Opini

RUU Praktik Psikologi: Legalitas dan Payung Hukum Psikologi Serta Problematika yang Belum Terjawab

Opini tentang RUU Praktik Psikologi.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Vecteezy

Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), pada (23/3) lalu resmi mengumumkan 33 daftar Rancangan Undang-Undang (RUU) yang termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Termasuk di dalamnya adalah RUU Praktik Psikologi.

Secara perkembangannya, RUU ini diajukan sejak 2007 dan termasuk dalam prolegnas prioritas pada tahun 2020, namun tak kunjung disahkan. Penyusunan RUU ini menurut penjelasan umum, bahwa RUU Praktik Psikologi didasari oleh keperluan pembangunan nasional yang perlu didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas dan kompeten di bidangnya.

Peranan tenaga psikologi sangat penting untuk menentukan seseorang sesuai dengan bakat, kemampuan, dan kepribadiannya. Maka karenanya dibutuhkan peraturan perundang-undangan setingkat Undang-Undang (UU) yang dimaksudkan agar ada kepastian dan perlindungan hukum kepada semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan praktik psikologi.

Kemudian, maraknya fenomena penyalahgunaan disiplin ilmu psikologi oleh oknum-oknum tanpa kualifikasi pendidikan, kompetensi, dan pengalaman tertentu yang merugikan masyarakat sehingga menimbulkan keresahan.

Dengan perkembangan ilmu psikologi yang semakin luas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat baik secara individu maupun kelompok mulai dari kualitas tenaga psikologi, kepastian standar layanan psikologi dan kesadaran masyarakat tentang ilmu psikologi sehingga dibutuhkan kepastian perlindungan hukum kepada seluruh pihak pengguna dan penyedia jasa layanan psikologi.

Berkaitan dengan hal tersebut, sepanjang 2020-2021 berbagai diskusi publik pun diselenggarakan oleh lembaga sosial, akademisi, maupun organisasi-organisasi yang berlatar belakang psikologi untuk mengkaji dan membahas isi dari RUU ini. Hasilnya, tentu sudah dapat diprediksi akan timbul berbagai pandangan pro dan kontra.

Empat pembahasan inti pada naskah akademik RUU Praktik Psikologi akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini diantaranya adalah tenaga psikologi, layanan praktik psikologi, pendidikan psikologi dan organisasi profesi.

Tenaga psikologi diatur dalam Pasal 1 Ayat 4, Pasal 5 dan Pasal 6 RUU Praktik psikologi. Namun sangat disayangkan, pada pasal-pasal terkait tidak terdapat uraian batasan-batasan kewenangan layanan praktik psikologi antara psikolog praktik dengan keahlian khusus, psikolog, asisten psikolog, dan praktisi psikologi.

Tenaga psikologi yang dibagi menjadi beberapa bidang diantaranya pendidikan, perkembangan dan keluarga, industri dan organisasi, klinis dan kesehatan, sosial dan komunitas, hukum, olahraga serta militer dan kepolisian (Pasal 7 Ayat 2) tentu memiliki kompetensi dan kewenangan yang berbeda. Dijelaskan pada Pasal 7 Ayat 4, “Bahwa kewenangan layanan praktik psikologi ditetapkan oleh organisasi profesi (HIMPSI) dapat terlihat”.

Kemudian, batasan kewenangan tersebut seharusnya juga dipertimbangkan atas tinjauan pemerintah yaitu Kementerian yang menaungi praktik psikologi. Hal itu bertujuan sebagai pengawasan dan perlunya tinjauan konkrit yang menyeluruh terkait wewenang layanan praktik dengan tenaga psikologi yang didasari kompetensi pihak terkait.

Jika batas kewenangan tersebut ditentukan oleh Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) yang merupakan lembaga mandiri, maka uraian batasan-batasan kewenangan tersebut juga perlu dijabarkan dalam RUU Praktik Psikologi. Hal itu agar dapat dijaga objektivitasnya dan diketahui oleh masyarakat umum yang membutuhkan layanan praktik psikologi serta menghindari penyalahgunaan ilmu psikologi oleh oknum-oknum tertentu.

