Opini

Refleksi Budaya Baca di Indonesia

Minat membaca di Indonesia tergolong sangat rendah. Belum lagi fasilitas pendukung yang juga kurang layak. (Sumber foto: istimewa)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA - Kewajiban pemerintah selaku penyelenggara pendidikan ialah menjamin setiap masyarakat terkhusus generasi muda agar mempunyai kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu, terlepas dari latar belakang ekonomi dan sosial setiap masyarakat. Timbal baliknya, populasi masyarakat yang hanya terdiri dari orang-orang pintar dan terampil jelas merupakan aset berharga bagi negara.

Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) melakukan berbagai program guna meningkatkan minat baca masyarakat dan generasi muda. Tahun 2016, Badan Bahasa Kemdikbud telah mengirimkan 263 buku cerita yang dinilai oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan sebagai bahan bacaan, untuk mendukung penumbuhan budi pekerti bagi peserta didik lewat budaya literasi.

Buku cerita tersebut ditujukan khususnya bagi siswa sekolah dasar agar sejak dini mereka gemar membaca. Gerakan ini berfungsi meningkatkan budaya literasi, karena dalam beberapa survei lembaga internasional, budaya baca Indonesia amat memprihatinkan. Pada tahun 2016, Indonesia menempati urutan ke-60 dari 61 negara, satu tingkat di atas Botswana.

Gerakan Kemdikbud patut kita apresiasi. Namun,  kita harus pahami menumbuhkan minat baca di kalangan masyarakat bukanlah perkara mudah. Kebiasaan itu hadir akibat dibentuk dari lingkungan. Orang-orang yang tidak mendapatkan kebiasaan membaca dari keluarga dan pergaulannya tentu hanya dapat mengharapkan sekolah perkenalkan kebiasaan membaca kepada mereka. Itu sulit.

Harus ada keterlibatan aktif dari lingkungan sekitar, terkhusus lingkungan keluarga. Budaya membaca buku di lingkungan keluarga adalah alasan masyarakat di negara-negara maju amat terdidik. Bandingkan saja dengan negara-negara berkembang, rendahnya kualitas pendidikan dipengaruhi oleh minimnya dukungan lingkungan keluarga terhadap budaya membaca, termasuk di Indonesia.


Sistem Pendidikan Negara Maju

Sekarang mari kita tengok pengelolaan pendidikan di salah satu negara Eropa, Finlandia. Negara yang berlokasi di bagian Utara Eropa ini sadar betul akan pentingnya pendidikan. J.V. Snellman, seorang negarawan Finlandia abad ke-19, pernah mengatakan bahwa pendidikan ialah jaminan keamanan. Dan ia benar. Pada paruh kedua 1900-an, Finlandia menjadi salah satu negara termakmur di dunia.

Hal itu terjadi berkat investasi serius pemerintah Finlandia di bidang pendidikan. Hampir tidak ada kesenjangan mutu antar sekolah di negara itu. Bagusnya mutu antar sekolah di Finlandia inilah yang memudahkan pemerintah setempat untuk menyebarkan sistem pendidikan, termasuk mengarahkan masyarakat Finlandia untuk belajar melalui sang jendela dunia: buku.

Soal lain yang tak kalah penting ialah kemudahan akses terhadap buku-buku, dan Finlandia sekali lagi menjadi contoh yang baik. Di negara itu, lebih dari 20 juta buku terjual setiap tahun. Jumlah itu bahkan lebih banyak dari populasi seluruh pendidik Finlandia yang hanya sekitar 5 juta orang. Jika dikalkulasi secara matematis, rata-rata orang Finlandia, termasuk anak-anak, membeli empat buku setahun. Wow!

Bagaimana dengan orang-orang yang tak sanggup membeli buku? Finlandia mempunyai 300-an perpustakaan besar, 500-an perpustakaan cabang, dan perpustakaan keliling yang saling terkoneksi dalam sistem bagi daerah-daerah berpenduduk jarang. Perpustakaan itu relatif populer. Sekitar 40 persen warga Finlandia aktif memanfaatkan fasilitas tersebut. Wajarlah masyarakat Finlandia amat terdidik.

