Resensi

Killers of the Flower Moon: Ketika Si Kulit Putih Menjelma Menjadi Serigala Berbulu Domba di Tanah Osage

Pembantaian masyarakat suku Osage melalui film Killers of The Flower Moon

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Website Apple TV+

SKETSA — Pernahkah kamu mendengar peristiwa pembunuhan berantai Suku Osage beberapa dekade lalu? Lewat Killers of the Flower Moon, Martin Scorsese mengajak kita untuk kembali ke masa lalu. Menilik sejarah kelam yang menimpa suku asli Amerika itu. Kala tanah tempat bunga bulan tumbuh subur, namun dalam sekejap, warnanya berubah menjadi merah sebab bersimbah darah. Seperti apa kisahnya?

Diangkat dari kisah nyata, Killers of the Flower Moon merupakan adaptasi dari novel terbitan tahun 2017 bertajuk Killers of the Flower Moon: The Osage Murders and the Birth of the FBI karya David Grann. 

Berlatar di tahun 1920-an, Killers of the Flower Moon bercerita soal tragedi pembunuhan berantai Suku Osage. Mereka adalah suku asli Amerika yang berdiam di Oklahoma. Kala itu, Suku Osage bahkan disebut-sebut sebagai suku terkaya di dunia berkat sumber daya minyaknya yang melimpah.

Siapa sangka, kekayaan itu jadi bumerang bagi mereka. Mendengar hal tersebut, orang kulit putih yang tergiur lantas berbondong-bondong pergi dan ikut bermukim di sana. Beberapa dari mereka bahkan menikah, termasuk Ernest Burkhart (diperankan oleh Leonardo DiCaprio) dengan warga asli Osage. Baru sebentar dirinya tiba di sana, ia sudah menikahi Mollie Kyle (diperankan oleh Lily Gladstone) yang pertama kali ia temui ketika mengantarkan gadis itu pulang. Tujuannya jelas, untuk mendapat royalti dari produksi minyak tersebut.

Meskipun pada akhirnya Ernest betul-betul jatuh cinta pada istrinya, bagaimanapun juga, ia harus kembali ke motif awal dari pernikahannya. Tak hanya harus menikahi Mollie. Atas perintah dari pamannya, William King Hale (diperankan oleh Robert De Niro), Ernest harus menyingkirkan saudara beserta keluarganya agar hak tanah keluarga Mollie sepenuhnya jatuh ke tangannya.

Setelah membangun relasi dengan Suku Osage, dirinya pun mulai merampas harta warga Osage dengan cara yang sadis. Seluruh rencananya tersusun dengan rapi hingga membuat tragedi pembunuhan di sana menjadi misterius. 

Sudah banyak nyawa yang melayang, tak terhingga pula berapa kepala yang telah bersimbah darah. Tak hanya menyasar ke sanak famili Mollie, sejumlah masyarakat pun ikut jadi target dari predator berkulit putih yang ‘mata duitan’ itu. Dibantu oleh pembunuh bayaran, Ernest dan Hale berhasil menjalankan misinya untuk menghabisi nyawa mangsanya. 

Killers of the Flower Moon didedikasikan untuk mengenang peristiwa tragis tersebut, serta jadi ajang untuk menyuarakan keadilan atas kelompok masyarakat rentan yang telah dicurangi. Secara cerdas Martin Scorsese gambarkan bagaimana liciknya orang kulit putih meraup harta Suku Osage tanpa ampun layaknya serigala berbulu domba. Tiga setengah jam ia manfaatkan dengan baik untuk menceritakan tragedi itu dengan padat dan mendalam. 

Dengan durasi sepanjang itu, Killers of the Flower tidak bercerita secara bertele-tele, tetapi sesuai dengan porsi yang cukup. Konflik dipaparkan secara detail dan perlahan dari berbagai sudut pandang. Saya sendiri tak merasa lelah untuk mengikuti alur ceritanya karena diceritakan dengan cukup sederhana.

Secara perlahan, konflik dalam Killers of the Flower Moon semakin memanas. Tiap menitnya, kita akan semakin dibuat kesal dengan aksi bejat apa lagi yang akan dilakukan oleh sang antagonis. 

Nuansa western begitu terasa meskipun tak ada adegan koboi yang menaiki kuda sembari mengejar penjahat layaknya film western yang berlatar di Texas. Suasana tahun 20-an turut divisualisasikan dengan apik dan detail, seperti bentuk rumah dan pemukiman warga serta pakaian yang mereka kenakan. Film Scoring dengan nuansa western dan color grading-nya pun sangat pas untuk menggambarkan suasana latar waktu dan tempat kala itu.

Penggambaran Suku Osage juga disuguhkan dengan baik, seperti penggunaan aksesoris khas hingga dialog dengan menggunakan bahasa asli mereka. Adapun beberapa dialog berbahasa Indian yang tak diberikan terjemahan. Meskipun begitu, lewat mata dan wajah mereka yang ikut bercerita, kita dapat menangkap maksud dan emosi yang ingin mereka sampaikan.

Killers of the Flower Moon merupakan pertunjukan luar biasa dari sejarah kelam masa lalu. Lewat akting dari aktor dan aktris yang memukau, mereka berhasil mengajak penonton untuk ikut merasakan emosi mereka. Tiga setengah jam yang seharusnya terasa lama pun bukan jadi masalah. Tetapi, saya tak bisa menjamin apakah semua orang bisa menerima film seperti ini. Terlebih, Killers of the Flower bertempo lambat.

Saya pribadi sangat mengapresiasi Martin Scorsese yang vokal mengungkap kebejatan orang sebangsanya sendiri. Ironisnya, tragedi pembunuhan berantai Suku Osage tampaknya kerap terlupa di masa kini. Tentu masih banyak yang awam soal tragedi ini, termasuk saya sendiri. Lewat Killers of the Flower Moon, Martin berhasil menyuapi kita sebagai orang awam dengan sejarah pembunuhan berantai Suku Osage secara elegan. (dre/ems)



Kolom Komentar

Share this article