Mei: Sebuah Memoar
Sebuah puisi yang ditulis oleh Jamiah, mahasiswi Fakultas Pertanian 2015. (Sumber ilustrasi: istimewa)
Ada hati tersayat kata kala itu
Merenung sejarah yang berdarah
Mereka bilang: Mei adalah muaranya
Tempat segala kisah heroik mengudara sampai hari ini
Mei,
Aku lihat, ribuan massa memadati relungmu di antara kepulnya debu dan panasnya aspal jalanan
Aku dengar, lagi, bahkan ibu-ibu buruh pun berteriak menuntut keadilan
Ah Mei, mereka ingat Marsinah tidak?
Semoga tidak sekadar jadi dongeng menidurkan yang berlalu bersama waktu
Mei,
Aku juga rasa, wajah pendidikan negeri ini tak lagi menarik
Terlalu banyak silikon tersuntik di wajahnya
Atau mungkin, operasi plastik oleh dokter-dokteran yang lahir dari hasil suap?
Pantas! Ku lihat belatung mulai tumbuh diantaranya
Mei,
Aku yakin bukan hanya aku yang mencintai negeri indah ini
Aku haru, kau pasti tahu Mei
Muda-mudi kita lebih suka jadi apatis
Lebih nyaman hidup hedonis
Aku yakin Mei! Itu buka sifat asli mereka
Sebab berpuluh tahun lalu
Masih di bulan Mei
Muda-mudi kita tak ubahnya seperti batang lidi yang bersatu
Kokoh dan siap menyapu segala yang batil dan tak adil
Hingga kebangkitan nasional pun lahir
Mei,
Terima kasih sudah jadi memoar
Setidaknya jadi alarm bagi kita yang masih terlelap
Ditulis oleh Jamiah, mahasiswi Fakultas Pertanian 2015.