Layanan praktik psikologi diuraikan pada Pasal 7 ayat 1 RUU Praktik Psikologi huruf (a) hingga (k), yang kemudian dijabarkan pada Pasal 8 hingga Pasal 20 ayat 3. Pada naskah akademik RUU Praktik psikologi dijelaskan secara terperinci mengenai layanan-layanan praktik psikologi dari berbagai bidang yang disebutkan pada Pasal 7 ayat 2, namun terdapat beberapa redaksi yang dinilai memiliki makna yang rancu.

Misalnya dalam redaksi “lainnya” pada Pasal 8 ayat 2 yang memberikan kesan abu-abu mengenai alat asesmen psikologi yang dapat digunakan secara legal, sehingga memberi peluang penyalahgunaan alat asesmen psikologi ilegal oleh oknum tertentu sebagai bentuk keabu-abuan kata “lainnya”.

Redaksi “lainnya” juga terdapat pada Pasal 9 ayat (2) yang menjabarkan fungsi psikologis, padahal fungsi psikologis seperti kepribadian, kognitif, motivasi dan lainnya. Tidak perlu diatur atau disebutkan dalam peraturan perundangan-undangan, karena justru penambahan kata “lainnya” pada akhir redaksi memberi kesan ambigu pada pasal tersebut.

Kata “lainnya” pada pembuatan keputusan hasil evaluasi psikologi (Pasal 9 ayat 3) perlu diatur lebih lanjut guna menguraikan fungsi dan kegunaan hasil evaluasi psikologi. Hal itu juga untuk menghindari penyalahartian kata “lainnya” yang berisiko memunculkan permasalahan baru terkait penyalahgunaan hasil evaluasi psikologi.

Selain itu, redaksi “mandiri dan bersama-sama” pada Pasal 7 ayat 5 perlu diberikan batasan wewenang tenaga psikologi yang dapat melaksanakannya, tidak terbatas pada kuantitas pelaksananya. Kemudian, Pada pasal 20 ayat 3 tentang standar layanan praktik psikologi disebutkan bahwa “Standar layanan praktik psikologi ditetapkan oleh organisasi profesi”.

Apabila RUU ini diharapkan menjadi payung hukum yang legal, standar layanan praktik psikologi seharusnya perlu diatur dalam RUU ini secara terbuka dengan mempertimbangkan usulan ahli hukum, praktisi psikologi, dan akademisi psikologi. Karena, standar layanan praktik merupakan salah satu komponen penting yang juga akan bersinggungan dengan pengguna layanan, sehingga tidak serta merta diatur oleh organisasi profesi secara mutlak tanpa diuraikan pada peraturan perundang-undangan yang nantinya akan berlaku.

Pendidikan psikologi kemudian dibahas pada Pasal 21 dan Pasal 22 RUU Praktik Psikologi. Namun, terdapat redaksi yang memberikan kesan ambigu yaitu Pasal 21 ayat 2 bahwa “Standar kompetensi psikologi ditetapkan oleh organisasi profesi”.

Di Indonesia, terdapat berbagai kualitas pendidikan psikologi pada perguruan tinggi, sehingga perlu dilakukan standar kompetensi lebih lanjut bagi pihak yang ingin melakukan praktik psikologi. Hal itu guna menjaga kualitas tenaga psikologi, namun tentu standar kompetensi tersebut perlu dibahas secara lebih lanjut dalam RUU Praktik Psikologi ini, sehingga tidak terikat pada organisasi profesi HIMPSI saja. Meskipun penyelenggara uji kompetensi psikologi tersebut merupakan organisasi profesi HIMPSI.