Negara-negara yang mutu pendidikannya baik juga menetapkan daftar bacaan wajib di sekolah. Di Amerika Serikat, misalnya, murid-murid sekolah menengah membaca novel To Kill a Mockingbird. Para pelajar di Iran diwajibkan membaca puisi-puisi karya Hafiz, Ferdowsi, Rumi, dan Omar Khayyam, dan di Finlandia, murid-murid sekolah membaca novel Seitseman Veljesta atau Seven Brothers.


Terbang Pulang Menuju Indonesia

Sekarang kita tengok, bagaimana jumlah dan kondisi perpustakaan sebagai sarana pendukung minat baca masyarakat dan generasi muda? Dari total 134.718 perpustakaan sekolah se-Indonesia, 6.691 di antaranya tergolong rusak sedang dan 11.299 rusak berat. Jika fasilitas penunjang rusak dan tidak nyaman untuk membaca, apakah masyarakat dan generasi muda tertarik datang ke perpustakaan?

Menurut laporan Perpustakaan Nasional, ada 1,49 juta perpustakaan di seluruh Indonesia, tetapi hanya 149 ribu atau sekitar 9,97 persen di antaranya yang mendapat bantuan infrastruktur atau koreksi dari pemerintah. Adapula laporan tahun 2015, Perpustakaan Nasional melakukan survei di 12 provinsi dan 38 kabupaten/kota untuk mengetahui minat baca masyarakat Indonesia.

Dan tahukah Anda bagaimana hasil temuannya? Ternyata 90 persen penduduk Indonesia justru gemar menonton televisi dan tidak suka membaca. Survei ini dikatakan langsung oleh Kepala Kantor Perpustakaan Nasional Sri Sularsih dalam acara Safari Gerakan Nasional Gemar Membaca di Yogyakarta, 15 Oktober 2015. Setahun kemudian di 2016, Kemdikbud menggagas lagi Gerakan Literasi Sekolah (GLS).

GLS hadir untuk memperkenalkan kebiasaan membaca kepada para pelajar. Menurut buku panduan GLS tingkat sekolah menengah pertama, ada tiga jenjang yang perlu ditempuh sekolah-sekolah untuk menumbuhkan kebiasaan membaca siswa, yaitu pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran. Namun, alih-alih peningkatan kualitas, kenaikan jenjang berarti peningkatan keruwetan kegiatan.

Pada tahap pembiasaan, misalnya, setiap hari para siswa ditugaskan membaca buku-buku pilihan guru dan orang tua selam 15 menit sebelum jam pelajaran pertama. Pertanyaannya, apakah guru dan orang tua punya kompetensi menentukan buku bacaan? Sebagian besar tentu tidak. Adalagi program kuis membaca dan memilih duta literasi guna menyemangati kawan-kawannya agar giat membaca.

Dengan kegiatan literasi sekolah yang lebih mirip kampanye imunisasi itu, wajar jika para pelajar Indonesia pada umumnya berkemampuan rendah dalam mencerna teks buku, kemudian tidak sanggup berpikir logis, lemah secara akademik, dan tumbuh menjadi tenaga kerja murah bagi perkebunan sawit dan penambangan milik para pemodal besar. Itulah buah dari pendidikan Indonesia setiap tahunnya.

Kalau kita banding, pengembangan minat baca di berbagai negara maju dilandasi pembangunan infrastruktur untuk penyebarluasan dan kemudahan penyediaan buku. Sedangkan negara berkembang, termasuk Indonesia malah berfokus untuk pembenahan sistem--ya kurikulum salah satunya. Padahal menambah sama saja membuat sistem kian rumit, karena perlu waktu adaptasi lagi sengan sistem baru.

Jika arah minat baca difokuskan untuk membangun infrastruktur dan kemudahan penyediaan buka, meskipun tentu biaya pembangunan infrastruktur itu mahal, namun itulah harga sepadan yang harus dikeluarkan untuk mencerdaskan masyarakat dan generasi muda. Angka 20 persen untuk pendidikan dari APBN harusnya bisa diarahkan ke infrastruktur, jangan sampai masuk ke kantong elit politik lagi! (dan/wal)



Kolom Komentar

Share this article