Opini

Makna Mudik yang Sebenarnya

Ilustrasi pulang kampung.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber: sendoksayur.co.id

Sejak ditetapkannya 30 Mei sebagai hari pertama libur lebaran, Unmul mulai sepi karena ditinggal pulang kampung oleh civitas academica. Menjelang hari libur tiba, rasa semangat untuk bisa mudik seakan tak terbendung lagi. Terlebih sudah terbayang bahwa kita sudah berasa di rumah bersama keluarga, benar-benar momen yang sangat ditunggu mahasiswa perantau. Bahkan, beberapa fakultas mulai 27 Mei, sudah ada yang meliburkan kegiatan akademiknya.

Dalam perkembangannya, momen mudik pada zaman dulu berbeda dengan sekarang. Dulu pulang kampung dilakukan hanya untuk mengunjungi dan berkumpul dengan keluarga. Menurut budayawan Umar Kayam (2002), mudik pada awalnya merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah ada jauh sebelum Kerajaan Majapahit. Kegiatan tersebut dulu digunakan untuk membersihkan kuburan atau makam leluhur disertai upacara doa bersama kepada dewa-dewa di kahyangan. Tujuannya, agar para perantau diberi keselamatan dalam mencari rezeki. Sementara itu, keluarga yang ditinggalkan tak dirundung petaka.

Saat ini, mahasiswa perantau yang melakukan mudik, juga menunjukkan eksistensi dirinya selama di perantauan. Mereka yang kembali ke kampung halaman akan membawa sesuatu yang membanggakan diri dan keluarganya. Sehingga kebanyakan mahasiswa yang merupakan pemudik memaksakan diri untuk tampil sebaik mungkin, bagaimanapun caranya.

Namun, lebih dari itu momen pulang kampung punya sejumlah manfaat, seperti melepas rasa rindu bertemu dengan keluarga. Ajang beristirahat dari rasa penat setelah bekerja dan sebagai media rekeasi. Lalu sebagai ajang silaturahmi dengan bayak orang di kampung, menjalankan roda ekonomi dan perputaran uang di daerah, serta bisa meningkatkan pariwisata daerah tertentu.

Dikutip dari Kompasiana, pulang kampung adalah salah satu cara untuk melegitimasi keberhasilannya di kampung rantau, seperti baju baru, jam tangan, ponsel terbaru, hingga menyewa mobil dan menggunakan transportasi mahal untuk sampai ke kampung halaman. Sampai di kampung, tapi aksen bahasa dan perilaku sosial masih bergaya ‘kota’ agar terlihat keren.

Tetapi jika sudah muncul niat untuk pamer kemewahan, jelas ini tidak baik. Karena akan memunculkan jiwa konsumerisme yang bisa berujung pada perilaku boros dan berbagai perilaku yang tidak sepenuhnya sesuai dengan ajaran Islam dan tujuan puasa itu sendiri. Di mana hasil puasa selama sebulan penuh, seharusnya semakin menghadirkan ketakwaan, yaitu kedekatan kepada Allah dan sesama manusia yang sebagian besar masih mengalami kesulitan hidup. Akibatnya, bisa mengundang cemburu dan iri hati para penduduk kampung.

Oleh karena itu bagi mahasiswa rantau yang melakukan mudik, seharusnya ‘meluruskan’ niat bahwa mudik adalah kegiatan personal untuk bersilaturahmi dengan keluarga dan berziarah ke makam sanak saudara. Jangan salah fungsikan makna mudik untuk ‘pamer’ keberhasilan dengan menunjukkan atau memakai barang-barang yang mewah dan mahal. Tentu terlihat jika menunggu untuk dipuji oleh orang sekampung.

Ditulis oleh Julkaet, Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam 2017.



Kolom Komentar

Share this article