Opini

Manusia yang Kalah oleh Sampahnya Sendiri

Sampah plastik menumpuk dan kembali mencemari manusia karena pengelolaan dan kesadaran yang masih lemah

Sumber Gambar: Pexels

Sampah pernah dianggap sebagai masalah kecil yang bisa dibersihkan kapan saja. Namun kini, justru manusialah yang kesulitan membersihkan diri dari sampah yang diciptakannya sendiri. Di banyak kota besar Indonesia, tumpukan sampah bukan lagi pemandangan aneh. Sungai yang dulu jernih kini berubah menjadi aliran limbah plastik, dan udara yang seharusnya segar kini penuh polusi. Ironisnya, semua itu berawal dari kebiasaan kecil manusia yang menganggap sepele sampah yang mereka hasilkan setiap hari.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2023), Indonesia menghasilkan sekitar 36 juta ton sampah per tahun, dan sekitar 37 persen di antaranya merupakan sampah plastik. Dari jumlah itu, sebagian besar tidak terkelola dengan baik. Akibatnya, banyak yang berakhir di sungai, laut, bahkan terbakar di udara terbuka. Padahal, dampaknya bukan hanya pada lingkungan, tapi juga pada kesehatan manusia sendiri.

Fenomena ini makin diperparah dengan gaya hidup modern yang serba instan. Kemasan makanan, minuman botol plastik, dan belanja online menjadi bagian dari rutinitas harian. Semua tampak praktis di permukaan, tetapi efeknya sangat berat bagi bumi. Plastik membutuhkan waktu hingga 450 tahun untuk terurai sempurna. Artinya, setiap plastik yang kita buang hari ini bisa bertahan hingga enam generasi berikutnya.

Masalahnya tidak berhenti di darat. Laporan National Geographic 2023 menyebutkan bahwa Indonesia adalah penyumbang sampah plastik laut terbesar kedua di dunia, setelah Tiongkok. Setiap tahun, sekitar 3,2 juta ton sampah plastik dari Indonesia berakhir di laut. Akibatnya, ekosistem laut rusak, hewan laut menelan plastik, dan pada akhirnya manusia sendiri yang memakan mikroplastik melalui ikan yang dikonsumsi. Studi World Wildlife Fund (WWF) tahun 2023 bahkan menemukan, rata-rata manusia kini menelan sekitar 5 gram mikroplastik per minggu, setara dengan berat satu kartu kredit.

Kita sering menyalahkan pemerintah karena pengelolaan sampah yang buruk, padahal masalah ini juga bermula dari perilaku masyarakat. Banyak orang masih membuang sampah sembarangan, tidak memilah antara organik dan anorganik, dan menganggap sepele tindakan kecil seperti menggunakan kantong plastik sekali pakai. Padahal, perubahan besar justru bisa dimulai dari hal-hal kecil yang konsisten.

Beberapa daerah sebenarnya sudah mulai bergerak. Kota Surabaya, misalnya, berhasil menurunkan volume sampah hingga 20 persen sejak program bank sampah dan bus sampah plastik diberlakukan. Di Bali, kebijakan pelarangan kantong plastik sejak 2019 juga terbukti menurunkan penggunaan plastik sekali pakai secara signifikan. Program semacam ini membuktikan bahwa kesadaran masyarakat dan kebijakan yang tegas bisa berjalan berdampingan.

Namun, sebagian besar wilayah Indonesia masih menghadapi kendala besar dalam pengelolaan sampah. Banyak Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sudah hampir penuh, dan sebagian sampah akhirnya dibakar secara terbuka yang justru menambah polusi udara. Padahal, jika pengelolaan dilakukan dengan benar, sampah sebenarnya bisa bernilai ekonomi. Contohnya, menurut data KLHK 2024, potensi ekonomi dari daur ulang sampah di Indonesia bisa mencapai Rp100 triliun per tahun, jika sistem sirkular diterapkan secara optimal.

Sebagai mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), penulis memandang bahwa persoalan sampah bukan sekadar isu lingkungan, tetapi juga isu moral dan tanggung jawab warga negara. Dalam PPKn, kami belajar bahwa cinta tanah air tidak hanya ditunjukkan dengan kata-kata, tetapi juga dengan tindakan nyata menjaga lingkungan.

Membuang sampah pada tempatnya, mengurangi penggunaan plastik, dan ikut memilah sampah adalah bentuk sederhana dari pengamalan nilai Pancasila, khususnya sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena ketika lingkungan rusak, yang menderita bukan hanya segelintir orang, tapi seluruh masyarakat.

Menjaga bumi bukan sekadar tugas aktivis lingkungan atau pemerintah. Ini adalah tanggung jawab setiap manusia. Kita mungkin tidak bisa sepenuhnya menghapus sampah, tetapi kita bisa mengurangi dampaknya. Gunakan kembali barang yang bisa dipakai, membawa tumbler sendiri, tolak sedotan plastik, dan biasakan memilah sampah di rumah.

Bumi tidak membutuhkan manusia untuk tetap hidup, tetapi manusia membutuhkan bumi untuk bertahan. Jika kita terus bersikap abai, maka bukan tidak mungkin manusia benar-benar akan kalah oleh sampahnya sendiri, bukan karena kurangnya kemampuan, tetapi karena hilangnya kesadaran untuk peduli. Sudah saatnya kita tidak lagi menunggu perubahan besar, melainkan menjadi bagian dari perubahan itu sendiri.

Opini ini ditulis oleh Charolina Philet Adissa, mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP Unmul 2025



Kolom Komentar

Share this article