Our Father: Ketika Agama sebagai Justifikasi dan Minimnya Perlindungan untuk Korban Kekerasan Seksual
Our father gambarkan kengerian yang dirasakan korban kekerasan seksual di dunia medis.
- 23 Jun 2022
- Komentar
- 1299 Kali
Sumber Gambar: theasianparent
SKETSA – Bagaimana jika puluhan orang di dunia terlahir dengan silsilah biologis yang sama, dari sperma lelaki yang sama? Dunia seperti apa yang hendak dibuat Donald Cline? Mari berbincang ihwal film dokumenter Netflix yang baru saja tayang pada 11 Mei 2022 lalu.
Film dokumenter dengan durasi 1 jam 37 menit ini menyajikan pendekatan jurnalistik yang dilakukan seorang anak–bernama Jacoba Ballard, ia skeptis terhadap kehadiran dirinya di keluarga. Saat ia mulai mencari tahu dengan melakukan tes DNA, ia mendapati kecocokannya terhadap keluarga Cline.
Usai pencarian panjang, ibunya mulai membuka cerita bahwa sang suami dulunya tak punya cukup kesuburan untuk melakukan penetrasi hingga membuahi sang istri. Maka inseminasi buatan pun ditempuh.
Dokter kesuburan tersohor di Indianapolis, ibukota negara bagian Indiana di Amerika Serikat, bernama Donald Cline (direka ulang dan diperankan oleh Keith Boyle) inilah pelakunya. Kepiawaiannya di bidang fertilitas membuatnya disoroti media. Namun, pencapaian itu punya sisi gelapnya. Tercatat total 94 kasus di mana ia secara ilegal, menyuntikkan spermanya sendiri. Tanpa sepengetahuan pasien, bahkan tanpa izin pasangan yang menantikan buah hati tersebut. Cline melakukan pemerkosaan medis.
Keadilan Bagi Korban
Mirisnya perbuatan Cline dalam rentang 1970 hingga 1980-an itu tak membuat dirinya dipenjara, karena saat itu Indiana tak punya payung hukum yang dapat menyatakan bahwa Cline melakukan tindak kekerasan seksual kepada pasiennya. Di awal pencariannya, Jacoba tak mendapat dukungan oleh jaksa agung setempat, meski sudah melaporkan kasus itu. Membuat dirinya melakukan investigasi sendiri dan meraih atensi dari sesama ‘saudara’ yang dilacaknya melalui The23andMe.
Butuh dua tahun kasus ini diusut, meski tak dapat hasil yang gemilang. Adalah Angela Ganote, seorang jurnalis Fox59 yang juga memiliki kesadaran dan empati bahwa kasus ini layak diusut dan diangkat. Cline, sebagai pelaku, direpresentasikan melalui dokumenter ini sebagai si pendiam, namun punya tendensi untuk berlaku arogan terhadap sesama.
Di suatu waktu, Jacoba dan beberapa ‘saudara’ meminta penjelasan kepada Cline: mengapa inseminasi ini menyalahi prosedur dengan hadirnya 7 anak yang lahir dari program inseminasi yang sama? Namun, Cline tak bergeming. Seolah itu bukan hal yang besar terjadi di dunia kesehatan.
Pada sisi lain, Ganote, yang hendak mengangkat kasus ini bak diancam jika memberitakan kasus tersebut. Singkat cerita, meski dikenakan denda atas kejahatan seksual yang ia lakukan sebagai dokter, hakim tak memutuskan hukuman penjara untuk Cline.
Perkara yang tak sudah-sudah jika membahas sanksi untuk pelaku kekerasan seksual. Minimnya payung hukum, kaburnya deskripsi yang mampu dijelaskan oleh perangkat hukum, hingga bias-bias gender yang disematkan pada pelaku: sebab ia religius, baik, dan lainnya.
