Opini

KKN Lebih dari Sekadar Pengabdian

Ilustrasi cerita KKN yang dihadapi mahasiswa.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


ugetuget.com

Kuliah Kerja Nyata (KKN) boleh jadi usai pada 20 Agustus lalu. Namun jangan kira cerita di baliknya berakhir pada saat itu juga. Justru seperti sekarang inilah waktu terbaik untuk berbagi, bertukar cerita dengan sejawat. Suka-duka, naik-turun balada KKN selama 50 hari seakan tak pernah habis untuk selalu dibagi. Pun sama halnya dengan aku di sini, membagikan sesuatu yang mungkin sudah atau akan kalian rasakan nantinya.

Waktu 50 hari memang terkesan angin lalu jika dilihat begitu saja. Namun tidak bagi mereka–aku juga tentunya–yang terjun merasakannya langsung. 50 hari bukan waktu yang lama, tapi juga bukan waktu yang sebentar untuk melebur bersama masyarakat, menyaksikan betapa indah dan kompleksnya kehidupan mereka. Namun juga lebih dari sekadar pengabdian, ada begitu banyak nilai-nilai yang bisa dipetik di dalamnya.

Ini merupakan sebuah wadah nyata, di mana penggambaran kehidupan setelah perkuliahan terpampang jelas di sana. Siapa yang mampu menyesuaikan, dia-lah yang dapat bertahan. Dalam beberapa kesempatan, embel-embel ‘maha’ yang melekat menjadikan kehadiran diri sebagai yang spesial, diutamakan. Namun terkadang lupa bahwasanya ada harapan dan cita-cita yang sebisa mungkin harus diwujudkan.

Mencoba menghadirkan diri di tengah-tengah masyarakat bukan perkara mudah. Terlebih lagi jika belum mengetahui seluk-beluk kehidupan mereka. Kendati demikian, mereka akan tetap menerimamu dengan tangan terbuka, tenang saja. Karena kalianlah pembuka pintu gerbang bagi mereka. Kalianlah corong yang akan menyampaikan angan-angan yang selama ini mungkin tertahan di kerongkongan mereka.

Memang tak semua kehidupan mereka, kita harus tanggung selama 50 hari itu. Namun dalam 50 hari itu kita bisa belajar, bahwa sejatinya hidup berdampingan dengan manusia lain bisa menjadikan kita sebagai pribadi lebih banyak bersabar dan tak mudah mengeluh. Keheterogenan yang tercipta seakan bukan menjadi penghalang untuk tetap bersatu; hal yang patut dicontoh dari kehidupan bermasyarakat. 

Hidup berdampingan bersama penduduk lokal membuat diri ini belajar, bahwa tak semua hal-hal di dunia ini harus sejalan dengan apa yang kamu mau. Ditentang? Perkara biasa. Dikhianati? Bukan hal yang harus diambil hati. Semua lumrah terjadi jika kamu benar-benar meleburkan diri bersama masyarakat.

Sejatinya, banyak hal yang bisa kau jemput dalam 50 hari itu. Pelajaran, pengalaman, bahkan hal remeh-temeh bernama cinta bagi mereka yang sudah siap untuk ‘jatuh’. Bagaimana jika tidak? Jangan khawatir. Karena selain masyarakat yang akan menyambut keberadaanmu dengan suka cita, kehadiran cinta juga akan selalu menyapa, di manapun kamu berada, termasuk lokasi KKN.

Peliharalah rasa itu, agar tak menodai apa yang menjadi tujuanmu datang ke tempatmu mengabdi. Perlu digarisbawahi: mengabdi. Agar tak ada lagi KKN-KKN yang ternodai, agar tak ada lagi aib-aib yang tersingkap. Sudahi, niatkan semuanya dengan tulus, hanya dan hanya untuk mengabdi.

Untuk itu, KKN bukan sekadar haha-hihi dan numpang selfi sana-sini. Bukan juga sekadar menuntaskan program kerja apalagi penggugur kewajiban SKS. Dan juga KKN bukan hanya ajang untuk menumbuhkan benih-benih cinta di benak kalian.  Sungguh, nilai KKN tak sesempit itu, kawan.

Ditulis oleh  Suti Sri Hardiyanti, Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2016.




Kolom Komentar

Share this article