ia berhasil memerankan karakter ikonik itu dengan baik. Sosok Bruce Wayne pun bahkan terlihat berbeda dari film terdahulu. 

Jika sebelumnya kita melihat Bruce Wayne sebagai sosok yang berkarisma, maka lain pula dengan Bruce Wayne versi Pattinson. Lewat film ini, ia digambarkan sebagai seorang anti sosial yang menyimpan banyak trauma dan masih terjebak di dalam masa lalunya yang tragis. Selain itu, ia juga membuktikan bahwa sosok di balik kostum kelelawar itu hanyalah manusia biasa yang punya rasa takut. 

Tak lupa, beberapa tokoh juga menjadi scene stealer seperti Selena Kyle (Catwoman) yang diperankan oleh Zoë Kravitz. Dirinya kemudian bersekutu dengan Batman yang secara tak sengaja ditemui ketika ia sedang beraksi. 

Slow paced movie mungkin jadi musuh bagi sebagian orang. Namun, jangan khawatir. Mengusung konsep slow-burn movie, adrenalin penonton akan mulai terangkat ketika memasuki pertengahan film. Seiring berjalannya film, satu persatu perbuatan bejat dari petinggi kota Gotham mulai terungkap. Kamu pun akan dibuat tegang mendengar suara ledakan bom yang memekakkan telinga, sampai dengan suara decitan ban kendaraan yang saling melaju membelah kota Gotham. 

Meskipun mendapat rating yang cukup tinggi, The Batman tak serta merta lepas dari kritik. Mulai dari karakter Bruce Wayne sampai dengan konsep detektif dari film itu sendiri. Banyak yang menilai bahwa Robert Pattinson kurang cocok dalam membawakan sosok Bruce Wayne yang terlihat berbeda dari versi terdahulu. Tak sampai disitu, ada pula yang berpendapat bahwa konsep detektif dari film ini belum dieksekusi dengan maksimal, sehingga belum bisa dibandingkan dengan film-film bertema serupa, seperti Se7en ataupun Zodiac. 

Terlepas dari kritik yang dilayangkan, The Batman bisa jadi pilihan utama bagi kamu di antara deretan film yang sedang tayang di bioskop. Namun, kamu tak perlu berkecil hati jika tidak sempat menyaksikan lewat layar lebar, karena The Batman akan dirilis secara online melalui platform  HBO Max, bulan April mendatang. Bagaimana, tertarik menikmati nuansa baru The Batman? (dre/nkh)



Kolom Komentar

Share this article