Resensi

Menelisik Kehidupan Masyarakat Kelas Bawah Lewat Film Pangku

Pangku memotret kehidupan kelas bawah dengan sunyi, jujur, dan penuh detail kecil yang berarti

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Instagram @filmpangku

SKETSA - Film perdana sutradara anyar, Reza Rahardian berjudul Pangku naik layar sejak Senin (6/11) kemarin. Mengangkat kisah seorang perempuan yang bekerja sebagai penjual kopi di warung pinggir jalan, film ini sukses menggambarkan realitas kehidupan masyarakat kelas bawah.

Berdurasi satu jam empat puluh menit, film ini diperankan oleh Claresta Taufan sebagai Sartika. Bekerja sebagai perempuan penjaja kopi jalanan, Sartika jatuh cinta dengan Hadi yang diperankan oleh Fedi Nuril.

Sebagai sopir angkutan ikan, Hadi kerap mampir di warung kopi untuk beristirahat. Seiring waktu, keduanya menjalin cinta dan membangun sebuah keluarga. Sayangnya, kehidupan bahagia Sartika tidak bertahan lama.

Penggambaran Realita
Kental dengan isu sosial, film ini menyampaikan realitas melalui suara-suara alami. Penggunaan lagu Nadin Amizah berjudul Rayuan Perempuan Gila jarang diperdengarkan. Penonton lebih sering disuguhi suara angin berdesir, suara hewan, suara kendaraan, dan lainnya.

Reza Rahardian menggunakan suara-suara alami untuk menunjukkan pada penonton sebagaimana adanya. Hampir di tiap adegan, penonton dipaksa menikmati kesunyian, sebab tidak adanya instrumen.

Detail Kecil
Selain itu, detail-detail kecil tak luput dari perhatian sutradara. Tiap adegan memiliki makna sebagai pendukung cerita. Tak terkecuali adegan Bayu (diperankan Shakeel Fauzi), anak Sartika saat main layangan.

Adegan menerbangkan layangan tersebut muncul beberapa kali. Pemilihan adegan ini dapat dimaknai sebagai kehidupan Bayu yang penuh dinamika. Sepanjang film, tindakan yang ditunjukkan pemain memperkuat jalan cerita dan tidak berakhir sia-sia.

Latar Pendukung
Sementara itu, film ini juga menggunakan latar tempat Kampung Nelayan dan menyoroti kehidupan masyarakat pesisir. Berlatar waktu antara 1997 hingga awal 2000-an, masyarakat pada saat itu harus berjuang melawan krisis ekonomi.

Perjuangan para pemain diperlihatkan melalui penggambaran karakter, kostum, hingga tata rias yang digunakan. Penggambaran yang pas dengan realita ini seolah mengajak penonton mencium bau matahari yang menyeruak dari badan.

Pemilihan isu sosial kelas bawah di film ini mengajak penonton melihat realita. Kehidupan masyarakat di lingkup tersebut erat dengan perjuangan dan penderitaan. Posisi perempuan juga kerap dianggap sebagai objek pemuas, baik di kalangan atas maupun di kalangan masyarakat biasa.

Reza Rahardian, sebagai sutradara mampu mengemas kehidupan tokoh selaras dengan kenyataan di masyarakat. Hingga ending, tidak ada pemaksaan alur untuk sesuai dengan harapan penonton, tetapi benar-benar berjalan apa adanya. (mlt)



Kolom Komentar

Share this article