Dari kasus itu, diketahui sebanyak 44 dokter kesuburan lainnya, juga memakai spermanya sendiri sebagai donor, dan angka korban terus bertambah. Pada 2018 para korban berhasil meloloskan peraturan perundang-undangan yang menyatakan donor sebagaimana kasus ini, adalah ilegal.
Suka-suka Menerjemahkan Kitab Suci
Melalui dokumenter ini, saya tak sangsi jika harus bilang Cline adalah representasi manusia yang menggunakan agama sebagai dogma, menerjemahkan ‘perkataan’ Tuhan dengan keluguan dan suka-suka, serta menggunakan relasi kuasa ke dalam tindakan kejinya itu.
Tepat di hari Cline diadili pun, sejumlah dukungan dari jaksa, komunitas, dan jemaat gereja berdatangan untuk pelaku kekerasan seksual ini. Pasalnya, Cline sebagai penatua–tokoh di gereja yang ia pimpin, membuat kredibilitasnya tak diragukan oleh sekelilingnya sebab religius. Saya bergidik ngeri sebab membayangkan seperti apa ketika posisi saya menjadi korban, dan mendapati di luar sana ada sejumlah kelompok yang masih tak empati pada penderitaan yang diemban korban.
Korban, baik anak yang dilahirkan, perempuan yang mengandung, hingga suami yang mendukung program inseminasi ini, mengalami dampak psikis maupun fisik. Krisis identitas, trauma, hingga kekecewaan tentu dirasakan. Belum lagi waktu yang mereka kerahkan saat menuntut perlindungan dan keadilan oleh negara.
Terlebih, sperma yang sepatutnya ialah milik suami sah, ataupun pendonor, haruslah berkualitas baik. Namun, Cline dengan percaya dirinya menganggap sperma miliknya mampu melahirkan ‘bibit-bibit unggul’. Omong kosong, pasalnya, Cline menurunkan genetik dengan autoimun. Di mana ke-94 korban itu, banyak yang juga memiliki riwayat kesehatan sebagaimana Cline.
Pada dokumenter ini, potongan surat Yeremia 1 ayat 5 kerap diulang. Coba menggambarkan bagaimana Cline mengistimewakan surat tersebut. Hal itu digadang-gadang menjadi pendorong bagi Cline melakukan aksinya. Ia berdalih tak ada kelahiran yang sia-sia di dunia ini. Sesaat saya menontonnya, langsung teringat buku Tuhan Ada di Hatimu karya Husein Ja’far Al-Hadar.
Dalam buku itu, ia menjelaskan bahwa penting sekali belajar cara berpikir yang benar agar tak keliru dan seenak hati dalam menafsirkan ayat dari kitab suci, terlepas dari agama apapun yang dianut. Bagi saya, itu adalah salah satu kendali yang dapat dilakukan untuk memerangi kebodohan atau kekeliruan cara berpikir, yang kerap dilakukan pemeluk agama dengan narasi-narasi sempit keagamaan dan keberagaman.
Mirisnya, tak dimungkiri bahwa terdapat preferensi individu terhadap tokoh religius, sebab sosoknya dinilai dapat membawa kebaikan, perlindungan, dan keuntungan. Cline dan komunitas yang mendukungnya itu, adalah realitas yang sampai kini kita hadapi dalam berbagai bentuk: ustaz yang memerkosa santrinya, pejabat yang korupsi, dan aparat yang membuat kekasihnya bunuh diri karena enggan menikahi. Akan selalu ada saja orang yang ‘mengasihani’ tanpa berperspektif korban.
Akan selalu ada bias gender, baik yang diamplifikasi media sosial atau bukan. Sehingga menyebabkan aturan-aturan dan pandangan yang diskriminatif. Implikasinya, mereka yang rentan, tak dilirik sedemikian berharganya dengan mereka yang telah dielu-elukan atas dasar ‘paham agama’ ‘saleh’ dan lainnya.
Tertarik menonton film dokumenter ini? Bagi kamu yang memiliki trauma, saya menyarankan untuk lebih hati-hati dalam menonton sebab dapat menimbulkan trigger. (rst/nkh)