Kemudian, jenjang pendidikan psikologi telah diuraikan pada Pasal 22 ayat 1 sampai 13. Standar pendidikan psikologi beserta kewenangannya diatur lebih lanjut pada Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU DIKTI) dan Kode Etik Psikologi Indonesia.

Organisasi profesi menurut Pasal 1 ayat 11 adalah “Himpunan Psikologi Indonesia, selanjutnya disebut HIMPSI sebagai wadah berhimpun Tenaga Psikologi, berbentuk badan hukum, dan menyelenggarakan Praktik Psikologi di Indonesia.” Peraturan terkait kedudukan, fungsi, tujuan, wewenang, dan susunan organisasi serta keanggotaan secara lebih lanjut diatur pada Pasal 45 sampai Pasal 54 RUU Praktik Psikologi.

HIMPSI yang sudah berdiri sejak 1959 dengan nama terdahulu ISPsi ini memiliki wewenang yang secara rinci terurai pada RUU Praktik Psikologi. Sebelum adanya RUU Praktik Psikologi, HIMPSI memiliki tugas dan wewenang secara menyeluruh dalam layanan praktik psikologi. Mulai dari standar pelayanan, prosedur, hingga yang bersifat pelanggaran pada praktik psikologi di Indonesia.

Namun, dengan adanya RUU Praktik Psikologi yang secara latar belakang disusun untuk perlindungan hukum yang legal dan mencegah penyalahgunaan disiplin ilmu psikologi. Kemudian, Undang-Undang ini diharapkan menjadi landasan hukum yang berkeadilan guna memenuhi layanan praktik psikologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga terkait tugas dan kewenangan organisasi profesi yang mutlak perlu diatur secara lebih lanjut agar lebih proporsional.

Masuknya RUU Praktik Psikologi pada Prolegnas Prioritas 2021 yang termasuk dalam usulan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum bagi tenaga psikologi dan pengguna layanan psikologi. Sehingga layanan psikologi tidak terbatas pada konteks gangguan mental melainkan seluruh komponen dari fenomena manusia.

RUU Praktik psikologi dapat menjadi perlindungan hukum dalam mencegah penyalahgunaan ilmu psikologi oleh orang tanpa kualifikasi pendidikan, kompetensi, dan pengalaman tertentu yang melakukan praktik psikologi di masyarakat. Maraknya buku-buku tes psikotes yang tersebar luas padahal tidak dapat dipastikan kompetensi penyusunnya, penggunaan alat tes psikologi tidak pada bidangnya, hingga kesalahpahaman kajian ilmu psikologi yang dipercaya masyarakat, tentu perlu diluruskan dan diatur secara hukum negara.

Kasus-kasus malpraktik dan penyalahgunaan wewenang tenaga psikologi terhadap klien juga membutuhkan payung hukum yang legal untuk menjaga hak-hak pengguna layanan psikologi. Terlebih, layanan psikologi yang menjadi kebutuhan penting masyarakat saat ini di masa pandemi untuk menjaga kesehatan mental perlu dilindungi dan didukung pemerintah.

Berbagai problematika yang ada tidak dapat serta merta menjadi alasan utama pengesahan RUU Praktik Psikolog, jika RUU tersebut masih tidak dapat menjawab kebutuhan akan praktik psikologi. Penulis yang bukan merupakan ahli hukum ataupun praktisi psikologi ini meninjau dari segi kebutuhan dan upaya yang saat ini sedang dilaksanakan sepanjang proses penyusunan RUU Praktik Psikolog.

Perlindungan dan legalitas hukum sangat dibutuhkan, namun alasan tersebut tetap harus diimbangi dengan kebutuhan masyarakat dan menjawab keresahan masyarakat akan praktik psikologi dan juga menghindari risiko problematika baru yang kemungkinan akan muncul setelahnya.

Ditulis oleh Tsamara Khaerunisa, Kader Himpunan Mahasiswa Psikologi FISIP Unmul.



Kolom Komentar

Share this article